WAKAF
Makalah ini Diajukan sebagai Salah Satu Tugas
Mata Kuliah“ Lembaga Perekonomian Syari’ah 1 ”
Dosen Pengampu:
Amrul Mutaqin, M EI
![]() |
Disusun oleh :
Muh. Aasnal Matholib (9313 085 10)
Liya Dayu (9313 068 10)
JURUSAN SYARI’AH
PRODI EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI

![]() |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
"Apabila
anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara:
shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya".
Amalan wakaf termasuk amalan yang
paling besar pahalanya menurut ajaran Islam hampir seluruh amal
seseorang akan terhenti atau putus pahalanya bila bila orang itu telah
meninggal dunia. Sedang amalan wakaf akan tetap mengalir pahalanya dan tetap
diterima oleh waqiif walupun ia telah
meninggal dunia. Ada tiga macam amal yang pahalanya tetap di terima oleh yang
mengerjakannya walaupun orang itu telah meninggal dunia, salah satunya adalah
sedekah jariyah.
Sedekah jariyah, sedekah harta yang tahan lama atau yang lama dapat
di ambil manfaatnya, untuk tujuan kebaikan yang di ridhai Allah SWT, seperti
menyedekahkan tanah,mendirikan masjid, sekolahan, membuat saluran irigasi,
membuat jembatan, memdirikan rumah sakit rumah yatim piatu dan sebagainya. Para
ulama’ sepakat bahwa yang di maksud sedekah jariyah oleh hadist di atas ialah
amalan wakaf.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa amalan wakaf
adalah amalan yang sangat di anjurkan kaum muslimin melakukannya, karena
pahalanya amat besar dan akan tetap di terima oleh orang yang berwakaf walupun
ia telah meninggal dunia.
Sebab itu banyak sekali kaum muslim yang ingin selalu (berlomba-lomba)
agar bisa melaksanakan shodaqoh jariyah atau yang biasa di sebut wakaf
tersebut. Agar pelaksanan shodaqoh tersebut di terima oleh Allaah SWT, maka
dari itu pada materi kali ini kita perlu mengkaji lebih dalam mengeneai
perwakafan yang sesuai dengan syari’ah dan perundang-undangan di Indonesia yang sudah di tentukan. Dan kami merumuskan
persoalan sebagai berikut:
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang di maksud dengan wakaf ?
2.
Apa dasar hukumya wakaf ?
3.
Apa saja rukunya wakaf ?
4.
Apa saja sayaratnya wakaf ?
5.
Sebutkan
macam-macam wakaf !
6.
Apa saja permasalah dalam wakaf ?
7.
Bagai mana pelaksanaan wakaf di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wakaf
Wakaf yang dalam bahasa Arab: وقف, [ˈwɑqf] yang berarti berhenti,
diam, menahan, atau mengekang. Apabila kata
tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia
berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Kata wakaf di uacapkan dalam
bahasa Indonesia denhan kata Istilah “wakaf”, maka ucapan inilah yang di
pakai dalam perundang undangan Indonesia.
Menurut istilah, ialah perbuatan
wakif dalam menyerhkan, menghentikan (menhan) perpindahan hak milik suatu
hartanya (bemafaat dan tahan lama) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau
faedahnya sehingga manfaat harta itu
dapat digunakan untuk mencari ke ridhaan Allah SWT.[1]
Takrif-takrif di atas
telah menunjukkan kedudukan wakaf sebagai sebahagian daripada amalan yang
dianjurkan oleh Syariah sebagaimana
firman Allah SWT:
B.
Dasar Hukum
Wakaf
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya: “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Dalam ayat di atas terdapat perkataan “
tunfiquun mimmaa tuhibbuun" (menafahkan sebagian harta yang kamu cintai.
Pengertian Menafkahkan harta dijalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan
jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan
lain-lain dan akhirnya para Ulama’ sepakat menafkahkan di jalan Allah itu juga
bisa disebut dengan wakaf
Adapun Hadis
yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah Umar
bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.
Yang Artinya :
"Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang
tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta
petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah
di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau
perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka,
kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).
"kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual,
tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta" (HR. Muslim).
Dari hadist di
atas dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Harta wakaf itu
tidak dapat di alihkan pemiliknya ke pada orang lain baik dengan menjual,
mewariskan ataupun dengan menghibahkan, atau dengan kata lain tidak boleh jadi
ditasarufkan.
2.
Harata wakaf
itu di gunakan untuk amal kebajikan yang di ridhai Allah.
3.
Harta wakaf
dapat di pelihara atau di kelola oleh orang atau suatu badan tertentu. Di
Indonesia di sebut “nazir”
4.
Penglola harta
wakaf boleh mengambil sebagian harta wakaf untuk keperluannya dalam mengurus
harta itu untuk keperluanya dalam mengurus harta itu. Asal tidak berlebih
lebihan.
5.
Harta yang akan
di wakafkan itu hendaklah harta yang tahan lama atau dapat diambil manfaatnya
dalam waktu yang lama.[2]
C.
Rukun Wakaf
Ada empat rukun
atau unsur-unsur wakaf, yaitu
a.
Wakif ( orang
yang berwakaf ), pemilik harta yang mewakafkan hartanya dengan syarat kehendak
sendiri bukan karena dipaksa.
b.
Mauquf (harta
yang diwakafkan ), pada permulaan wakaf diisyaratkan pada zaman rasulullah maka
sifat-sifat harta yang diwakafkan haruslah yang tahan lama dan bermanfaat
seperti tanah dan kebun. Tetapi kemudian para ulama berpendapaty bahwa harta
selain tanah dan kebunpun dapat diwakafkan asal bermanfaat dan tahan lama,
seperti binatang ternak, alat-alat pertanian, kitab-kitab ilmu pengetahuan dan
bangunan. Akan tetapi dalam hal ini banyak para ulama yang berbeda pendapat
adapun kesimpulan dari berbagai pendapat tersebut pada asasnya semua harta yang
bermanfaat dapat diwakafkan, hanya saja harta yang tahan lama lebih lama pula
mengalir pahalanya diterima oleh waqif dibanding dengan harta yang tidak tahan
lama.
c.
Mauquuf’alaih (
tujuan wakaf ), antara lain untuk mencari keridhaan Allah Swt dan untuk
kepentingan masyarakat.
d.
Shighat wakaf,
ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh orang yang
berwakaf.
D.
Syarat-syarat
Wakaf
Agar amalan
wakaf itu sah diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Untuk
selama-lamanya, merupakan syarat sahnya amalan wakaf tidak sah bila dibatasi
dengan waktu tertentu.
b.
Tidak boleh
dicabut, bila dalam melakukan wakaf telah sah maka pernyataan itu tidak boleh
dicabut.
c.
Pemilikan wakaf
tidak boleh dipindah tangankan, dengan terjadinya wakaf maka sejak itu harta
wakaf telah menjadi milik Allah SWT dan tidak boleh dipindah tangankan kepada
siapapun dan wajib dilindungi.
d.
Setiap wakaf
harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya, tidak sah wakaf bila tujuannya
tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran agama islam.[3]
E.
Macam-macam
Wakaf
1.
Wakaf Ahli
Yaitu Wakaf
yang ditunjuk kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si
wakif atau bukan.
Apabila ada
seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya,
wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk
dalam pernyataan wakaf. Wakaf seperti ini disebut juga “Wakaf Dzurri atau Wakaf
‘Alal Aulad” yaitu wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan social
dalam kepentingan keluarga (famili) lingkungan kerabat sendiri.
2.
Wakaf Khairi
Yaitu wakaf
yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan
(kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan
masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, pati asuhan anak yatim dan sebagainya.[4]
F.
Permasalahan
dalam Wakaf
1. Pemilikan
harta wakaf
Menurut Imam Hanafi bahwa harta wakaf,sekalipun telah
diwakafkannya tetapi masih tetap menjadi milik waaqif,tidak terjadi pemindahan
milik.Hanya saja waaqif tidak berhak mengambil manfaat harta wakaf itu sejak ia
telah mewakafkannya.
2. Menukar atau
menjual harta wakaf
Dari hadits Ibnu Umar dan hadits Abu Thalhah dapat
dipahamkan bahwa harta wakaf itu hendaknya diusahakan sedemikian rupa agar
hasil dan manfaatnya dapat diambil semaksimal mungkin.
Ulama Hanafiah lebih banyak memberi kelonggaran dalam
menukar atau menjual harta wakaf selain masjid. Menurut mereka, Pergantian
harta wakaf itu mungkin terjadi dalam tiga hal,yaitu:
1. Wakaf dalam ikrar menyatakan bahwa dia
menunjuk dirinya atau orang atau badan lain untuk mempertukarkan atau menjual
harta wakaf seandainya diperlukan kemudian hari.
2. Waaqif tidak menyatakan hak untuk menjual
atau menukar harta wakaf,dalam shighat wakafnya dahulu,dan tidak memberikan hak
itu kepada orang atu badan yang lain.
3. Harta wakaf telah memberi manfaat atau
mendatangkan hasil yang melebihi biaya pengolahannya,tetapi ada kesempatannya
untuk menukar dengan yang lebih baik dengan harga dan nilai yang sama dengan
harta wakaf itu.
Bahkan Ibnu Taimiyyah menganjurkan penukaran harta
wakaf jika tukarannya itu lebih baik dan lebih bermanfaat,Selanjutnya beliau
mengatakan bahwa penukaran harta wakaf itu ada dua hal yang mendorongnya,yaitu:
a. Penukaran itu diperlukan (hajat),seperti
mewakafkan se-ekor kuda untuk tentara yang bejihad di jalan Allah,kemudian
peperangan telah usai dan kuda tidak diperlukan lagi.
b. Penukaran itu dilakukan untuk
kemaslahatan,seperti menjual mesjid beserta tanahnya kemudian membelikan kepada
tanah yang lain dan membangun mesjid yang lain diatas tanah itu karena ditempat
yang baru dianggap lebih baik dan strategis dibanding dengan tempat yang
pertama.
3. Syarat-syarat
dari wakaf
Waaqif dalam shighat wakafnya ada yang menetapkan
syarat-syaratnya terhadap wakafnya dan ada pula yang menetapkan
syarat-syaratnya.
Apabila syarat-syarat penggunaan harta wakaf yang
diikrarkan waaqif bertentangan dengan ajaran Islam,maka wakaf itu adalah
sah,tetapi syaratnya batal.
4. Pengelola
harta wakaf
Setiap harta wakaf hendaklah diusahakan hasil dan
pemanfaatannya secara maksimal, karena itu perlu ada orang yang bertanggung
jawab mengawasi, menjaga, memelihara,serta mengelola harta wakaf itu,kemudian
menggunakan atau membagikan kepada yang berhak menerimanya.
Menurut mazhab Syafi’i: hak pengelola wakaf berada
ditangan orang selain waaqif,kecuali jika dalam shighat wakaf ditetapkan bahwa
waaqif sebagai pengelolanya.Jika tidak ditetapkan ada tiga kemungkinan,yaitu:
a. Pengelola tetap berada pada waaqif, karena
dialah yang berkepentingan terhadap tercapainya tujuan waaqaf,semakin besar
hasil atau manfaat wakaf,semakin besar pula pahala yang mengalir kepadanya.
b. Pengelola itu berada pula pada pemakai manfaat atau hasil waqaf,karena penerima
manfaat atau hasil wakaflah yang paling berkepentingan.
c. Pengawasan itu berada ditangan hakim atau
pemerintah,karena pemerintah atau hakim berkewajiban melindungi hak penerima
wakaf,hak waaqif dan terhadap kemungkinan terjadinya peralihan status waqaf
dikemudian hari.[5]
G.
Pelaksanaan
Wakaf di Indonesia
Secara yuridis pelaksanaan wakaf di Indonesia
dilaksanakan pada tahun 1978,yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
(PP) no. 28 tahun 1977, jo Peraturan
Menteri Dalam Negeri no. 6 tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1
tahun 1978 tanggal 10 Januari 1978.
Pemerintah Hindia Belanda ingin memenuhi sebagian
keinginan umat Islam Indonesia yang berhubungan dengan pelaksanaan wakaf yaitu wakaf dilakukan oleh wakif yang sah,
Dengan jalan berikrar menyerahkan sebagian hartanya untuk kepentingan ibadah
kepada nazir yang telah ditetapkan,kemudian melaporkannya kepada Bupati agar:
1. Pelaksanaan wakaf atas tanah hak milik yang
diperuntukkan kepentingan umum, harus didaftar kepada kantor Pajak Bumi, agar
dapat dibebaskan beban pajak bumi dari tanah itu.
2. Tanah wakaf yang tidak digunakan lagi dapat
diketahui dengan pendaftaran dan jika tanah itu tidak dipergunakan lagi akan
jatuh kepada Negara.
3. Dengan adanya laporan kepada Bupati dapat
dicegah hal-hal yang bertentangan dengan maksut wakaf. Disamping itu untuk
menghindari agar tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah (master plan
tata kota dan sebagainya).
Menurut Ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada peraturan-peraturan Menteri Agama yang merupakan Petunjuk Pelaksanaan dari
PP no. 28 tahun 1977 jo Peraturan Menteri
Dalam Negeri n0 6 tahun 1977, maka pelaksanaan wakaf itu dilakukan sebagai
berikut :
a. Wakif menghadap kepada Penjabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf, ialah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan di mana tanah yang
akan diwakafkan itu berada.
b. Dengan dihadiri oleh dua orang saksi, wakif mengisi formulir ikrar wakaf dihadapkan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
c. Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap tiga dan
salinannya dibuat rangkap empat.
d. Penjabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II cq.
e. Oleh Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat
II cq.Kepala Sub Direktorat Agraria dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik
yang dimaksut pada buku tanah dan sertifikat tanahnya.
f. Secara hukum, yuridis tanah yang telah diwakafkan tetap merupakan
tanah hak milik dari wakif,karena tidak ada peralihan hak, maka dalam
sertifikat ditulis : tetap atas nama wakif, dengan ditambah tulisan ;
diwakafkan.
Pasal 3 dari PP no 28 tahun 1977 menetapkan syarat-syarat sahnya
wakif,yaitu :
a. Jika wakif berbentuk Badan Hukum, maka
wakifnya akan dilakukan oleh Pengurus Badan Hukum itu.
b. Jika wakif adalah perseorangan,harus
dipenuhi syarat-syarat dewasa, sehat akal, tidak terhalang untuk melakukan
perbuatan hukum atas kehendak sendiri dan tidak ada paksaan.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wakaf yang dalam bahasa Arab: وقف, [ˈwɑqf] yang berarti berhenti,
diam, menahan, atau mengekang. Menurut istilah, ialah perbuatan
wakif dalam menyerhkan, menghentikan (menhan) perpindahan hak milik suatu
hartanya (bemafaat dan tahan lama) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau
faedahnya sehingga manfaat harta itu
dapat digunakan untuk mencari ke ridhaan Allah SWT.
Adapun hukum berwakaf yaitu sunah
mu’akad, bisa dlihat dalam firman Allah (surat ali Imron:92) yang
artinya “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
Rukun Wakaf Ada
empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf
(al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang
menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf
(sighah).
Adapun syrat
wakaf yaitu: Untuk selama-lamanya, Tidak boleh dicabut, Pemilikan wakaf tidak
boleh dipindah tangankan, Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada
umumnya.
Sedangkan macam-macamnya
wakaf ada dua yaitu:1. Wakaf Ahli, adalah Wakaf yang ditunjuk kepada orang-orang
tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan.2. Wakaf Khairi,adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan
agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).
Adapaun permasalah
wakaf meliputi; yang pertama kepemilikan harta wakaf tersebut, yang ke dua
menukar atau menjual harta wakaf, yang ke tiga mengenai syarat-syarat wakaf
terutama dalam masalah sighot, yang terakhir dalam masah pengelolaan harta wakaf.
Pembahasan terakhir
mengenai pelaksanaan wakaf di Indonesia ya’ni membahas mengenai
perundang-undangan perwakafan yang ada di Indonesia. Di atur dalm undand-undang
Peraturan Pemerintah (PP) no. 28 tahun
1977, jo Peraturan Menteri Dalam Negeri
no. 6 tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978 tanggal 10
Januari 1978.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad, al-syarbini al-iqna’fi hall al-Alfadz Abi syuza (Indonesia:
Dar al-ihya al-khutub)
Azhar, Ahmad Basir, waqaf; Ijaroh dan Syirkah (Bandung: PT. Al-Ma’arif)
Rahmad, Ahmad Ghazali, Fiqih
Mu’amalat (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group,2010)
Daud, Muhammad Ali, Sistem Ekonomi Isalam Zakat dan Wakaf(Jakarta:
UI PRESS, 1998).
Muchtarom, Zaini. Ilmu Fiqih 3(Jakarta: cetakan ke dua,1986).
Hasan, Sofyan. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1995).
[1] Muhammad, al-syarbini al-iqna’fi hall al-Alfadz Abi syuza(Indonesia:
Dar al-ihya al-khutub), 319
0 comments:
Post a Comment