Tuesday, November 27, 2012

WAKAF


WAKAF
Makalah ini Diajukan sebagai Salah Satu Tugas
Mata Kuliah“ Lembaga Perekonomian Syari’ah 1 ”

Dosen Pengampu:
Amrul Mutaqin, M EI


 











Disusun oleh :
Muh. Aasnal Matholib                 (9313 085 10)
Liya Dayu                                    (9313 068 10)


JURUSAN SYARI’AH
PRODI EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
TAHUN 2012

 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
"Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya".
Amalan wakaf termasuk amalan yang  paling besar pahalanya menurut ajaran Islam hampir seluruh amal seseorang akan terhenti atau putus pahalanya bila bila orang itu telah meninggal dunia. Sedang amalan wakaf akan tetap mengalir pahalanya dan tetap diterima oleh waqiif  walupun ia telah meninggal dunia. Ada tiga macam amal yang pahalanya tetap di terima oleh yang mengerjakannya walaupun orang itu telah meninggal dunia, salah satunya adalah sedekah jariyah.
Sedekah jariyah, sedekah harta yang tahan lama atau yang lama dapat di ambil manfaatnya, untuk tujuan kebaikan yang di ridhai Allah SWT, seperti menyedekahkan tanah,mendirikan masjid, sekolahan, membuat saluran irigasi, membuat jembatan, memdirikan rumah sakit rumah yatim piatu dan sebagainya. Para ulama’ sepakat bahwa yang di maksud sedekah jariyah oleh hadist di atas ialah amalan wakaf.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa amalan wakaf adalah amalan yang sangat di anjurkan kaum muslimin melakukannya, karena pahalanya amat besar dan akan tetap di terima oleh orang yang berwakaf walupun ia telah meninggal dunia.
Sebab itu banyak sekali kaum muslim yang ingin selalu (berlomba-lomba) agar bisa melaksanakan shodaqoh jariyah atau yang biasa di sebut wakaf tersebut. Agar pelaksanan shodaqoh tersebut di terima oleh Allaah SWT, maka dari itu pada materi kali ini kita perlu mengkaji lebih dalam mengeneai perwakafan yang sesuai dengan syari’ah dan perundang-undangan di Indonesia  yang sudah di tentukan. Dan kami merumuskan persoalan sebagai berikut:

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan wakaf ?
2.      Apa dasar hukumya wakaf ?
3.      Apa saja rukunya wakaf ?
4.      Apa saja sayaratnya wakaf ?
5.      Sebutkan macam-macam wakaf !
6.      Apa saja permasalah dalam wakaf ?
7.      Bagai mana pelaksanaan wakaf di Indonesia ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wakaf
Wakaf yang dalam bahasa Arab: وقف, [ˈwɑqf] yang berarti berhenti,  diam, menahan, atau mengekang.  Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Kata wakaf di uacapkan dalam bahasa Indonesia denhan kata Istilah “wakaf”, maka ucapan inilah yang di pakai dalam perundang undangan Indonesia.
Menurut istilah, ialah perbuatan wakif dalam menyerhkan, menghentikan (menhan) perpindahan hak milik suatu hartanya (bemafaat dan tahan lama) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya  sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari ke ridhaan Allah SWT.[1]
Takrif-takrif di atas telah menunjukkan kedudukan wakaf sebagai sebahagian daripada amalan yang dianjurkan oleh Syariah sebagaimana firman Allah SWT:

B.     Dasar Hukum Wakaf
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ
 Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
 Dalam ayat di atas terdapat perkataan “ tunfiquun mimmaa tuhibbuun" (menafahkan sebagian harta yang kamu cintai. Pengertian Menafkahkan harta dijalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain dan akhirnya para Ulama’ sepakat menafkahkan di jalan Allah itu juga bisa disebut dengan wakaf
Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.
Yang Artinya : "Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).
Dari hadist di atas dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Harta wakaf itu tidak dapat di alihkan pemiliknya ke pada orang lain baik dengan menjual, mewariskan ataupun dengan menghibahkan, atau dengan kata lain tidak boleh jadi ditasarufkan.
2.      Harata wakaf itu di gunakan untuk amal kebajikan yang di ridhai Allah.
3.      Harta wakaf dapat di pelihara atau di kelola oleh orang atau suatu badan tertentu. Di Indonesia di sebut “nazir”
4.      Penglola harta wakaf boleh mengambil sebagian harta wakaf untuk keperluannya dalam mengurus harta itu untuk keperluanya dalam mengurus harta itu. Asal tidak berlebih lebihan.
5.      Harta yang akan di wakafkan itu hendaklah harta yang tahan lama atau dapat diambil manfaatnya dalam waktu yang lama.[2]

C.    Rukun Wakaf
Ada empat rukun atau unsur-unsur wakaf, yaitu
a.    Wakif ( orang yang berwakaf ), pemilik harta yang mewakafkan hartanya dengan syarat kehendak sendiri bukan karena dipaksa.
b.    Mauquf (harta yang diwakafkan ), pada permulaan wakaf diisyaratkan pada zaman rasulullah maka sifat-sifat harta yang diwakafkan haruslah yang tahan lama dan bermanfaat seperti tanah dan kebun. Tetapi kemudian para ulama berpendapaty bahwa harta selain tanah dan kebunpun dapat diwakafkan asal bermanfaat dan tahan lama, seperti binatang ternak, alat-alat pertanian, kitab-kitab ilmu pengetahuan dan bangunan. Akan tetapi dalam hal ini banyak para ulama yang berbeda pendapat adapun kesimpulan dari berbagai pendapat tersebut pada asasnya semua harta yang bermanfaat dapat diwakafkan, hanya saja harta yang tahan lama lebih lama pula mengalir pahalanya diterima oleh waqif dibanding dengan harta yang tidak tahan lama.
c.    Mauquuf’alaih ( tujuan wakaf ), antara lain untuk mencari keridhaan Allah Swt dan untuk kepentingan masyarakat.
d.   Shighat wakaf, ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh orang yang berwakaf.

D.    Syarat-syarat Wakaf
Agar amalan wakaf itu sah diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Untuk selama-lamanya, merupakan syarat sahnya amalan wakaf tidak sah bila dibatasi dengan waktu tertentu.
b.      Tidak boleh dicabut, bila dalam melakukan wakaf telah sah maka pernyataan itu tidak boleh dicabut.
c.       Pemilikan wakaf tidak boleh dipindah tangankan, dengan terjadinya wakaf maka sejak itu harta wakaf telah menjadi milik Allah SWT dan tidak boleh dipindah tangankan kepada siapapun dan wajib dilindungi.
d.      Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya, tidak sah wakaf bila tujuannya tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran agama islam.[3]

E.     Macam-macam Wakaf
1.      Wakaf Ahli
Yaitu Wakaf yang ditunjuk kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan.
Apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf seperti ini disebut juga “Wakaf Dzurri atau Wakaf ‘Alal Aulad” yaitu wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan social dalam kepentingan keluarga (famili) lingkungan kerabat sendiri.
2.      Wakaf Khairi
Yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, pati asuhan anak yatim dan sebagainya.[4]

F.     Permasalahan dalam Wakaf
1.      Pemilikan harta wakaf
Menurut Imam Hanafi bahwa harta wakaf,sekalipun telah diwakafkannya tetapi masih tetap menjadi milik waaqif,tidak terjadi pemindahan milik.Hanya saja waaqif tidak berhak mengambil manfaat harta wakaf itu sejak ia telah mewakafkannya.
2.      Menukar atau menjual harta wakaf
Dari hadits Ibnu Umar dan hadits Abu Thalhah dapat dipahamkan bahwa harta wakaf itu hendaknya diusahakan sedemikian rupa agar hasil dan manfaatnya dapat diambil semaksimal mungkin.
Ulama Hanafiah lebih banyak memberi kelonggaran dalam menukar atau menjual harta wakaf selain masjid. Menurut mereka, Pergantian harta wakaf itu mungkin terjadi dalam tiga hal,yaitu:
1.      Wakaf dalam ikrar menyatakan bahwa dia menunjuk dirinya atau orang atau badan lain untuk mempertukarkan atau menjual harta wakaf seandainya diperlukan kemudian hari.
2.      Waaqif tidak menyatakan hak untuk menjual atau menukar harta wakaf,dalam shighat wakafnya dahulu,dan tidak memberikan hak itu kepada orang atu badan yang lain.
3.      Harta wakaf telah memberi manfaat atau mendatangkan hasil yang melebihi biaya pengolahannya,tetapi ada kesempatannya untuk menukar dengan yang lebih baik dengan harga dan nilai yang sama dengan harta wakaf itu.
Bahkan Ibnu Taimiyyah menganjurkan penukaran harta wakaf jika tukarannya itu lebih baik dan lebih bermanfaat,Selanjutnya beliau mengatakan bahwa penukaran harta wakaf itu ada dua hal yang mendorongnya,yaitu:
a.       Penukaran itu diperlukan (hajat),seperti mewakafkan se-ekor kuda untuk tentara yang bejihad di jalan Allah,kemudian peperangan telah usai dan kuda tidak diperlukan lagi.
b.      Penukaran itu dilakukan untuk kemaslahatan,seperti menjual mesjid beserta tanahnya kemudian membelikan kepada tanah yang lain dan membangun mesjid yang lain diatas tanah itu karena ditempat yang baru dianggap lebih baik dan strategis dibanding dengan tempat yang pertama.

3.      Syarat-syarat dari wakaf
Waaqif dalam shighat wakafnya ada yang menetapkan syarat-syaratnya terhadap wakafnya dan ada pula yang menetapkan syarat-syaratnya.
Apabila syarat-syarat penggunaan harta wakaf yang diikrarkan waaqif bertentangan dengan ajaran Islam,maka wakaf itu adalah sah,tetapi syaratnya batal.
4.      Pengelola harta wakaf
Setiap harta wakaf hendaklah diusahakan hasil dan pemanfaatannya secara maksimal, karena itu perlu ada orang yang bertanggung jawab mengawasi, menjaga, memelihara,serta mengelola harta wakaf itu,kemudian menggunakan atau membagikan kepada yang berhak menerimanya.
Menurut mazhab Syafi’i: hak pengelola wakaf berada ditangan orang selain waaqif,kecuali jika dalam shighat wakaf ditetapkan bahwa waaqif sebagai pengelolanya.Jika tidak ditetapkan ada tiga kemungkinan,yaitu:
a.       Pengelola tetap berada pada waaqif, karena dialah yang berkepentingan terhadap tercapainya tujuan waaqaf,semakin besar hasil atau manfaat wakaf,semakin besar pula pahala yang mengalir kepadanya.
b.      Pengelola itu berada pula pada pemakai  manfaat atau hasil waqaf,karena penerima manfaat atau hasil wakaflah yang paling berkepentingan.
c.       Pengawasan itu berada ditangan hakim atau pemerintah,karena pemerintah atau hakim berkewajiban melindungi hak penerima wakaf,hak waaqif dan terhadap kemungkinan terjadinya peralihan status waqaf dikemudian hari.[5]



G.    Pelaksanaan Wakaf di Indonesia
Secara yuridis pelaksanaan wakaf di Indonesia dilaksanakan pada tahun 1978,yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) no. 28 tahun 1977, jo Peraturan  Menteri Dalam Negeri no. 6 tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978 tanggal 10 Januari 1978.
Pemerintah Hindia Belanda ingin memenuhi sebagian keinginan umat Islam Indonesia yang berhubungan dengan pelaksanaan wakaf  yaitu wakaf dilakukan oleh wakif yang sah, Dengan jalan berikrar menyerahkan sebagian hartanya untuk kepentingan ibadah kepada nazir yang telah ditetapkan,kemudian melaporkannya kepada Bupati agar:
1.      Pelaksanaan wakaf atas tanah hak milik yang diperuntukkan kepentingan umum, harus didaftar kepada kantor Pajak Bumi, agar dapat dibebaskan beban pajak bumi dari tanah itu.
2.      Tanah wakaf yang tidak digunakan lagi dapat diketahui dengan pendaftaran dan jika tanah itu tidak dipergunakan lagi akan jatuh kepada Negara.
3.      Dengan adanya laporan kepada Bupati dapat dicegah hal-hal yang bertentangan dengan maksut wakaf. Disamping itu untuk menghindari agar tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah (master plan tata kota dan sebagainya).
Menurut Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada peraturan-peraturan Menteri Agama yang merupakan Petunjuk Pelaksanaan dari PP no. 28 tahun 1977 jo Peraturan Menteri  Dalam Negeri n0 6 tahun 1977, maka pelaksanaan wakaf itu dilakukan sebagai berikut :
a.       Wakif menghadap kepada Penjabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, ialah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan di mana tanah yang akan diwakafkan itu berada.
b.      Dengan dihadiri oleh dua orang saksi,  wakif mengisi formulir ikrar wakaf dihadapkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
c.       Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap tiga dan salinannya dibuat rangkap empat.
d.      Penjabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II cq.
e.       Oleh Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II cq.Kepala Sub Direktorat Agraria dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik yang dimaksut pada buku tanah dan sertifikat tanahnya.
f.       Secara hukum, yuridis  tanah yang telah diwakafkan tetap merupakan tanah hak milik dari wakif,karena tidak ada peralihan hak, maka dalam sertifikat ditulis : tetap atas nama wakif, dengan ditambah tulisan ; diwakafkan.
Pasal 3 dari PP no 28 tahun 1977 menetapkan syarat-syarat sahnya wakif,yaitu :
a.       Jika wakif berbentuk Badan Hukum, maka wakifnya akan dilakukan oleh Pengurus Badan Hukum itu.
b.      Jika wakif adalah perseorangan,harus dipenuhi syarat-syarat dewasa, sehat akal, tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum atas kehendak sendiri dan tidak ada paksaan.[6]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wakaf yang dalam bahasa Arab: وقف, [ˈwɑqf] yang berarti berhenti,  diam, menahan, atau mengekang. Menurut istilah, ialah perbuatan wakif dalam menyerhkan, menghentikan (menhan) perpindahan hak milik suatu hartanya (bemafaat dan tahan lama) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya  sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari ke ridhaan Allah SWT.
Adapun hukum berwakaf yaitu sunah mu’akad, bisa dlihat dalam firman Allah (surat ali Imron:92) yang artinya “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Adapun syrat wakaf yaitu: Untuk selama-lamanya, Tidak boleh dicabut, Pemilikan wakaf tidak boleh dipindah tangankan, Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya.
Sedangkan macam-macamnya wakaf ada dua yaitu:1. Wakaf Ahli, adalah  Wakaf yang ditunjuk kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan.2. Wakaf Khairi,adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).
Adapaun permasalah wakaf meliputi; yang pertama kepemilikan harta wakaf tersebut, yang ke dua menukar atau menjual harta wakaf, yang ke tiga mengenai syarat-syarat wakaf terutama dalam masalah sighot, yang terakhir dalam masah pengelolaan harta wakaf.
Pembahasan terakhir mengenai pelaksanaan wakaf di Indonesia ya’ni membahas mengenai perundang-undangan perwakafan yang ada di Indonesia. Di atur dalm undand-undang Peraturan Pemerintah (PP) no. 28 tahun 1977, jo Peraturan  Menteri Dalam Negeri no. 6 tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978 tanggal 10 Januari 1978.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, al-syarbini al-iqna’fi hall al-Alfadz Abi syuza (Indonesia: Dar al-ihya al-khutub)
Azhar, Ahmad Basir, waqaf; Ijaroh dan Syirkah (Bandung: PT. Al-Ma’arif)
Rahmad, Ahmad Ghazali,  Fiqih Mu’amalat (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group,2010)
Daud, Muhammad Ali, Sistem Ekonomi Isalam Zakat dan Wakaf(Jakarta: UI PRESS, 1998).
Muchtarom, Zaini. Ilmu Fiqih 3(Jakarta: cetakan ke dua,1986).
Hasan, Sofyan. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995).



[1] Muhammad, al-syarbini al-iqna’fi hall al-Alfadz Abi syuza(Indonesia: Dar al-ihya al-khutub), 319
[2] Ahmad Azhar Basir, waqaf; Ijaroh dan Syirkah (Bandung: PT. Al-Ma’arif)119
[3] Ahmad Rahmad Ghazali,  Fiqih Mu’amalat (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group,2010). 179
[4] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Isalam Zakat dan Wakaf(Jakarta: UI PRESS, 1998). 89-90
[5] Zaini Muchtarom, Ilmu Fiqih 3(Jakarta: cetakan ke dua,1986). 222-224
[6] Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995). 71

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host