Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan).
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
  1. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
  2. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
  1. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
  2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari’at jual-beli salam seusai larangan memakan riba. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:
أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحله الله في الكتاب وأذن فيه، قال الله عز وجل يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه الآية. رواه الشافعي والطبري عبد الرزاق وابن أبي شيبة والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Riwayat As Syafi’i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
Diantara dalil yang menguatkan penafsiran sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu di atas ialah akhir dari ayat tersebut yang berbunyi:
وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya.Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu’amalah itu) kecuali bila mu’amalah itu berupa perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tiada dosa atasmu bila kamu tidak menulisnya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Dengan demikian, ayat diatas merupakan dalil disyari’atkannya jual-beli salam. Diantara dalil disyari’atkannya salam ialah hadits berikut:
عن ابن عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قال: قَدِمَ النبي صلى الله عليه و سلم الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ. فقال: من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
Dari sahabat Ibnu Abbas radhiallhu ‘anhuma, ia berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda: ‘Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.’” (Muttafaqun ‘alaih)
SYARAT-SYARAT JUAL BELI SALAM
Berdasarkan dalil di atas dan juga lainnya, para ulama’ telah menyepakati akan disyari’atkanya jual-beli salam.
Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari’atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak.
Syarat Pertama: Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan)
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama’ telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Adapun bila pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عن بن عمر  ضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع الكالئ بالكالئ. رواه الدارقطني والحاكم والبيهقي وضعَّفه غير واحد من أهل العلم، منهم الشافعي وأحمد وأقرهما الألباني.
“Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang jual-beli piutang dengan piutang.” (Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy dan hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama’ diantaranya Imam As Syafi’i, Ahmad, dan disetujui oleh Al Albany)
Walau demikian halnya, banyak ulama’ yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama’ telah bulat untuk melarang jual-beli piutang dengan piutang.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan piutang-pen), akan tetapi kesepakatan ulama’ telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang.”
Ungkapan senada juga diutarakan oleh Ibnul Munzir. [1]
Ibnul Qayyim berkata: “Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as Salam; dikarenakan adanya pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang, bahkan itulah sebanarnya penjualan piutang dengan piutang, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek  untung-untungan.” [2]
Syarat Kedua: Dilakukan Pada Barang-barang yang Memiliki Kriteria Jelas
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo,–diharapkan- tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
Adapun barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, misalnya: kulit binatang[3], sayur mayur dll, maka tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena itu termasuk jual-beli ghoror (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:
أنَّ النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع الغرر. رواه مسلم
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan.”(Riwayat Muslim)
Syarat Ketiga: Penyebutan Kriteria Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan
Dari hadits di atas, dapat dipahami pula bahwa pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga barang.
Sebagai contoh: Bila A hendak memesan beras kepada B, maka A berkewajiban untuk menyebutkan: jenis beras yang dimaksud, tahun panen, mutu beras, daerah asal serta jumlah barang.
Masing-masing kriteria ini mempengaruhi harga beras, karena –sebagaimana diketahui bersama- harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenisnya, misalnya: beras rojo lele lebih mahal dibanding dengan beras IR.
Sebagaimana beras hasil panen 5 tahun lalu –biasanya- lebih murah bila dibanding dengan beras hasil panen tahun ini. Beras grade 1 lebih mahal dari grade 2, dan beras yang dihasilkan di daerah Cianjur, lebih mahal dari beras hasil daerah lainnya.
Adapun jumlah barang, maka pasti mempengaruhi harga beras, sebab beras 1 ton sudah barang tentu lebih mahal bila dibandingkan dengan beras 1 kwintal dari jenis yang sama. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas bersabda:
من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bila warna barang memiliki pengaruh pda harga barang, maka warnapun harus disepakati kedua belah pihak. Misalnya kendaraan, harganya selain dipengaruhi oleh hal-hal diatas, juga dipengaruhi oleh warnanya. Kendaraan berwarna putih lebih murah dibanding dengan yang berwarna metalik atau yang serupa. Karenanya, bila seseorang memesan kendaraan ia harus menentukan warna kendaraan yang diinginkan.
Setelah kriteria barang yang diperlukan telah disepakati, maka kelak ketika telah jatuh tempo, ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
A. Kemungkinan Pertama: Penjual berhasil mendatangkan barang sesuai kriteria yang dinginkan, maka pembeli harus menerimanya, dan tidak berhak untuk membatalkan akad penjualan, kecuali atas persetujuan penjual.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
المسلمون على شروطهم. رواه أحمد والبيهقي وغيرهما وصححه الألباني
“Kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan mereka.” (Riwayat Ahmad, Al Baihaqy dan lainnya, dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albani)
B. Kemungkinan Kedua: Penjual hanya berhasil mendatangkan barang yang kriterianya lebih rendah, maka pembeli berhak untuk membatalkan pesanannya dan mengambil kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan kepada penjual. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk menunda atau membuat perjanjian baru dengan penjual, baik yang berkenaan dengan kriteria barang atau harga barang dan hal lainnya yang berkenaan dengan akad tersebut, atau menerima barang yang telah didatangkan oleh penjual, walaupun kriterianya lebih rendah, dan memaafkan penjual atau dengan membuat akad  jual-beli baru.
Sikap apapun yang ditentukan oleh pemesan pada keadaan seperti ini, maka ia tidak dicela karenanya.
Walau demikian, ia dianjurkan untuk memaafkan, yaitu dengan menerima barang yang telah didatangkan penjual atau dengan memberikan tenggang waktu lagi, agar penjual dapat mendatangkan barang yang sesuai dengan pesanan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رَحِمَ الله رَجُلاً سَمْحاً إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى. رواه البخاري.

Dari sahabat Jabir bin Abdillah semoga Allah meridhai keduanya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semoga Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia menjual,  ketika  membeli dan ketika menagih.”
 (Riwayat Bukhary)
Selain dianjurkan untuk memaafkan, pemesan juga disyari’atkan untuk tetap menampakkan budi dan perilaku luhur sebagai seorang muslim sehingga tidak hanyut dalam amarah,dan bersikap kurang terpuji. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
من طلب حقا فليطلبه في عفاف واف أو غير واف. رواه الترمذي وابن ماجه وابن حبان والحاكم
“Barang siapa yang menagih haknya, hendaknya ia menagihnya dengan cara yang terhormat, baik ia berhasil mendapatkannya atau tidak.” (Riwayat At Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al Hakim. [4])
C. Kemungkinan Ketiga: Penjual mendatangkan barang yang lebih bagus dari yang telah dipesan, dengan tanpa meminta tambahan bayaran, maka para ulama’ berselisih pendapat; apakah pemesan berkewajiban untuk menerimanya atau tidak?
Sebagian ulama’ menyatakan, bahwa pemesan berkewajiban untuk menerima barang tersebut, dan ia tidak berhak untuk membatalkan pemesanannya.
Mereka berdalih bahwa: Penjual telah memenuhi pesanannya tanpa ada sedikitpun kriteria yang terkurangi, dan bahkan ia telah berbuat baik kepada pemesan dengan mendatangkan barang yang lebih baik tanpa meminta tambahan uang. [5]
Sebagian ulama’ lainnya berpendapat: Bahwa pemesan berhak untuk menolak barang yang didatangkan oleh penjual, apabila ia menduga bahwa suatu saat penjual akan menyakiti perasaannya, yaitu dengan mengungkit-ungkit kejadian tersebut di hadapan orang lain. Akan tetapi bila ia yakin bahwa penjual tidak akan melakukan hal itu, maka ia wajib untuk menerima barang tersebut. Hal ini karena penjual telah berbuat baik, dan setiap orang yang berbuat baik tidak layak untuk dicela atau disusahkan:
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ. التوبة 91
“Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. At Taubah: 91) [6]
Pendapat kedua inilah yang lebih moderat dan kuat, karena padanya tergabung  seluruh dalil dan alasan yang ada pada permasalahan ini, wallahu a’alam bis showab.
Syarat Keempat: Penentuan Tempo Penyerahan Barang Pesanan
Tidak aneh bila pada akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan. Dan tempo yang disepakati –menurut kebanyakan ulama’- haruslah tempo yang benar-benar mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
“Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sebagai contoh: Bila A memesan kepada B, 1 ton beras jenis cisedani, hasil panen tahun ini, dan mutu no 1,  maka keduanya harus menyepakati tempo/waktu penyediaan beras, dan tempo tersebut benar-benar mempengaruhi harga beras, misalnya 2 atau 3 bulan.
Akan tetapi bila keduanya menyepakati tempo yang tidak berpengaruh pada harga beras, misalnya: 1 atau 2 minggu atau kurang, atau bahkan tidak ada tempo sama sekali, maka – menurut jumhur ulama’- akad mereka berdua tidak dibenarkan.
Ini adalah pendapat jumhur ulama’, mereka berdalil dengan teks hadits di atas:
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
“Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan agar pada akad salam ditentukan tempo yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hikmah dan tujuan disyari’atkannya akad salam, yaitu pemesan mendapatkan barang dengan harga yang murah, dan penjual mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia jalankan dengan dana dari pemesan tersebut yang telah dibayarkan di muka. Oleh karenanya bila tempo yang disepakati tidak memenuhi hikmah dari disyari’atkannya salam, maka tidak ada manfaatnya akad salam yang dijalin. [7]
Pendapat kedua: Ulama’ mazhab Syafi’i tidak sependapat dengan jumhur ulama’, mereka menyatakan bahwa penentuan tempo dalam akad salam bukanlah persyaratan yang baku, sehingga dibenarkan bagi pemesan untuk memesan barang dengan tanpa tenggang waktu yang mempengaruhi harga barang, atau bahkan dengan tidak ada tenggang waktu sama-sekali.
Mereka beralasan bahwa: bila pemesanan barang yang pemenuhannya dilakukan setelah berlalu waktu cukup lama dibenarkan, yang mungkin saja penjual tidak berhasil memenuhi pesanan, maka pemesanan yang langsung dipenuhi seusai akad lebih layak untuk dibenarkan. [8]
Bila kita cermati kedua pendapat di atas, maka kita dapatkan pendapat kedualah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan alasan-alasan berikut:
  1. Hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada permasalahan kita ini, tidak ada satu dalilpun yang nyata-nyata melarang akad salam yang tidak mengandung tenggang waktu pada proses penyerahan barang pesanan.
  2. Berdasarkan alasan di atas, sebagian ulama’ menyatakan bahwa selama suatu akad dapat ditafsiri dengan suatu penafsiran yang benar, maka penafsiran itulah yang semestinya dijadikan sebagai dasar penilaian.
  3. Adapun hadits di atas, maka tidak tegas dalam pensyaratan tempo, sebagaimana hadits ini dapat ditafsirkan: “Bila kalian memesan hingga tempo tertentu, maka tempo tersebut haruslah diketahui/disepakati oleh kedua belah pihak.” Penafsiran ini nampak kuat bila kita kaitkan dengan hal lain yang disebutkan pada hadits di atas, yaitu timbangan dan takaran. Para ulama’ telah sepakat bahwa timbangan dan takaran tidak wajib ada pada setiap akad salam. Timbangan dan takaran wajib diketahui bersama bila akad salam dijalin pada barang-barang yang membutuhkan kepada takaran atau timbangan. Adapun pada barang yang penentuan jumlahnya dilakukan dengan menentukan hitungan, misalnya, salam pada kendaraan, maka sudah barang tentu takaran dan timbangan tidak ada perlunya disebut-sebut. [9]
Setelah persyaratan tempo pengadaan barang ini disepakati oleh kedua belah pihak, maka ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi pada saat jatuh tempo:
A. Kemungkinan Pertama: Pedagang berhasil mendatangkan barang pesanan tepat pada tempo yang telah disepakati, maka pada keadaan ini, pemesan berkewajiban untuk menerimanya.
B. Kemungkinan Kedua: Pedagang tidak dapat mendatangkan barang pesanan, maka pemesan berhak menarik kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan atau memperbaharui perjanjian, dengan membuat tempo baru. [10]
C. Kemungkinan Ketiga: Pedagang mendatangkan barang sebelum tempo yang telah disepakati. Pada keadaan ini apabila pemesan tidak memiliki alasan untuk menolak barang yang ia pesan, maka ia diwajibkan untuk menerimanya. Hal ini dikarenakan pedagang telah berbuat baik, yaitu dengan menyegerakan pesanan, dan orang yang berbuat baik tidak layak untuk disalahkan:
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ. التوبة 91
“Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. At Taubah: 91)
Adapun bila pemesan memiliki tujuan yang dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati, maka ia dibenarkan untuk menolaknya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
لا ضَرَرَ ولا ضِرَار. رواه احمد وابن ماجة وحسنه الألباني.
“Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan.” (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)
Sebagai contoh: bila barang yang dipesan adalah, buah-buahan, sehingga cepat rusak, padahal pemesan bermaksud menjualnya pada tempo yang telah disepakati, karena pada saat itu harga buah tersebut lebih mahal, atau banyak peminatnya, maka pemesan dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.
Atau barang pesanannya membutuhkan gudang yang luas, sedangkan saat itu gudang yang dimiliki oleh pemesan sedang penuh, maka ia dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.
Syarat Kelima: Barang Pesanan Tersedia di Pasar Pada Saat Jatuh Tempo
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari’at Islam.
Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: “Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga”, maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsurghoror (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah “memudahkan”, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:
لا ضَرَرَ ولا ضِرَار. رواه احمد وابن ماجة وحسنه الألباني.
“Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan.” (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يبع بعضكم على بيع بعض وكونوا عباد الله إخوانا، المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره. متفق عليه
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dari kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Syarat Keenam: Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur ghoror (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
Sebagai contoh: Bila seorang pedagang memesan gabah kepada seorang petani dengan kriteria yang telah disepakati, maka pada akad salam ini, petani tidak boleh dibatasi ruang kerjanya, yaitu dengan menyatakan: gabah yang didatangkan harus dari hasil ladang miliknya sendiri. Akan tetapi petani harus diberi kebebasan, sehingga ketika jatuh tempo, ia berhak menyerahkan gabah dari hasil ladang sendiri atau dari hasil ladang orang lain, yang telah ia beli terlebih dahulu .
Contoh lain: Seorang pedagang yang di tokonya telah tersedia 100 bungkus semen, @ 50 kg, dari merek tertentu, tatkala anda memesan 50 bungkus semen dari merek tersebut yang beratnya @ 50 kg, untuk tempo 4 bulan yang akan datang. Maka ketika anda membuat perjanjian salam dengannya, anda berdua tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar semen yang diserahkan kelak adalah dari ke 100 bungkus semen yang sekarang ini telah dimiliki oleh pedagang. Karena mungkin saja semen yang serang telah  ada ketika telah jatuh tempo menjadi rusak, atau dicuri orang.
Persyaratan ini adalah pendapat jumhur ulama’, sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa persyaratan ini tidak diperlukan [11],  dengan alasan:
  1. Hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang telah nyata-nyata diharamkan dalam dalil.
  2. Berdasarkan hukum asal di atas, sebagian ulama’ menyatakan: selama suatu akad dapat ditafsiri dengan suatu penafsiran yang benar, maka penafsiran itulah yang semestinya dijadikan sebagai dasar penilaian.
Oleh karena itu ulama’ yang berpendapat dengan pendapat kedua ini menyatakan: bahwa akad pemesanan dari barang yang telah ada dan terbatas jumlahnya, pada hakekatnya bukanlah akad salam/pemesanan, akan tetapi akad jual beli biasa, hanya saja diiringi dengan akad lain, yaitu penitipan barang dalam tempo waktu yang disepakati.
Dengan demikian, pada contoh kasus pemesanan semen diatas, pemesan telah membeli 50 bungkus semen, ketika akad berlangsung, dan sekaligus menitipkan semen yang telah ia beli kepada pemilik toko hingga tempo 4 bulan. [12]
Permasalahan ini tercakup oleh kaedah fiqih yang sangat masyhur, yaitu:
هَلْ العِبْرَةُ بِصِيَغِ العُقُودِ أَوْ بِمَعَانِيهَا ؟
“Apakah yang menjadi pedoman dalam menghukumi suatu akad adalah kata-kata yang diucapkan ketika menjalankan akad, atau maknanya?” [13]
Bila demikian adanya, maka pendapat yang lebih kuat ialah pendapat kedua. [14]
Inilah persyaratan akad salam secara global, dan yang –berdasarkan ilmu saya yang sempit- rajih dari berbagai persyaratan yang disebutkan dalam berbagai bukuh fiqih.
FATWA-FATWA SEPUTAR TRANSAKSI SALAM
Selanjutnya, di bawah ini beberapa fatwa Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa kerajaan Saudi Arabia yang berkaitan dengan berbagai transaksi salam:
A. Pertanyaan:
Apabila ada seseorang yang sedang dalam kebutuhan, lalu ia mengambil dari orang lain sejumlah uang, dengan perjanjian: penghutang akan membayarnya setelah beberapa lamanya dengan beberapa sho’ gandum atau kurma. Dan perjanjian ini dilakukan sebelum gandum dan kurma menua siap dipanen?
Jawaban:
Bila penghutang berjanji untuk membayar piutang dengan sejumlah sho’ yang telah disepakati, maka kasus ini tergolong ke dalam permasalahan salam. Dan salam adalah salah satu bentuk transaksi jual-beli yang dibolehkan dengan beberapa persyaratan, yaitu:
Pertama: Dilakukan pada barang-barang yang dapat ditentukan kriterianya.
Kedua: Kedua belah pihak menyepakati berbagai kriteria barang yang mempengaruhi harganya.
Ketiga: Hendaknya jumlah barang ditentukan, baik dengan takaran pada komoditi yang ditakar, atau dengan timbangan pada komoditi yang ditimbang, atau dengan meteran pada komoditi yang dihitung panjangnya. [15]
Keempat: Hendaknya pengadaan barang dilakukan setelah berlalunya tempo yang disepakati.
Kelima: Hendaknya komoditi yang dipesan adalah komoditi yang banyak diperoleh pada saat jatuh tempo.
Keenam: Hendaknya pembayaran dilakukan pada saat transaksi berlangsung.
Ketujuh: Hendaknya barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin oleh pengusaha, dan bukan barang yang telah ada.
Dasar dihalalkannya transaksi salam dari Al Qur’an adalah firman Allah Ta’ala berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Saya bersaksi bahwa transaksi salaf (salam) yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur’an , kemudian beliau membaca ayat tersebut. (Diriwayatkan oleh Sa’id -bin Manshur-pen)
Dan diantara dalil dari As Sunnah ialah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu ‘Abbasradhiallahu ‘anhu bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota madinah, (beliau mendapatkan penduduknya) memesan buah-buahan dalam tempo satu atau  dua tahun, maka beliau bersabda:
من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. [16]
B. Pertanyaan:
Seseorang memberikan sejumlah pinjaman uang kepada pengusaha lebah madu, dengan perjanjian: ketika musim panen tiba, pemberi pinjaman berhak mengambil madu yang ia suka seharga pinjaman tersebut. Dan kadang kala musim panen tiba, sedangkan pengusaha lebah madu tidak mendapatkan  madu sesuai kriteria pemberi piutang, atau mungkin pengusaha lebah telah menjual lebahnya atau lebahnya pergi. Apa hukum uang pinjaman tersebut? Berilah kami arahan, semoga Allah membalas kebaikan anda.
Jawaban:
Transaksi jual beli yang disebutkan pada pertanyaan adalah salah satu bentuk transaksi salam, hanya saja transaksi tersebut terlaksana dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, karena menyelisihi ketentuan akad salam. Yang demikian itu karena salam adalah akad jual-beli terhadap sesuatu barang yang telah ditentukan kriterianya dan dijamin pengadaanya oleh pengusaha, dengan disertai persyaratan berikut:
  1. Penentuan kriterianya dimulai dari jumlah takaran atau timbangan, atau meteran, dan juga jenis serta segala kriteria yang mempengaruhi harganya.
  2. Adanya praduga kuat tentang kemampuan pengusaha untuk mengadakan barang ketika jatuh tempo.
  3. Penentuan tempo pengadaan barang.
  4. Pembayaran sepenuhnya dilakukan di muka, ketika akad berlangsung.
Sedangkan kasus yang disebutkan pada pertanyaan, maka itu adalah transaksi terhadap suatu barang yang pengadaannya tidak dijamin oleh pengusaha, dikarenakan ia memesan hanya dari hasil ladang lebah yang telah dimiliki. Sebagaimana halnya mereka berdua belum menyepakati jumlah madu  dalam hitungan kilo yang dipesan, serta tidak menyebutkan tempo penyerahan madu.
Transaksi ini serupa dengan transaksi yang dahulu dilakukan oleh penduduk Madinah yang menerima pesanan kurma dari hasil kebun mereka sendiri. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, beliau melarang akan hal itu, dengan alasan ghoror (untung-untungan) yang ada padanya. Karena mungkin saja kebun tersebut terkena musibah, sehingga tidak menghasilkan.
Ibnu Hajar dalam kitab (Fathul Bary 4/433) berkata: “Ibnu Munzir menukilkan kesepakatan jumhur ulama’ yang melarang transaksi salam pada ladang tertentu; karena itu adalah ghoror/untung-untungan.”
Oleh karenanya dinyatakan pada hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu:
قَدِمَ النبي صلى الله عليه و سلم الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمَارِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ. فقال: من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda: “Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Berdasarkan itu, maka transaksi salam yang disebutkan pada pertanyaan tidak sah, karena tidak memenuhi kebanyakan dari persyaratan salam. Dengan demikian, transaknya tidak sempurna, dan wajib atas pengusaha (lebah) untuk mengembalikan uang tersebut kepada pemesan.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. [17]
C. Pertanyaan:
Di Sudan ada seseorang yang biasa memanfaatkan perekonomian masyarakat (kaum muslimin) yang susah, dengan membeli hasil panen mereka jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, dengan harga yang sangat murah, dan ketika musim panen tiba, ia benar-benar menerima seluruh hasil panen mereka. Menurut Syari’at, apa hukum perbuatannya tersebut?
Jawaban:
Bila orang tersebut membeli dari para petani atau lainnya hasil panen ladang mereka, dengan persyaratan yang sesuai dengan jual-beli salam, yaitu dengan cara menyebutkan kriteria hasil ladang, dalam takaran atau timbangan yang telah disepakati, serta pembayaran sepenuhnya dilakukan pada saat transaksi, tanpa menentukan bahwa hasil ladang yang ia beli adalah hasil dari ladang tertentu, maka transaksi ini dibolehkan, dan itulah transaksi salam yang disyari’atkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adapun bila orang tersebut membeli hasil panen ladang tertentu sebelum masa tanaman menua dan siap panen, maka itu tidak dibolehkan. Hal itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk menjual buah-buahan hingga menua dan biji-bijian hingga mengeras.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shohihnya dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma:
أنَّ رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع النخل حتى يزهو، وعن بيع السنبل حتى يبيض ويأمن العاهة، نهى البائع والمشتري. متفق عليه
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli kurma hingga menua, dan jual-beli biji-bijian hingga memutih dan selamat dari bencana (puso), beliau melarang penjual dan pembeli.” (Muttafaqun ‘alaih)
Tanda menuanya buah-buahan ialah dengan berwarna merah atau kuning dan enak untuk dimakan.
Apabila ia membeli hasil ladang setelah buah-buahan menua dan biji-bijian mengeras, maka itu adalah transaksi yang dibolehkan, dan tidak mengapa.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. [18]
D. Pertanyaan:
Apa hukumnya menyewakan kebun kelapa? Maksudnya: Seseorang yang memiliki kebun kelapa, kemudian ia menerima dari orang lain uang sebesar 1000 Peso, dengan perjanjian: Buah kelapa kebun tersebut menjadi milik penyewa selama lima tahun Apakah transaksi in dibolehkan dalam Islam atau tidak?
Jawaban:
Transaksi ini terlarang, dikarenakan padanya terdapat unsur ketidak jelasan dan ghoror (untung-untungan). Yang demikian itu karena mereka tidak dapat mengetahui seberapa banyak buah kelapa yang akan dihasilkan oleh kebun tersebut selama lima tahun kedepan. Mungkin saja kebun itu berbuah dan mungkin juga tidak berbuah, mungkin berbuah sedikit dan mungkin juga berbuah banyak. Dan telah tetap bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “melarang dari jual-beli buah-buahan hingga memerah atau menguning” [19], dan telah tetap pula bahwa beliau “melarang dari jual-beli biji-bijian hingga mengeras.” [20] Sebagaimana beliau juga melarang dari “jual-beli al mu’awamah/tahunan” [21],  serta jual-beli as sinin/tahunan.” [22]
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.” [23]
E. Pertanyaan
Salah seorang masyarakat mendatangi seseorang yang kaya raya, untuk memesan satu unit mobil. Pada saat itu disepakati jenis dan model mobil yang diinginkan. Kemudian Orang tersebut menyerahkan sejumlah uang yang ia mampu bayarkan, dengan perjanjian ia akan memberi keuntungan –misalnya- sebesar sepuluh ribu atau lebih, sesuai dengan harga mobil di show room. Setelah kesepakatan itu orang kaya tersebut akan pergi ke show room guna membeli mobil dimaksud, kemudian ia menyerahkannya kepada pemesan. Pada gilirannya pemesan melunasi sisa pembayaran dengan dicicil sesuai dengan perjanjian.
Jawaban:
Bila perjanjian jual-beli antara kedua belah pihak dengan harga dan mobil, dan setelah keduanya menyepakati kriteria mobil tanpa menentukan barangnya, dan sebelum pengusaha tersebut membeli mobil dimaksud. Bila demikian adanya, maka itu termasuk akad salam tanpa ada tempo, dikarenakan pembayaran atau sebagainnya terhutang, sehingga termasuk jual-beli piutang dengan piutang. Disebabkan dengan disepakatinya akad jual-beli, maka mobil pembeli menjadi terhutang oleh pengusaha, sebagaimana harga mobil terhutang oleh pemesan, karena keduanya sama-sama belum menyelesaikan tanggungannya. Dan transaksi semacam ini adalah terlarang.
Metode yang benar ialah: hendaknya kedua belah pihak tidak terlebih dahulu membuat akad jual-beli, akan tetapi pengusaha membeli mobil dan membawanya pulang terlebih dahulu. Setelahnya ia dibolehkan untuk menjual mobil tersebut dengan harga yang mereka sepakati. Dengan pembayaran dicicil beberapa kali atau dengan sekali pembayaran pada tempo tertentu. Metode ini disebut dengan jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan itu dibolehkan.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.” [24]
***
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
***
Footnote:
[1] Silahkan baca At Talkhisu Al Habir oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 3/406 & Irwa’ul Ghaliloleh Al Albany 5/220-222.
[2] I’lamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim 2/20.
[3] Kulit binatang, sebelum diolah, misalnya kulit domba, yang sudah dapat dipastikan lebar, dan mutu pengulitannya berbeda-beda.  Ini pada zaman dahulu, akan tetapi bila pada zaman sekarng telah ditemukan suatu cara yang dapat menjadikan kulit dapat ditentukan kriterianya, maka tidak ada alasan untuk melarang  akad salam pada kulit. Misalnya dengan menggunakan meteran panjang dan lebar.
[4] Hadits yang mengandung ajaran mulia nan indah ini, merupakan setetes dari lautan keindahan syari’at Islam, sekaligus bukti bahwa Islam adalah ajaran yang datang dari Allah Ta’ala, Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[5] Al ‘Aziz oleh Ar Rafi’i 4/425, Al Mughni oleh Ibnu Ghudamah 6/421, Mughni Al Muhtajoleh As Syarbini 2/115,  & As Syarah Al Mumti’ oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/69.
[6] Idem.
[7] Baca Bada’ius Shanai’i oleh Al Kasaany 4/448,  Al Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 7/394-396, & Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/402-404.
[8] Baca Al ‘Aziz oleh Ar Rafi’i 4/396 & Mughnil Muhtaj oleh As Syarbiny 2/105.
[9] Baca Ikhtiyarat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dicetak bersama Al Fatawa Al Kubra5/393, & As Syarhul Mumti’ oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/77-78.
[10] Baca Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/407.
[11] Untuk lebih luas membaca keterangan ulama’ tentang persyaratan ini, silahkan baca buku: Al ‘Aziz oleh Ar Rafi’i 4/394-396, Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/406, & Fathul Bary oleh Ibnu Hajar al ‘Asqalaany 4/433.
[12] Baca As Syarhul Mumti’ oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/84.
[13] Yang lebih kuat ialah pendapat yang menyatakan: bahwa yang menjadi pedoman dalam menghukumi suatu akad ialah maksud dan maknanya, bukan sekedar lahir dari kata-kata yang diucapkan oleh pelaku transaksi tersebut. Bagi yang ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang kaedah ini, silahkan baca kitab Al Fatawa Al Kubra oleh Ibnu Taimiyyah 6/31-dst, I’ilamul Muwaqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/98-dst, Taqrirul Qawaidoleh Ibnu Rajab 1/267-273, Al Mantsur oleh Az Zarkasyi 2/371, Al Asybah wa An Nazhairoleh As Suyuthi hal: 166.
[14] Baca As Syarhul Mumti’ oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/83-84.
[15] Persyaratan ini, pada pembahasan sebelumnya, sengaja saya gabungkan dengan persyaratan kedua.
[16] Majmu’ Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah 14/94, fatwa no: 437.
[17] Idem 14/108, fatwa no: 19612.
[18] Idem 14/88, fatwa no: 19690.
[19] Riwayat Imam Ahmad, Bukhory, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thoyalisi, At Thohawy dan Al Baihaqy dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu.
[20] Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah, Ad Daraquthny, Ibnu Hibban, Abu Ya’la, Al Hakim, At Thohawy, dan Al Baihaqy dari sahabat Anas bin Malikradhiallahu ‘anhu.
[21] Diriwayatkan dengan lafadz Al Mu’awamah oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasa’i, Ibnu Abi Syaibah, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, At Thohawy, Ibnul Jarud, dan Al Baihaqy.
[22] Diriwayatkan dengan lafadz As sinin oleh Imam As Syafi’i, Ahmad, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ad Daraquthni, Al Humaidy, Ibnu Bai Syaibah, Ibnu Hibban, Abu Ya’la, Ibnul Jarud, At Thohawy, dan Al Baihaqy.
[23] Majmu’ Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah, 14/84, fatwa no: 12990.
[24] Idem, 14/99, fatwa no: 6097.