Saturday, September 15, 2012

Riba


(kadiirawanwiner.blogspot.com)
BAB I
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT Sholawat beserta salam, semoga tetap selalu tercurahkan kepada baginda kita Habibina Wasyafiina Wamulana Muhamad SAW. beserta Keluarga , Sahabat, dan para Pengikutnya termasuk kita semua Amin.

Dengan kesemangatan dan ketekunan Kawan – Kawan kami dapat menyusun sebuah Makalah ini sebagai salah satu tugas kami sebagai Mahasiswa. Untuk di persembahkan kepada Kawan – Kawan Mahasiswa  dan Dosen pada Mata Kuliah FIQIH MUAMALAT II

Era Globalisasi kinimarak sekali dengan adanya perselisihan antara Pelaku Ekonomi yang dapat merugian salah satu pihak. Yang membuat kericuhan  Siapa yang tidak kenal Riba?? dalam Islam kita tahu bahwa perbuatan Riba itu adalah perbuatan yang sangat di benci oleh Allah SAW  kenapa bisa begitu…?
Karena Riba dapat membuat salah satu pihak yang akan di rugikan

Dalam kesempatan ini kami dapat menyusun sebuah Makalah yang Insya Allah akan di diskusikan pada hari ini dengan Berjudul RIBA dan Permasalahannya serta kaitannya dengan Bunga Bank dan Deposito.










BAB II
RIBA

A. Pengertian
Menurut bahasa riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1.   Bertambah,karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang di hutangkan.
2.   Brkembang atau berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang di pinjam kan kepada orang lain.[1]
3.   berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah:

ôMt/uur N¨tI÷d$#
Bumi Jadi Subur & Gembur (Al- Haj:5)[2]
Menurtut istilah, yang di maksud dengan riba menurut:
Al – Mali ialah:
“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak di ketahui perimbangannya menurut ukuran syara , ketika berakad atau dengan mengahiri tukaran ke dua belah pihak atau salah satu keduanya”[3]
Ulama hanafiyah mengemukakan :
tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta”
Menurut Abdurohman  Al-jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah
Akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak di ketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terambat salah stunya.[4]
 
B.     Sebab – Sebab Haramnya Riba[5]
Sebab – sebab perbuatan riba yaitu :
Karena Allah dan Rasul –Nya melarang atau mengharamkan nya firman Allah
Dalam surat (Al- Baqoroh: 275)
275.  Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Dalam surat Al-Imron Ayat 130 Allah berforman yang artinya :[6]
130.  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Dalam surat (An- Nisa: 161) yaitu:[7]
161.  Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Dalam surat ( Al- Baqoroh : 278)[8]
278.  Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
1.      karna riba menghendaki harta oranglain dengan tidak ada imbangannya. Misal uang 10.000 di dukar dengan uang receh menjadi 9.950 maka yang 50 ribu di sebut riba
2.      dengan melakukan riba orang akan malas dalam berusaha yang syah menurut syara. Misalkan kita punya uang 1.000.000 cukup di simpan di bank dan memperoleh bunga sebesar 2% tiap bulan. Maka orang tersebut dapat uang tanpa bekerja keras tiap bulan akan menghasilkan 20.000. maka yang ini di sebut Riba dalam Bank.
3.      Riba dapat menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang piutang atau Kredit, sehingga riba lebih cenderung mencekik dan memeras orang miskindari pada menolong orang miskin.

C.    Macam – Macam Riba
a)     Menurut jumhur ulama
Jumhur ulama di bagi menjadi dua bagian, yaitu Riba Fadhal  dan Riba Nasiah[9]
Ø Riba Fadhal Menuru ulama hanafiyah, riba fadhal adalah:
Tambahan zat harta pada akad jual beli yang di ukur dan sejenis.Dengan kata lain riba fadhal ialah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dangan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.

Ø Riba Nasiah Menurut ulama hanafiyah seperti di kutip oleh rachmat syafei,
Riba nasiha adaah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang di tangguhkan , memberikan kelebihan pada benda di banding utang pada benda yang di takar atau yang di timbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang di takar dan yang ditimbang yang sama jenisnya .
b)     Menurut ulama syafiiyah
Ulama Syafiiyah membagi riba pada 3 bagian :

Ø Riba fadhal, yaitu jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar ) dari yang lain .
Ø Riba yad, yaitu jual beli dengan mengakhirkan penyerahan ( Al-qablu ), yakni bercerai berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima . seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan syair tanpa harus saling menyerahkan dan ,menerima di tempat akad.
Ø Riba nasi’ah, yaitu jual beli yang pembayarannya di akhirkan , tetapi di tambah harganya.
c)     Menurut pendapat sebagian Ulama Riba di bagi 4 yaitu:[10]
Ø  Riba fadli (menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama)
Ø  Riba qardi (utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang member utang)
Ø  Riba yad (berpisah dari tempat akad seblum timbang terima)
Ø  Riba nasa’ (di syaratkan salah satu dari ke dua barang yang di pertukarkan di tangguhkan penyerahannya)


D.    Hal – Hal Yang Menimbulkan Riba
Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendapatkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang , yaitu emas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainnya , maka di syaratkan :[11]
a)     Sama nilainya ( tamsul )
b)     Sama ukurannya menurut syara’ ,baik timbangannya ,takarannya maupun ukurannya,
c)     Sama- sama tunai ( taqabut ) di masjlis akad.

Berikut yang termasuk riba pertukaran :[12].
Seseorang menukar langsung  uang kertas  Rp. 10.000 dengan uang recehan  Rp 9.950 uang Rp 50 ridak ada imbangan nya arau tidak tamsul, maka uang Rp 50 adaah riba.
Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp 100.000 dengan syarat di kembalikan di tambah 10 % dari poko pinjaman maka 10% dari poko pinjaman adalah riba sebab tidak ada imbangan nya 

E.     Dampak Riba Pada Ekonomi
Kini riba yang di pinjamkan merupakan asas pengembangan harta ada perusahaan-perrusahaan. itu berarti akan memutuskan harta pada penguasaan para hartawan , pada hal mereka hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada waktu yang bersamaan , pendapatan kaum buruh yang berupa upah maupun atau yang lainya, juga kecil. Maka, daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hasil ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu siklus – siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi. Siklus ekonomi berulang terjadi disebut kerisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama kerisis ekonomi adalah bunga yang di bayar sbagai peminjaman modal atau dengan singkat biasa di sebut riba.
Riba dapat menimbulkan over produksi[13] . riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk enghindari kerugian yang ebih besar, dan mengakibat kan adanya sekian jumlah pengangguran .
Lord Keynes pernah mengeluh di hadapan majlis tinggi ( house of lord ) inggris tentang bunga yang di ambil oleh pemerintah amerika serikat. Hal ini menunjukan bahwa Negara besar pun seperti inggris terkena musibah dari bunga pinjaman amerika, berita tersebut menurut fuqha di sebut riba. Dengan demikian , riba dapat meretakan hubungan, baik hubungan antara orang perorangan maupun hubungan antar Negara, seperti inggris dan Amerika serikat[14]. 
















BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Riba Bunga Bank Hukumnya Haram yang mana sudah jelas sekali baik dalam Al-Quran maupun Al- Hadits, dalam Hubungan social pun akan terjadi ke tidak sinkronan dan dapat meneyebabkan perpecahan persaudaraan. Karena ada salah satu yang di rugikan secara tidak wajar.
Para ulama membagi Riba berbeda-beda. Menurut syafiiyah bahwa riba di golongkan menjadi 3 yaitu Riba Fadhal, Riba Yad, dan Riba Nasi’ah. Sementara menurut Hanifiyah Riba ada 2 yaitu Riba Fadhal dan Riba Nasi’ah.
Hal-hal yang menimbulkan Riba yaitu: sama nilainya (tamsul). sama ukurannya menurut syara, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya. Sama-sama tunai (taqabut) di majlis akad.
Berdampak pada perekonomian:  dapat memutuskan persaudaraan sesama manusia, dapat meretakan hubungan, terjadinya krisis ekonomi,dan over produksi (perusahaan macet).
Penutup
Alhamdulilah makalah ini telah selesai  kami sebagai penyusun makalah ini mengucapkan terimakasih kepada semua pihak  yang sudah setia mendiskusikan makalah ini semoga bermanfaat bagi semua pembaca.

Apa bila ada kesalahan kami meohon maaf yang sebesar – besarnya dalam penyusunan makalah ini kami menginginkan keritik dan sarannya  yang membangun .
Karna kebenaran adanya milik Allah semata.Sebagi sang maha Pemilik Jiwa manusia.

Wasalam





DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ru’fah.fiqih muamalat. IAIN “SMH” Banten. Serang :2010
ismail Abdul Karim.materi dakwah seri x ekonomi.walikota. cilegon:2001
Rasjid sulaiman . fiqih islam. Sinar baru algensindo cet:44 bandung 2009
alquran terjem'ah indonesia.

[1]           Abdullah, Ru’fah.fiqih muamalat. IAIN “SMH” Banten. Serang :2010

[2]               Al_Quran tarjem'ah
[3]               Sulaiman rasjid fiqih islam bab kitab muamalat hal:290
[4]               drs.KH.Abdul karim ismail.materi da'wah seri x hal: 151
[5]               Ibid
[6]               Al _Qura'n tarjem'ah Al_Imron 130
[7]               Al _Qura'n tarjem'ah An_Nisa 161
[8]               Al _Qura'n tarjem'ah Al_Baqoroh 278
[9]               Ibid  hal:152
[10] H.sulaiman rasyid.Fiqih Islam. Hal.290 tentang macam” riba
[11]             Sulaiman rasjid fiqih muamalat
[12]               Ibid
[13]             Op cit  dalam bukunya Abdullah, Ru’fah
[14]             Ibid 

Saturday, September 8, 2012

Ihyaul Mawat



Syekh Taqiyuddin An Nabhani

Tanah mati adalah tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut, atau menjadikan tanah tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tiap tanah mati, apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik orang yang bersangkutan. Syara’ telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.”

Imam Abu Dawud telah meriwayatkan, bahwa Nabi SAW telah bersabda:

“Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.”

Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits dari Umar dari Rasulullah SAW, bahwa beliau SAW bersabda:

“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya.”

Jadi, baik muslim maupun kafir dzimmi adalah sama, karena hadits tersebut bersifat mutlak.

Menghidupkan tanah (ihya’ul mawat) itu berbeda faktanya dengan pemberian cuma-cuma (iqtha’). Perbedaannya adalah, bahwa ihya’ul mawat itu berhubungan dengan tanah mati, yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, juga tidak nampak adanya bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain. Ihya’ul mawat itu artinya mengelola tanah tersebut dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa tanah tersebut dikelola. Sedangkan iqtha’ itu adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan layak ditanami, dengan seketika, atau tanah yang nampak sebelumnya telah dimiliki oleh seseorang.

Sedangkan tahjir (baca: memagari tanah) itu statusnya sama dengan menghidupkan tanah. Hal itu didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW:

“Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.”

“Siapa saja yang terlebih dahulu sampai pada suatu tempat yang belum pernah didahului oleh seorang muslim pun, maka dialah yang lebih berhak atas tempat tersebut.”

Juga karena dengan memagari tanah telah menjadikan orang yang memagarinya memiliki hak untuk memanagenya, berdasarkan nash hadits di atas. Begitu pula, orang yang memagarinya berhak melarang orang lain yang menginginkan untuk menghidupkan tanah yang sudah dipagarinya. Apabila orang tersebut memaksa, lalu dia menghidupkan tanah yang sudah dipagari orang tersebut, maka orang tersebut tetap tidak berhak memilikinya, dan tanah tersebut harus dikembalikan kepada orang yang memagari sebelumnya. Sebab, memagari itu statusnya sama dengan menghidupkan, yaitu berhak memanage tanah tersebut serta menguasainya. Apabila orang yang memagari tanah tersebut menjualnya, maka dia berhak mendapatkan harga dari hasil penjualannya. Sebab hal itu merupakan hak yang dikompensasi dengan harta tertentu, sehingga dia juga diperbolehkan untuk melakukan pertukaran atas tanah tersebut. Apabila orang yang memagari tersebut telah meninggal, maka pemilikannya bisa diwarisi oleh ahli warisnya, sebagaimana pemilikan-pemilikan yang lain. Mereka juga bisa memanagenya, dus akan dibagikan kepada mereka sesuai dengan ketentuan syara’, sebagaimana pembagian harta-harta yang lain.

Yang dimaksud dengan memagari itu, bukan berarti meletakkan batu di atasnya, akan tetapi yang dimaksud adalah meletakkan apa saja yang bisa menunjukkan bahwa tanah tersebut menjadi kekuasaannya, atau miliknya. Sehingga memagari tanah itu bisa jadi dengan meletakkan batu di atas batas-batas tanah tersebut. Bisa jadi menggunakan selain batu, seperti menancapkan potongan dedahanan yang masih segar di sekeliling tanah tersebut, atau dengan membersihkan tanah tersebut, atau membakar duri yang ada di sana, ataupun memangkas rumput dan duri yang ada, serta menancapkan duri-duri di sekelilingnya agar orang yang ingin masuk tidak bisa, atau dengan menggali kali-kalinya dan tidak mengairinya, ataupun hal-hal lain yang serupa, maka semuanya itu termasuk dalam katagori memagari tanah.

Nampak dari hadits di atas, bahwa memagari tanah dus menghidupkannya adalah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Pernyataan Umar: “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.” adalah orang yang memagari tanah mati. Sedangkan tanah yang tidak mati, maka tidak bisa dimiliki dengan cara memagari, serta bukan dengan cara menghidupkannya, melainkan dengan cara pemberian cuma-cuma dari imam (khalifah). Sebab, menghidupkan tanah dan memagarinya telah dinyatakan hanya untuk tanah mati. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati.” Mati adalah sifat, sehingga mafhum mukhalafah-nya bisa dipergunakan. Maka, mati itu merupakan qayyid (penentu). Disamping itu, ada riwayat dari Al Baehaqi dari Amru Bin Syu’aib, bahwa Umar telah menjadikan tahjir dengan batas waktu tiga tahun, apabila tanah tersebut dibiarkan hingga lewat waktu tiga tahun, kemudian tanah tersebut dihidupkan oleh orang lain, maka dialah yang lebih berhak. Hal itu juga bisa diartikan, bahwa selain tanah mati tidak boleh dipagari serta tidak boleh dihidupkan.

Perbedaan antara tanah mati dengan tanah yang tidak mati ini menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati tersebut dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan salah satu kemubahan. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (khalifah). Sebab perkara-perkara yang dimubahkan tidak perlu minta izin dari imam (khalifah). Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, itu tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab hal itu tidak termasuk hal-hal yang mubah, melainkan hal-hal yang telah menjadi otoritas imam. Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, dimana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul agar beliau memberikannya.

Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah usyriyah, maka dia bisa memiliki lahan dan kegunaan (utility)-nya sekaligus, baik muslim maupun non muslim. Bagi seorang muslim wajib membayar usyur dari panen tanaman dan buah-buah sebagai zakat yang diwajibkan atas tanaman dan buah-buahan tersebut, apabila telah mencapai satu nishab. Sementara seorang non muslim tidak wajib membayar zakat, baik usyur maupun kharaj. Sebab, orang non muslim bukan orang yang wajib membayar zakat, sehingga dia bisa diwajibkan. Disamping karena kharaj itu tidak diwajibkan atas tanah usyur.

Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah kharajiyah, yang belum pernah ditarik kharaj-nya, maka dia berhak memiliki lahan dan kegunaan (utility)-nya sekaligus, bila dia seorang muslim; dan hanya berhak memiliki kegunaan (utility)-nya, apabila dia orang non muslim. Bagi seorang muslim, hanya wajib membayar usyur dan tidak wajib membayar kharaj. Sedangkan bagi orang non muslim wajib membayar kharaj, sebagaimana yang telah ditetapkan untuk penduduk tanah yang non muslim, ketika mereka dibiarkan pada saat penaklukkan, sebagai kompensasi kharaj yang harus mereka keluarkan.

Siapa pun yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, di atas tanah kharaj yang sebelumnya pernah ditetapkan kharaj-nya sebelum tanah tersebut berubah menjadi tanah mati, maka orang yang bersangkutan hanya berhak memiliki kegunaan (utility)-nya, bukan lahannya, baik muslim maupun non muslim. Maka, masing-masing tetap diwajibkan membayar kharaj, sebab tanah tersebut berstatus sebagai tanah yang ditaklukkan yang harus diambil kharaj-nya. Oleh karena itu, kharaj tersebut tetap wajib atas tanah tadi sepanjang masa, baik tanah tadi dimiliki oleh seorang muslim maupun non muslim.

Ini adalah ketentuan menghidupkan tanah untuk ditanami. Adapun tanah yang ditempati, atau dipakai membangun industri, atau tempat-tempat penampungan, maka tanah tersebut tidak dikenakan usyur maupun kharaj. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara tanah usyriyah dengan tanah kharajiyah. Sebab, para sahabat yang telah menaklukkan tanah Irak dan Mesir telah menguasai Kufah, Basrah dan Fisthath (Cairo Lama). Mereka telah mendudukinya pada masa Umar Bin Khattab, dan bersama mereka tinggal pula orang lain (non muslim), namun mereka tidak dipungut kharaj dan tidak diharuskan membayar zakat atas tempat tinggal mereka. Sebab, zakat tersebut tidak diwajibkan atas perumahan dan bangunan.

Friday, September 7, 2012

GHASAB

GHASAB
A. Definisi Ghasab
1. Mazhab Hanafi: mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya
2. Ulama Mazhab Maliki: mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok)

3. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali: penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
Maka dari itu menanami tanah ghasab termasuk haram karena mengambil manfaat dari tanah ghasab dan menghasilkan harta.
Dari definisi tersebut diatas yang dikemukakan oleh para ulama jelas terlihat bahwa
1. Bagi Mazhab Hanafi (selain Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan Zufar bin Hudail), ghasab harus bersifat pemindahan hak seseorang menjadi milik orang yang menggasab.
2. Imam Hanafi dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, tidak dinamakan ghasab apabila sifatnya tidak pemindahan hak milik.
3. Jumhur Ulama: menguasai milik orang lain saja sudah termasuk ghasab, apalagi bersifat pemindahan hak milik.
Akibat dari perbedaan definisi ini akan terlihat pada tiga hal :
1. Jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)
1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf: ghasab terjadi hanya pada benda-benda yang bergerak, sedangkan benda yang tidak bergerak tidak mungkin terjadi ghasab. Seperti rumah dan tanah
2. Jumhur Ulama: ghasab bisa terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak. Karena yang penting adlah sifat penguasaan terhadap harta tersebut secara sewenang-wenang dan secara paksa. Melalui penguasaan ini berarti orang yang menggasab tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya baik secara material maupun secara manfaat.
2. Hasil dari benda yang diambil tanpa ijin.
1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf : hasil dari benda yang diambil merupakan amanah yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi jika hasil dari benda itu dibinasakan (melakukan kesewenangan terhadap hasil dari benda yang digasab) maka ia dikenakan denda. Seperti : buah dari pohon yang dighasab.
2. Jumhur Ulama: Jika pengghasab menghabiskan atau mengurangi hasil barang yang dighasabnya maka ia dikenakan denda
3. Manfaat dari benda yang dighasab.
1. Mazhab Hanafi: manfaat barang yang dighasab tidak termasuk sesuatu yang digasab. Karena manfaat tidak termasuk dalam definisi harta bagi mereka. Seperti : menggasab sandal kemudian dikembalikan lagi
2. Jumhur Ulama: Manfaat itu termasuk dalam definisi harta. Oleh sebab itu dikenakan denda jika barang yang digasab tersebut dimanfaatkan orang yang menggasabnya.
Dari definisi yang dikemukakan para ulama diatas terlihat jelas bahwa ghasab tidak sama dengan mencuri, karena mencuri dilakukan secara sembunyi sedangkan ghasab dilakukan secara terang-terangan dan sewenang-wenang. Bahkan ghasab sering diartikan sebagai menggunakan/memanfaatkan harta orang lain tanpa seijin pemiliknya, dengan tidak bermaksud memilikinya.
Contoh : si A mengambil sajadah si B dengan tidak bermaksud memilikinya tetapi memanfaatkannya untuk shalat. Setelah itu dikembalikan lagi ke tempat semula.
Ghasab tidak hanya untuk harta benda saja tetapi juga kemanfaatan orang lain seperti menyuruh pergi dari tempat duduknya dan contoh yang sering dijumpai yakni memakai ataupun meminjam sandal orang lain tanpa ada izin.
Kita tak pernah menyangka ternyata perbuatan sekecil itu dilarang oleh agama. Memang mudah sekali untuk berbuat serta mengumoulkan dosa, tetapi untuk mencegahnya serta menghapusnya sulit sekali. Hawa nafsulah penyebabnya makanya cobalah untuk melawan hawa nafsu.
Bagi orang yang ngasab dalam bentuk harta maka wajib baginya untuk mengembalikan harta tersebut ke pemiliknya, jika barang tersebut telah kurang, rusak, hilang maka penggasab wajib mengganti dengan barang yang sama ataupun berupa uang yang jumlahnya sama seperti barang tersebut. Dengan demikian ghosib bisa terhindar dari larangan dan dosa.
Sekalipun tujuannya adalah baik, tetapi karena memanfaatkan barang orang lain tanpa ijin itu adalah perbuatan tercela dalam islam.
B. Dasar Hukum Ghasab
1. Surat An Nisa ayat 29
يَأيهَا الذِينَ آمَنُوا لاَ تَأكُلُوا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالبَاطِلِ إلاَّ أنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُم وَلاَ تَقْتُلوُا أنْفُسَكُم إنّ الله كَانَ بِكُم رَحِيمًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2. Surat Al Baqarah 188
وَ لاَ تَأكُلوُا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَ تُدْلُوابِهَا إلىَ اْلحُكّامِ لِتَأكُلوُا فَرِيقًا مِنْ أمْوَالِ النَّاسِ بِا لإثمِ وَ أنْتُم تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
3. Sabda Rasulullah
“Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)
“Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik.
C. Hukuman orang yang Ghasab
 Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.
 Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya
 Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
Mazhab Hanafi dan Maliki
Denda dilakukan dengan barang yang sesuai/sama dengan barang yang dighasab.Apabila jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika dilakukan ghasab.
 Mazhab Syafi’i –>denda sesuai dengan harga yang tertinggi
 Mazhab Hanbali –> denda sesuai dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran.
Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnya
 Mazhab Hanafi –> orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda.
 Mazhab Syafii dan Hanbali –> orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda.
 Mazhab Maliki –> orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah
“ Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)
D. Sulitnya Menghindari Gasab
Sulitnya menghindari Ghasab dalam kehidupan sehari-hari kita,karena terkadang tanpa kita sengaja kita melkukan perbuatan Ghasab itu sendiri. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari sebagai Santri yang tinggal di Asrama suatu Pondok pesantren Ghasab sudah menjadi realita. Pertama, hidup dalam “satu atap” membuat perbuatan gasab hampir sulit dihindari. Kedua, gasab hampir menjadi hal yang wajar (naudzubillah). Ghasab juga paling sering ditemui pada suatu lingkup tempat tinggal dalam lingkungan sedang atau besar misalnya: selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN),perkemahan outbond (Camping), Rumah susun,Asrama dll.
Emang di pesantren ada yang begituan? Ya, namanya hidup bersama di bawah satu atap pesantren pasti lah kita bakal menghadapi masalah seperti ini. Kadang kebiasaan ini dianggap hal yang sepele oleh santri. Padahal itu jelas tidak boleh dan agama kita melarang untuk "menyerobot" sesuatu yang bukan hak milik kita.
Misalnya memakai sandal teman kita di depan asrama. Emang sih kita mungkin cuma mau ke dapur atau sekadar ke kamar mandi untuk sikat gigi. Tapi kalau yang empunya sandal juga mau keluar dan tiba-tiba saja sandalnya sudah raib bagaimana? Pasti yang punya sandal bakal marah dan mencak-mencak seperti kehilangan emas bergram-gram. Pasti kita bakalan kena damprat. Belum lagi kalau sampai perbuatan kita dilaporkan kepada pihak "berwajib" alias keamanan pesantren. Jangan harap kita akan lepas dari sanksi yang bakal dijatuhkan pada kita. Nah, kena getah dua kali kan?
Makanya ada baiknya kalau kita ijin dulu kepada orang yang akan kita pinjamin barangnya. Jangan sampai main "ngepot" saja. Mentang-mentang teman sekamar atau teman sekelas. Mereka juga manusia, lho!
Dalam segi bentuk dan artinya Ghasab berbeda dengan mencuri. perbedaan ghasab dengan mencuri. Mencuri dalam arti gasab tidak hanya barang tapi juga manfaat barangnya, termasuk di dalamnya meminta dan meminjam tanpa izin pemilik aslinya, sekalipun dikembalikan.
.Ada cerita, ada seseorang yang memakai sarung temannya tanpa minta izin dan tidak diketahui pemiliknya dan di pakailah sarung itu buat shalat. Menurut hukum fikih Ahlussunah, perbuatan ghasab tersebut adalah dosa dan haram tapi tidak membatalkan salatnya (Al-Fiqh ‘alâ Al-Madzâhib Al-Khamsah). Istilahnya adalah harâm lî ghairih yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, akan tetapi dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat bagi manusia.
Sedangkan dalam fikih Ahlulbait, gasab tetap dihukumi sebagai dosa plus perbuatan salatnya sendiri tidak sah. Sedemikian ketatnya hingga jika kita salat tetapi ada sehelai benang pun yang ada ditubuh kita diperoleh dengan cara batil, maka salat pun tidak sah. Sayidina Ali as. berkata kepada Kumail, “Wahai Kumail, lihatlah di mana dan pada apa kamu salat. Jika itu didapatkan bukan dengan cara yang benar maka tidak diterima salatnya.” (Fiqh Al-Imâm Ja’far)
Hal di atas menunjukkan bahwa meskipun kita beribadah menghadap Sang Khalik untuk menunaikan hak-Nya, tetapi kita tetap tidak bisa mengabaikan hak manusia yang lain. Wallahualam



Bagi orang yang mengghasab harta seseorang, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya, meskipun ghasib(orang yang melakukan ghasab) itu terkena tanggungan (mengganti) dengan berlipat ganda harganya. juga wajib bagi nya untuk menambah kekurangannya. jika memang terdapat kekurangan pada harta yang di ghasab. seperti contoh orang yang mengghasab pakaian kemudian dia memakainya, atau harta itu berkurang tidak karena dipakai.maka wajib memberikan biaya yang sama. sedangkan jika maghsub (barang yang di ghasab) itu berkurang sebab harganya menjadi turun, menurut pendapat yang shahih, ghasib tidak wajib menanggung nya.
Di dalam sebagaian keterangan dijelaskan bahwa siapa saja yang mengghasab harta seseorang, maka dia harus dipaksa untuk mengembalikannya. apabila barang yang di ghasab itu rusak, maka ghasib wajib menanggungnya dengan jumlah yang sama dengan barang yang di ghasab tersebut. adapun yang lebih sah bahwa barang itu adalah barang - barang yang dapat di ukur dengan takaran atau timbangan (dapat di ukur dengan nilai).
Harga maghsub dapat berbeda beda dengan bentuk harga yang lebih tinggi dari hari pada saat barang tersebut di ghasab sampai pada hari kerusakan barang yang di ghasab. ghasib (orang yang meng-ghasab) dapat menjadi bebas setelah mengembalikan barang maghsub (barang yang di ghasab) kepada pemiliknya dan cukup meletakkan di sebelah pemiliknya. apabila di lupa siapa pemiliknya, maka cukup dengan menyerahkannya kepada Qodli. (hakim)

Luqhatah


Bab Luqathah (Barang Temuan)


Senin, 21 Mei 2007 16:05 Fani Media
1. PENGERTIAN LUQATHAH


Luqathah ialah setiap barang yang dijaga, yang hampir sia-sia dan tidak diketahui siapa pemiliknya. Kebanyakan kata luqathah dipakai untuk barang temuan selain hewan. Adapun untuk hewan sering disebut dhallah.


2. KEWAJIBAN ORANG YANG MENEMUKAN BARANG TEMUAN


Orang yang menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfa’atkan oleh penemu.


Dari Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita : Saya pernah berjumpa Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan”. Kemudian saya manfa’atkan. Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan Ubay di Mekkah, maka ia berkata, “Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya selama) tiga tahun atau satu tahun.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III: 135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan ‘Aunul Ma’bud V: 118 no: 1685).


Dari ‘Iyadh bin Hammar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya). Jika pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Shahih Ibnu Majah no: 2032, Ibnu Majah II: 837 no: 2505, dan ’Aunul Ma’bud V: 131 no: 1693).


3. DHALLAH BERUPA KAMBING DAN UNTA


Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang menemukan dhallahberupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat).


Dari Zaid bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: Ada orang Arab badwi datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepadanya tentang barang temuannya. Maka beliau menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun, lalu perhatikanlah bejana yang ada padanya dan tali pengikatnya. Kemudian jika datang (kepadamu) seorang yang mengabarkan kepadamu tentang barang tersebut, (maka serahkanlah ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka hendaklah kamu memanfaatkan ia.” Ia bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana) barang temuan berupa kambing?” Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang barang temua berupa unta?” Maka raut wajah Nabi saw berubah, lalu Rasulullah bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta? Ada bersamanya terompahnya dan memiliki perut, ia mendatangi air dan memakan rerumputan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 80 no: 2427, Muslim III: 1347 no: 2 dan 1722, Tirmidzi II: 415 no: 1387, Ibnu Majah II: 836 no: 2504, dan ’Aunul Ma’bud V: 123 no: 1688).


4. HUKUM (BARANG TEMUAN) BERUPA MAKANAN DAN BARANG YANG SEPELE


Barangsiapa yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka boleh dimakan, dan barangsiapa menemukan sesuatu yang sepele yang tidak berkaitan erat dengan jiwa orang lain, maka boleh dipungut dan halal dimilikinya.


Dari Anas ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 86 no: 2431, Muslim II: 752 no: 1071 dan ’Aunal Ma’bud V: 70 no: 1636.


5. (BARANG TEMUAN) DI KAWASAN TANAH HARAM


Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak boleh dipungutnya kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak hingga diketahui siapa pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya meskipun sudah melewati setahun lamanya mengumumkannya, tidak seperti luqathah di daerah lainnya; berdasarkan hadits:


Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal (pula) bagi seorang pun sepeninggalku; dan sesungguhnya dihalalkan untukku hanya sesaat di siang hari. Tidak boleh dicabut rumputnya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh membuat lari binatang buruannya, dan tidak boleh (pula) mengamankan barang temuannya kecuali untuk seorang yang akan mengumumkan.”(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1751, Irwa-ul Ghalil no: 1057 dan Fathul Bari IV: 46 no: 1833).


Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 709 - 712.

QARDH


MAKALAH QARDH


Posted by tutik handayani's blog on Mei 23, 2011 · Tinggalkan Sebuah Komentar

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala sanjung-puji kami haturkan kepada Allah SWT.yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk mencari ilmu dan kemudian mendapat kesempatan tergolong kepada manusia yang bernilai lebih di hadapan-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Insan Kamil pembawa agama rahmah li al-‘aalamiin, dengan kesempurnaan konstruksi syariahnya, Muhammad Ibn Abdillah.
Kemudian, terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing Matakuliah “Fiqih Muamalah”, Abbas Arfan Lc, MH yang telah memberi tugas kelompok hubungannya dengan Qardh. Berawal dari penugasan inilah, kami termotivasi untuk membaca dan menganalisis secara intensif tema yang sejak lama sudah menjadi momok mengerikan perihal aplikasinya dalam kehidupan karena sering kali mayoritas orang terjebak pada praktek riba yang mengatasnamakan Qardh, hingga kemudian kami berani untuk menuliskan apa yang kami ketahui berdasarkan beberapa literatur yang kami baca menjadi sebuah makalah.
Selanjutnya, kami mohon maaf kepada semua pihak manakala dalam penyusunan makalah ini didapati kekeliruan, baik yang disengaja atau tidak. Sebab, kendati pun begitu banyak literatur yang digunakan, penyusunan makalah ini tidak dapat lepas dari keterbatasan akal picik dan kemampuan manusia yang cukup sarat dengan kesalahan dan kekeliruan. Oleh karenanya, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan sebagai evaluai terhadap proses pengembangan kami.
Selebihnya, terima kasih.
Malang, 06 November 2010

Pemakalah

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….1
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….2
PENDAHULUAN………………………………………………………………..3
A. Latar Belakang……………………………………………………….3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………..3
C. Tujuan Penulisan………………………………………3
PEMBAHASAN…………………………………………………………………..4
A. Pengertian Qardh……………………………………4
B. Landasan Hukum Qardh………………………. …..5
C. Rukun dan Syarat Qardh……………………………9
D. Pelaksanaan Qardh………………………………..11
1. Adanya Tambahan…………………………11
2. Hukum(ketetapan) Qardh………………….15
3. Tempat Membayar Qardh…………………16
4. Jatuh Tempo Qardh………………………..16
5. Jaminan……………………………………17
6. Khiyar dan Penangguhannya………………20
PENUTUP……………………………………………………..22
A. Kesimpulan……………………………………………..22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..23

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konsep Muamalah yang kafah dewasa ini telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar islam, khususnya Negara-negara maju dan berkembang. Sedikit demi sedikit telah tersisihkan, bergeser, bahkan menghilang dari kancah masyarakat islam itu sendiri. Tak heran jika banyak pihak yang melakukan konfrontasi ke inernal islam itu sendiri. Kondisi ini merupakan suatu keuntugan tersendiri bagi mereka.
Banyak praktek-praktek perbankan Negara Kapitalis yang mengatasnamakan syariah (mumalah) Islam. Khususnya Utang-piutang (Qardh). Riba dalam perbankan pun tak terhindarkan. Padahal dalam Islam tidak membenarkan adanya Riba dalam Utang-piutang.
Bertolak dari problematika itulah, pemakalah mencoba untuk menguraikan secara terperinci tentang konsep Utang-piutang yang benar dalam islam. Bertujuan agar Umat Islam (umumnya) dan pemakalah (khususnya) terjauhkan dari konsep (Riba) tersebut. Amin.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Qardh?
2. Apa saja Landasan Hukum Qardh?
3. Apa Rukun dan Syarat Qardh?
4. Bagaimana Pelaksanaan Qardh?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui Pengertian Qardh
2. Mengetahui Landasan Hukum Qardh
3. Mengetahui Rukun dan Syarat Qardh
4. Mengetahui Pelaksanaan Qardh

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QARDH
Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong). Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian hartanya dan memberikannya kepada pengutang.
Adapun definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.
Pengertian Qardh menurut istilah, diantara lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah:
ما تعطيه من مال مثلي لتقتضاه
Artinya:
“Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya. ”
عقد مخصوص يرد على دفع مال مثلى لاخر ليرد مثله
Artinya:
“Akad terlalu dengan membayarkan harta mitsil kepada orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya ”.
Memberikan utang ini merupakan salah satu bentuk dari rasa kasih sayang. Rasulullah menamakannya maniihah, karena orang yang meminjam memanfaatkannya kemudian mengembalikannya kepada pengutang.
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya mengutang uang Rp. 2000,00 akan dibayar Rp. 2000,00 pula.
Utang piutang mempunyai kemiripan dengan pinjam-meminjam dari segi bahwa yang dimiliki hanya manfaatnya dan pada waktunya dikembalikan kepada pemilik dan juga mempunyai kemiripan dengan pembayaan harga pembelian pada waktu yang ditangguhkan dan punya hubungan pula dengan muamalah riba. Oleh karena itu, perlu dijelaskan definisi atau batasan dari utang-piutang tersebut.
Definisi utang-piutang tersebut yang lebih medekat pada pengertian yang mudah dipahami adalah : “penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang sama”. Kata “penyerahan harta” disini mengandung arti pelepasan pemilikan dari yang punya. Kata “untuk dikembalikan pada waktunya” mengandung arti bahwa pelepasan pemilikan hanya berlaku untuk sementara, dalam arti yang diserahkan itu hanyalah manfaatnya. “berbentuk uang” disini mengandung arti uang dan yang dinilai dengan uang. Dari pengertian ini dia dibedakan dari pinjam-meminjam karena yang diserahkan disina adalah harta berbentuk barang. Kata “nilai yang sama” mengandung arti bahwa pengembalian dengan nilai yang bertambah tidak disebut utang-piutang, tetapi adalah usaha riba. Yang dikembalikan itu adalah “nilai” maksudnya adalah bila yang dikembalikan wujudnya semula, ia termasuk pada pinjam-meminjam, dan bukan utang piutang.
B. LANDASAN HUKUM QARDH
Untuk maksud utang-piutang dalam terminologi fiqh digunakan dua istilah yaitu Qardhu (القرض) dan Dayn (الدين) kedua lafaz ini terdapat dalam Al-Quran dan hadits Nabi dengan maksud yang sama yaitu utang-piutang .Utang-piutang merupakan perbuatan kebajikan yang telah disyari’atkan dalam islam. Hukumnya adalah mubah atau boleh.
Al-Qardhu (memberikan utang) merupakan kebajikan yang membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan membantunya dalam memenuhi kebutuhan. Sedangkan, mengutang tidaklah terhitung sebagai meminta-minta yang makruh, karena Rasulullah sendiri pernah berutang kepada orang lain.
Memberi Utang hukumnya sunnah, bahkan dapat menjadi wajib, misalnya mengutangi orang yang terlantar atau orang yang sangat membutuhkannya. Memang tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat sangat besar faidahnya terhadap masyarakat, karena tiap-tiap orang dalam masyarakat biasanya memerlukan pertolongan orang lain.
Qardh dibolehkan dalam Islam yang didasarkan pada al-Qur’an, as-Sunah dan Ijma’.
1. Al-Qur’an
Dasar hukum bolehnya transaksi dalam bentuk Utang-piutang tersebut dalam bentuk ayat al-Quran diantaranya pada surat al-Muzammil ayat 20 :
وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة وأقرضوا الله قرضا حسنا
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat serta beri utanglah Allah dengan utang yang baik.”
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-Baqarah ayat 282 :
ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka tuliskanlah.”
Firman Allah Swt:
         
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. ”(Qs. Al-Maidah: 2)
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-Baqarah ayat 282 :
ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka tuliskanlah.”

2. Al-Sunnah
Memberi utang adalah disunahkan, dan orang yang melakukannya mendapat pahala yang besar. Rasulullah bersabda:

﴿ ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصجقة مرة ﴾
“Tiada orang muslim yang memberikan utang kepada seorang muslimin dua kali, kecuali piutangnya bagaikan sedekah satu kali”(HR. Ibnu Majah)
Ada yang mengatakan bahwa memberi utang lebih baik daripada bersedekah, karena seseorang tidak memberikan utang kecuali kepada orang yang membutuhkannya.
Dasar dalam hadits Nabi diantaranya adalah yang disampaikan oleh abu hurairah menurut riwayat al-Bukhari sabda Nabi yang berbunyi :

من أخذا أموال الناس يريد أداءها أدى الله عنه ومن أخذها يريد إتلا فها أتلفه الله
“Barang siapa yang mengambil harta seseorang dan ia bermaksud untuk membayarnya, Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang bermaksud mengambilnya dam melenyapkannya, Allah akan melenyapkannya.”
Juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Hakim ucapan Nabi yang bunyinya :
إن الله مع الدائن حتى يقضى دينه
“Sesungguhnya Allah bersama orang yang berutang hingga ia membayar hutangnya.”
Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:
﴿ من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا ، نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ﴾
“Barangsiapa meringankan suatu beban daqri seorang muslim di dunia ini, mnaka Allah akan meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan hari kiamat darinya.”
والله فى عون العبد مادام العبد فى عون اخيه . ﴿ وراه مسلم ﴾
“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.”(Riwayat Muslim).
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa Qardh dibolehkan dalam islam. Hukum Qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits yang dirirawatkan oleh Ibnu Majah di atas. Juga ada hadits lainnya:
عن أبى هريرة ر.ع.قال : قال رسول الله ص.م. : من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر يسر الله عليه فى الدنيا والاخرة ومن ستر مسلما ستره الله فى الدنيا والاخرة والله فى عون العبد ماكان العبد فى عون أخيه ﴿ اخرجه مسلم ﴾
Artinya:
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW, telah bersabda, barang siapa melepaskan dari seorang muslim dari satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya didunia dan akhirat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya menutupi (aib) nya didunia dan akhirat. Dan Allah selamanya monolong hamba-NYA, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (H.R. Muslim).

C. RUKUN dan SYARAT QARDH
Utang-piutang itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun Utang-piutang itu adalah akad yang bermaksud melepaskan uang untuk sementara dengan cara yang menunjukkan adanya rasa suka sama suka. Rukun Utang Piutang:
1. Lafadz (kalimat mengutang), seperti :” saya utangkan ini kepada engkau.” Jawab yang berutang,”saya mengaku berutang kepada engkau.”
2. Yang berpiutang dan yang berutang.
3. Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang bisa dihitung, boleh diutangkan, begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis hewan yang sama.
Unsur yang terlibat dalam transaksi utang-piutang tersebut adalah orang yang berutang (الدائن), orang yang memberi utang (المدائن)dan objek utang-piutang yaitu uang atau barang yang dinilai dengan uang dan tenggang waktu pembayaran.
Pihak yang terlibat transaksi yaitu dain dan muddain adalah orang yang telah cakap dalam bertindak terhadap harta dan berbuat kebajikan, yaitu telah dewasa,berakal sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa paksaan. Sedangkan syarat yang berkenaan dengan objek yaitu uang adalah jenis nilainya, milik sempurna dari yang memberi utang dan dapat diserahkan pada waktu akad. Sedangkan yang menyangkut dengan tenggang waktu harus jelas dan dalam masa itu uang yang diserahkan telah dapat dimanfaatkan.
Disyaratkan untuk syahnya pemberian utang ini bahwa pemberi utang adalah orang yang boleh mengeluarkan sedekah. Maka, seorang wali (pengasuh) anak yatim tidak boleh memberikan utang dari harta anak yatim yang ia asuh tersebut. Disyaratkan juga diketahuinya jumlah dan cirri-ciri harta yang dipinjamkan, agar dapayt dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan demikian, piutang tersebut menjadi utang di tangan orang yang meminjam , dan ia wajib mengembalikannya ketika mampu dan tanpa menunda-nundanya.
Qardh dipandang sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang dibolehkan syara’. Selain itu, Qardh pun dipandang sah setelah adanya ijab qabul, seperti pada jual beli dan hibah.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Qardh dipandang sah pada harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai. Diantara yang dibolehkan adalah benda-benda yang ditimbang, ditakar atau dihitung. Qardh selain dari perkara diatas dipandang tidak sah, seperti hewan, benda-benda yang menetap ditanah, dan lain-lain.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan Qardh pada setiap benda yang tidak dapat di serahkan, baik yang ditakar maupun yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Hal itu didasarkan pada hadis dari Abu Rafi bahwa Nabi SAW menukar (qarad) anak unta. Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang bisa ditakar, atau ditimbang. Jumhur ulama membolehkan, Qardh pada setiap benda yang dapat diperjual belikan, kecuali manusia. Mereka juga melarang Qardh Manfaat , seperti seseorang pada hari ini mendiami rumah, tetapi Ibn Taimiyah membolehkannya.
Menurut pendapat paling unggul dari ulama Hanafiyah, setiap Qardh pada benda yang mendatangkan manfaat diharamkan jika memakai syarat. Akan tetapi, dibolehkan jika tidak disyaratkan kemanfaatan atau tidak diketahui adanya manfaat Qardh.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa muqrid tidak bisa memanfaatkan harta muqtarid, seperti naik kendaraan atau makan dirumah muqtarid, jika dimaksudkan untuk membayar utang muqrid, bukan sebagai penghormatan. Begitupula dilarang memberikan hadiah kepada muqrid, jika dimaksudkan untuk menyicil utang.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah melarang Qardh terhadap sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan, seperti memberikan Qardh agar mendapat sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak sebab qarad dimaksudkan sebagai akad kasih sayang, kemanfaatan, atau mendekatkan hubungan kekeluargaan. Selain itu, Rosulullah Saw. pun melarang. Namun demikian, jika tidak disyaratkan atau lebih dimaksudkan untuk mengambil yang lebih baik, Qardh dibolehkan. Tidak dimakruhkan oleh muqrid atau mengambilnya, sebab Rasulullah Saw. pernah memberikan anak onta yang lebih baik kepada seorang laki-laki dari pada unta yang diambil beliau Saw. Selain itu , Jabir bin Abdullah berkata:
كان لى على رسول الله ص.م. حق فقضانى وزادنى ﴿ رواه البخارى ومسلم ﴾
Artinya:
“ aku memiliki hak pada Rasulullah SAW kemudian beliau membayarnya dan menambah untukku ” (H.R Bukhori dan Muslim)
Pendapat Ulama’ Fiqih tentang Qardh dapat disimpulkan bahwa Qardh dibolehkan dengan dua syarat:
a. Tidak menjurus pada suatu manfaat
b. Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual-beli

D. PELAKSANAAN QARDH
1. ADANYA TAMBAHAN
Diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan dari utang yang ia berikan ketika mengembalikannya. Para ulama sepakat, jika pemberi utang mensyaratkan kepada pengutang untuk mengembalikan utangnya dengan adanya tambahan, kemudian si pengutang menerimanya maka itu adalah riba. Dan yang dipraktikkan bank-bank sekarang ini, yaitu member pinjaman dengan adanya bunga, adalah jelas-jelas riba, baik berupa pinjaman konsumtif maupun pinjaman produktif, sebagaimana yang mereka namakan. Maka pemberi utang, baik bank, perorangan maupun perusahaan, tidak boleh menerima tambahan yang disyaratkan, apa pun nama dan bentuk tambahan tersebut. Baik dinamakan sebagai laba, bunga ataupun hadiah; baik bentuknya adalah menempati sebuah rumah, mengendarai nkendaraan dan sebagainya. Jadi selama tambahan, hadiah atau manfaat tersebut disyaratkan, maka itu adalah riba.
Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai sama dengan yang diterima dari pemiliknya; tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu menjadikan transaksi ini menjadi riba yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadits dari Ali ra. Menurut riwayat al-Harits bin Usamah yang bunyinya :
كل قرض جرمنفعة فهو ربا
“Setiap utang yang menghasilkan keuntungan adalah riba.”

Yang dimaksud dengan keuntungan atau kelebihan dari pembayaran dalam hadits tersebut diatas adalah kelebihan atau tambahan yang disyaratkan dalam akad utang-piutang atau ditradisikan untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu adalah kehendak yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya, maka yang demikian bukan riba, bahkan cara ini dianjurkan oleh Nabi. Halini terdapat dalam beberapa riwayat dari Nabi diantaranya adalah hadits dari Abu Rafi’ menurut riwayat Muslim :
أن النبى صلى الله عليه وسلم استسلف بكرا فقدمت إليه إبل من إبل الصدقة فامر أبا رافع أن يقضى ألرجل بكره قال لا أجد إلا خيارا ربا عيا فقال أعطه إياه فإن خيار الناس أحسنهم قضاء
“Bahwa Nabi Muhammad SAW. Mengutang seekor unta muda dari seseorang, kemudian dibawa kepadanya seekor unta dari unta sodaqoh, Nabi menyuruh Abu Rafi’ untuk membayar utangnya, Abu Rafi’ berkata: “saya tidak mendapatkan kecuali unta yang sudah besar”. Nabi bersabda: berikanlah itu, karena orang yang paling baik adalah yang membayar utang dengan yang lebih baik”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik, Rasulullah bersabda:
﴿ إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى إليه أو حمله على الدابة ، فلا يركبها ولا يقبلها إلا أن يكون جرى بينة وبينه قبل ذلك ﴾
“Jika salah seorang kalian memberikan utang, lalu orang yang berutang memberinya hadiah atau menaikkannya ke atas hewan tunggangannya, maka hendaknya ia jangan menaikinya dan jangan menerimanya , kecuali jika sebelumnya mereka telah terbiasa dengan hal tersebut.”(HR Ibnu Majah).
عن ابى هريرة قال استقرض رسول الله صلى الله عليه وسلم سنا فاعطى سناخيرا من سنه وقال خياركم احاسنكم قضاء .
Dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Rosulullah telah mengutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya dari pada hewan yang beliau utang itu, dan rosulullah Saw bersabda, orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.”(Riwayat Ahmad dan Tirmizi,lalu disahihkannya)
Dan, masih banyak hadits yang menguatkan hadits ini. Diriwayatkan juga bahwa Abdullah bin Salam r.a. barkata, “jika engkau mempunyai piutang atas seseorang, lalu ia memberimu jerami sebanyak satu bawaan unta, maka janganlah engkau menerimanya. Karena sesunguhnya itu adalah riba.”Dan kedudukan riwayat dari Abdullah bin Salam r.a. ini bagakan hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah.
Maka, pemberian utang (muqridh) dilarang menerima hadiah dari pengutang, baik berupa benda atau jasa, jika hal tersebut karena utang tersebut. Hal ini dikarenakan adanya larangan akan hal itu. Disamping itu juga, karena al-qardhu (pemberian utang) adalah akad yang berlangsung kerena rasa belas kasihan terhadap orang yang membutuhkan, dan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehinga, jika disyaratkan adanya tambahan di dalamnya, atau pemberi utang berkeinginan dan bermaksud mendapatkannya, maka hal itu telah mengeluarkan al-qardhu (pemberian utang) dari tujuannya semula-yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menolong orang yang membutuhkan-, menjadi sarana untuk mencari keuntungan dari orang yang membutuhkan bantuan. Dengan demikian, maka hal itu bukan lagi al-qardhu.
Seorang muslim haruslah berhati-hati dalam hal ini. Dan, hendaklah selalu mengikhlaskan dalam memberi utang dan dalam amal-amal saleh lainnya. Karena sesungguhnya tujuan dari memberikan utang bukanlah untuk menumbuhkembangkan harta secar lahir, akan tetapi mengembangkannya secara maknawi. Yaitu, dengan berkah yang diturunkan oleh Allah, sehingga harta tersebut berkembang dan menjadi harta yang bai8k. dan, hal ini hanya terwujud dengan menggunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang salah satunya adalah memberikan utang dengan tidak mengambil tambahan apa-apa darinya.
Peru diketahui bahwa tambahan yang haram diambil dari pemberian utang (al-qardhu) adalah tambahan yang disyaratkan. Seperti seseorang yang berkata, “saya memberimu utang sekian-sekian, denmgan syarat engkau mengembalikannya dnagn tambahan sekian-sekian.” Atau, “ saya memberimu pinjaman sekian, dengan syarat engkau membolehkan saya untuk tinggal di rumahmu atau memakai tokomu”, atau juga, “ dengan syarat engkau menghadiahkan kepada ku ini,” atau tidak ada syarat yang disebutkan, akan tetapi terdapat tujuan dan keinginan untuk mendapatkannya, maka hal ini dilarang.
Adapun jika peminjam memberikan tambahan dari dirinya sendiri dan berangkat dari keikhlasannya, bukan karena syarat yanmg ditetapkan oleh pemberi utang, maka pemberi utang boleh menerimanya. Karena ini terhitung sebagai husnul qadha (membayar utang dengan baik). Disamping itu, Rasulullah pernah meminjam sesuatu kepada (abu) Bakar, lalu beliau melunasinya dengan lebih baik.
Dan beliau bersabda:
﴿ خيركم أحسنكم قضاء ﴾

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman.”
Ini merupakan akhlak yang terpuji, baik menurut adat maupun syara’ , bukan termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat. Karena tambahan tersebut tidak disyaratkan oleh pemberi utang, juga tudak adanya kesepakatan akan hal itu antara dia dan pengutang, akan tetapi tambahan tersebut diberikan secara suka rela oleh pengutang.
Demikian juga jika pengutang sebelumnya sudah terbiasa melakukan suatu jasa kepada pemberi utang, dan ia melakukannya bukan karena utangnya kepada pemberi utang. Maka dalam hal ini, pemberi utang boleh menerimanya, karena tidak ada larangan di dalamnya.

2. HUKUM (KETETAPAN) QARDH
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, Qardh menjadi tetap setelah pemegangan atau penyerahan. Dengan demikian, jika seseorang menukarkan (iqtaradha) satu kilo gram gandum misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta zatnya. Jika muqrid tidak memintanya, muqtarid tetap menjaga benda sejenisnya, walaupun Qardh (barang yang ditukarkan) masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf, muqtarid tidak memiliki Qardh selama Qardh masih ada. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan Qardh, sebagaimana terjadi pada akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum ada penyerahan dan pemegangan: Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang sejenis dengan Qardh muqrid meminta zatnya, baik serupa maupun asli. Akan tetapi jika Qardh telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda sejenis.
Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah senada dengan pendapat Abu Hanifah bahwa ketetapan Qardh dilakukan setelah penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus menyerahkan benda sejenis (Mitsil) jika penukaran terjadi pada harta mitsil sebab lebih mendekati hak muqrid. Adapun pertukaran pada harta qimi (bernilai) didasarkan pada gambarannya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian Qardh pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda lainnya, yang tidak dihitung dan ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat., Pertama sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari akad Qardh. Kedua mengembalikan benda sejenis yang mendekati Qardh pada sifatnya.

3. TEMPAT MEMBAYAR QARDH
Ulama fiqih sepakat bahwa Qardh harus dibayar ditempat terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya ditempat lain apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga tidak halangan dijalan. Sebaliknya, jika terdapat halangan apabila membayar ditempat lain, muqrid tidak perlu menyerahkannya.

4. JATUH TEMPO QARDH
Utang wajib dibayar pada waktu yang ditentukan bila yang berutang memang telah mampu membayarnya. Bila dia mampu membayar tetapi menangguhkkan pembayarannya, dia dinyatakan sebagai orang yang zhalim sebagaimana dikatakan Nabi dalam hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya sabda Nabi dari Abu Huraira menurut riwayat al-Bukhari :
مطل الغني ظلم
“Tindakan orang kaya yang menangguh-nangguhkan hutangnya adalah zhalim.”
Hadits Nabi yang lain dari ‘Amru bin Syarid menurut riwayat Abu Daud dan al-Nasai, sabda Nabi:

لي الواجد يحل عرضه وعقوبته
“Orang-orang yang mempunyai harta tetapi mengguhkan hutangnya boleh dituntut dan disiksa.”
Namun bila yang berutang tidak mampu membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, orang yang mengutangi diharapkan bersabar sampai yang berutang mempunyai kemampuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280:
وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة وأن تصدقوا خير لكم إن كنتم تعلمون

Artinya:
“Jika mereka (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka hendaklah tunggu sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayar. Bila kamu sedekahkan, itu akan lebih baik; seandainya kamu mengetahui.”
Kemudian pengutang(muqtaridh) wajib berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melunasi utangnya, tanpa mengulur-ngulurnya ketika mampu membayarnya. Allah berfirman:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(Qs.ar-Rahmaan: 60)
Sebagian orang menyepelekan kewajiban mereka, khususnya dalam masalah utang. Dan ini adalah perilaku yang tercela, yang membuat banyak orang enggan memberikan utang dan member kemudahan kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal ini merupakan salah satu faktor beralihnya orang-orang ke benk-bank yang menerapkan system riba dan melakukan hal yang diharamkan oleh Allah. Karena ketika membutuhkan, mereka tidak menemukan orang yang memberi mereka pinjaman denagn baik. Sedangkan, orang yang mau memberikan utang tidak menemukan orang yang mau melunasi utangnya dengan baik, sehingga hilanglah kebaikan dari orang-orang.

5. JAMINAN (RUNGGUHAN)
Jaminan atau rungguhan ialah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku dibawah itu).
Firman Allah Swt.:
        •
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”(Qs.Al-Baqarah:283)
Sabda Rasulullah Saw:
عن انس قال رهن رسول الله صلى الله عليه وسلم درعا عنديهودى بالمدينة واخذ منه شعيرا لاهله . ﴿ رواه أحمد والبخارى والنسائى وابن ماجه ﴾
Dari anas. Ia berkata, “Rasulullah Saw. Telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah, sewaktu beliau mengutang Sya’ir (Gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah beliau.”(Riwayat Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibnu Majah).
Menurut keterangan dalam hadis lain, banyaknya biji gandum yang diutang Rasulullah Saw. Dari dari seorang yahudi adalah tiga puluh sa’ lebih kurang 90 liter, dengan jaminan baju perang beliau. Dari hadits tersebut jelaslah bagi kita bahwa agama Islam dalam urusan muamalat tidak membedakan antara pemeluknya dengan yang lain. Wajib antara muslimin membayar hak pemeluk agama lain seperti terhadap sesama mereka. Begitu juga tidak halal harta mereka selain dengan cara yang halal terhadap sesama muslim. Rukun Rungguhan:
a. Lafadz (kalimat akad), seperti; “saya saya rungguhkan ini kepada engkau untuk utangku yang sekian terhadap engkau.” Jawab yang berpiutang, “saya terima rungguhan ini.”
b. Ada yang merungguhkan dan yang menerima rungguh (yang utang dan yang berpiutang). Keduanya hendaklah ahli tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).
c. Barang yang dirungguhkan. Tiap-tiap zat yang bisa dijual dirungguhkan dengan syarat keadaan barang itu tidak rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Apabila barang yang telah dirungguhkan diterima oleh yang berpiutang, tetaplah rungguhan; dan apabila rungguhan telah tetap yang punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang itu, baik dengan jalau ataupun diberikan dan sebagainya, kecuali dengan izin yang berpiutang. Apabila barang yang dirungguhkan rusak atau hilang ditangan orang yang memegangnya, ia tidak wajib mengganti karena barang rungguhan itu adalah barang amanat (percaya-mempercayai), kecuali rusak atau hilangnya itu disebabkan kelalaiannya. Manfaat barang yang dirungguhkan yakni: Orang yang punya barang tetap berhak mengambil manfaat dari barang yang dirungguhkan, bahkan semua manfaatnya tetap kepunyaan dia, kerusakan barang pun atas tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat barang yang dirungguhkan itu walaupun tidak seizing orang yang menerima rungguhan. Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya dari barang itu atau mengurangi harga barang itu tidak diperbolehkan kecualai dengan izin orang yang menerima rungguhan. Maka tidaklah sah bila orang yang merungguhkan menjual barang yang sedang dirungguhakan itu, begitu juga menyewakannya apabila masa sewa-menyewa itu melalui masa rungguhan.
Sabda Rasulullah SAW:
لايغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه وعليه غرمه .﴿ رواه الشافعى والدارقطنى ﴾
“Rungguhan tidak menutup pemiliknya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib membayar dendanya.” (Riwayat Syafii dan Daruqutni)
Orang yang memegang rungguhan boleh mengambil manfaat barang yang dirungguhakan dengan sekadar ganti kerugiannya, untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah SAW:
اذا ارتهن شاة شرب المرتهن من لبنها بقدر علفها فان استفضل من اللبن بعد ثمن العلف فهوربا . ﴿ رواه حماد بن سلمة ﴾
“Apabila seekor kambing dirungguhkan, maka yang memegang rungguhan itu boleh meminum susunya sekadar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba” (Riwayat Hammad bin Salmah).
Bertambahnya barang yang dirungguhkan:
a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau anaknya yang jadi dan lahir sesudah dirungguhkan tidak termasuk barang rungguha, tetapi tetap kepunyaan orang yang merungguhkan. Maka jika barang rungguhan itu dijual oleh yang memegang rungguhan, tambahannya itu tidak boleh ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut dirungguhkan.
b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan, seperti tambahan gemuk, tambahan besarnya, dan anak yang masih dalam kandunga, semuanya itu termasuk yang dirungguhkan. Begitu juga bulunya jika di waktu merungguhkan sudah watu memotong tetapi tidak dipotonngnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk dirungguhkan. Tetapi jika di waktu merungguhkan belum waktunya dipotong, maka ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk dirungguhkan; yang punya barang berhak memotongnya dan mengambil bulu itu apabila sampai waktu memotongnya.
Adapun rungguhan yang berlaku di negeri kita ini (seorang merungguhkan sawah atau pohon kelapa, semua penghasilannya diambil oleh yang memegang), hal itu tidak sah dan tidak halal, sebab rungguhan itu hanya berguna utnuk menambah kepercayaan yang berpiutang kepada yang berhutang, bukan untuk mencari keuntungan bagi yang berpiutang.

Sabda Rasulullah Saw.:
كل قرض جرمنفعة فهو وجه من وحوه الربا . ﴿ اخرجه البهقى ﴾
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba” (Riwayat Baihaqi).
6. KHIYAR dan PENANGGUHANNYA
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam Qardh tidak ada khiyar sebab maksud dari khiyar adalah membatalkan akad, sedangkan dalam Qardh masing-masing berhak boleh membatalkan akad kapan saja dia mau. Jumhur ulama melarang penangguhan pembayaran Qardh sampai waktu tertentu sebab dikawatirkan akan menjadi riba nasi’ah. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan bahwa Qardh adalah derma, muqrid berhak meminta penggantinya waktu itu. Selain itu, qaradpun termasuk akad yang wajib diganti dengan harta mitsil, sehingga wajib membayarnya pada waktu itu, seperti harta yang rusak.
Namun demikian, ulama Hanafiyah menetapkan keharusan untuk menangguhkan Qardh pada empat keadaan:
1. Wasiat, seperti mewasiatkan untuk penangguhan sejumlah harta dan ditangguhkan pembayarannya selama setahun, maka ahli waris tidak boleh mengambil penggantinya dari muqtarid sebelum habis waktu setahun.
2. Diasingkan, Qardh diasingkan kemudian pemiliknya menangguhkan sebab penangguhan pada waktu itu diharuskan.
3. Berdasarkan keputusan hakim.
4. Hiwalah, yaitu pemindahan utang.
Imam Malik berpendapat bahwa Qardh ditangguhkan dengan adanya penangguhan sebab Nabi SAW bersabda:
المسلمون على شروطهم ﴿ رواه أبوداود وأحمد والترمذى والدارقطنى ﴾
Artinya:
“Orang-orang Islam didasarkan pada (persyaratan yang mereka buat).” (H.R. abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Daruqtuni)
Selain itu, kedua belah pihak yang melakukan akad dapat menetapkan atau membatalkan transaksi.

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraiaan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengertian secara bahasa:memotong, secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.
2. Landasan Hukum: al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, al-Sunnah HR. Ibnu Majah, Ijma’ yang didasarkan pada HR. Ibnu Majah.
3. Rukun:lafadz (Ijab Qabul), yang berpiutang dan yang berutang, barang yang diutangkan. Sedang syaratnya disebutkan di muka.
4. Pelaksanaannya:adanya tambahan itu haram bila disyaratkan, hukum ketetapannya setelah terjadi penyerahan, tembat membayar ialah ketika terjadinya akad tersebut, ketika jatuh tempo diwajibkan untuk segera dibayar jika mampu dan sebaliknya, jaminan diperlukan guna kepercayaan yang berpiutang dan yang berutang, tidak adanya khiyar dan dilarang untuk ditangguhkan pembayarannya untuk waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Fauzan, Saleh. 2006. Fiqih Sehari-hari. Jakarta:Gema Insani
Rasjid, Sulaiman. 2004. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algesindo
Syafei, Racmat.2001.Fiqih Muamalah.Bandung:Pustaka Setia
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh.Jakarta:Prenada Media

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host