Sunday, February 24, 2013

Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi


2.1       Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi (W. 790 H/1388 M)

A.    Riwayat Hidup
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan Muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.[1]
Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh  s eluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nshar, Granada uang meriupakan benteng terakhir  udmat Islam di Spayol. Masa mudanya  bertepa tan dengan masa pemerindtahan Suldtan Muhammad  V Al- Ghani  Billa bh  yang merupakan  masa ke masan  umat Islam setempat  karena Granada menjadi pusat kegdiatan ilmiah dengan berdirinya  Universidtas  Granada.
            Suasa na ilmiah  yang berkembang  dengan baik di kota tersebut  ngant menguntungkan bagi Al-Syatibi  dalam menuntut  ilmu s erta mengembangdkankannya din kemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualisnya, tokoh  yang bermazhab Maliki inmi mengendalami berdbagai  ilmu, baik  yang berbentuk  ‘ulum al—wasa’il (metode0  ma upun ulu,m maqasshid  (esensi  dan hakikat). Al – Syatibi memulai   aktivitas  ilmiahnya dengan belajar  dan mendalami   bahasa arab  da ri Abdillah  Muhammad ibn Fakhkhar  Al-Biri, Abu Qasim  Muhammad  ibn  Ahmad Al-Syatbti, dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari . selanjutnya , ia belajar  dan mendalami hadis  dari Abu Qasim ibn Bina dan Syam suddin Al – Tilimsani, ilmu  kalam dan falsasfah  dari Abu Ali Mnasur  Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih  dari Abu  Abdillah Muha mmad   ibn  Muhammad   bin ahjmad al-miqarri dan abu nabdillah Muhammad ibn Qarsyi Al- Hasyim, serta berbagai  ilmu lainndya, seperti b ilmui   falak , mantiq dan debat. Disamping  bertemu langsung ia juga melakukan korespondensi untuk meningdkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi,  Abu Abdillah ibn  Ibad Al- Nafsi Al-Rundi.
 Meksipun mempelahjari dan mendalami   berbagai ilmu, AlSyatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arba dan, khusunya , ushul fiqih. Ketertarikannya terhadap ilmuy ushul fiqih karena,  menurutnyay, metodologi dan falsafat   fiqih  Islma merudpakan  factor  yang sangat mennetudkan kekuatan dna kelemahan  fiqih dalam menanggapi perubahan sosial. [2]
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al- Syatibi mengembangdkan potensi keilmuannya dengan mengajardkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu Abdillah Al- Bayani. Disamping  itu, ia juga  mewarisi karya-karyya  ilmiah, seperti Syarh Jalil’ala al-Kulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dala m bidang bahasa Arab dan Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah  dan Al-Tishan dalam bidang ushul fiqih. AlSyatibi w afat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).

B.      Beberapa Pandangan Al-Syatibi di Bidang  Ekonomi
1.      Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, ASl Syatibi mengakui halk milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan  bahwa air bukanlah   objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bias  dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam seperti air sungai dan oase; dan air yang dijadikan sebagai   objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, oa mendyatakan bahwa ktidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terdhadap sungai didkarenakan adanya pembangudnan dam.[3]

2.      Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak dharus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para  pendahulunya, seperti  Al-Ghazali dan Ibnu Al-Fara’ ia menyatakan bahwa  pemeliharaan kepentingan umum secara esensial  adalah tanggung jawab kmasyarakat. Dalam kondisi tidak mampu  melaksanakan  tanggung jawab   ini, masyarakat  bias mengalihkannya kepada Baitul Mal serdta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka s endiri untuk tujduan ktersebut. Oleh karena itu, pemerintah  dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah  dikenal dalam sejarah Islam.[4]

C.    Wawasan Modern  Teori Al-Syatibi
Dari pemaparan  konsep Maqashid Al-Syari’ah di atas, terlihat jelas bahwa syariah  menginginkan setiap individu  memperhatidkan kesejhahteraan mereka. Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan  tujuan  syariah ini. Dengan kata lain, manusia s enantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan  seperti didefinis yariah harus harus diikuti sebagai kewajiban  agama  untuk memperoleh  kebaikan di dunia dan akhirat. Dendgan demikian bagi umat  manusia disebut s ebagai kebutudhan (needs).[5] Kebutuhan (fulfillment)  dengan sumber daya alam yang tersedia.
      Bila ditelaah dari sudut pandang ilmui manajemen kontemporer konsep Maqashid Al-Syariah mempunyai relevansi yang begitu   erat dengan konsep motivasi. Seperti   yang telah  kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang   berperidlaku. Motivasi  itu s endiri  didevfinisikan sebagai seluruh   kondisi  usaha keras  yang timbul  dari dalam diri manusia  yang  digambarkan  dengan keinginan, hasrat , dorongan, dan sebagainya.[6]  Bila dikaiytkan  Islma , motivasi  manusia dalma melakudkan  aktivitas  ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh ke maslahatan hidup di dunia dan diakhirat.
      Kebutuhan  yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong, untuk beroerilaku  bila  terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis dmaupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.[7]Menurut Maslow, apabila seluruh kebutudhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, dpemenuhdan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal merupakan  hal nmenjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang individu  baru akan beralih  untuk memenuhi kebutuhan  hidup  yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarndya  telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierac hy of needs, dia berpendapat bahwa  dgaris hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya  terdiri dari :[8]
    1. Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti  makan dan minum. Jika belum  terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan mengenyampingdkan seluruh kebutuhan hidup lainndya.
    2. Kebutuhan keamanan (Safety Needs), mencakup  kebutudhan perlindundgan terhadap  dgangguan fisik d an kesehatan serta kritis ekonomi.
    3. Kebutuhan sosial (social Needs), mencakup kebutudhan akan cinta, kasih s ayang, dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan memengaruji kes ehatan jiwa seseorang.
    4. Kebutudhan akan penghargaan (Esteem Needs), mencakup kebutudhan terdhadap penghor matan  d an pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan memen garuhi  rasa percaya diri dan prestise seseorang.
    5. kebutudhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs), mencakup kebutudhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri., kebutudhan ini merudpakan tingkat kebutudhan yang paling tinggi.

Dalam dunia manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut:[9]
1.      Pemenuhan kebutuhan fisiologis antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
2.      Pemenuhan kebutuhan keamanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman.
3.      Pemenuhan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerja sama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi sosial.
4.      pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan piblik terhadap performance yang baik.
5.      Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam berkreativitas dan tantangan pekerjaan.
Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow di atas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep Maqashid al-Syariah. Bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian Maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam perspektif Islam, berpikir pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

2.2       Imam Al-Maqrizi (766 – 845 H)

A.    Biografi
Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir al-Husaini. Ia lahir di desa Barjuwan, Kairo, pada tahun 766 H (1364-1365 M). keluarganya berasal dari Maqarizan, sebuah desa yang terletak di kola Ba’labak. Oleh karena itu, ia cenderung dikenal sebagai al-Maqrizi.
Kondisi ekonomi ayahnya yang lemah menyebabkan pendidikan masa kecil dan remaja al-Maqrizi berada di bawah tanggungan kakeknya dari pihak ibu, Hanafi ibn Sa’igh, seorang penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh berdasarkan pendidikan mahzab ini. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tahun 786 H (1364 M), al-Maqrizi beralih ke mazhab Syafi’i. bahkan, bahkan dalam perkembangan pemikirannya, ia terlihat cenderung menganut mazhab Zhahiri.[10]
Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmmu. Sejak kecil, ia gemar melakukan rihlah ilmiah. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti fiqih, hadis, dan sejarah dari para ulama besar yang hidup pada masanya. Di antara tokoh terkenal yang sangat mempengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun, seorang ulama besar dan penggagas ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi.[11] Interaksinya dengan Ibnu Khaldundimulai ketika Abu al-Iqtishad ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim agung (Qadi al-Qudah) mazhab Maliki pada masa pemerintahan Sultan Barquq (784-801 H).[12]
Al-Maqrizi meninggal dunia di Kairo pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442 M.[13]

B.     Pemikiran Ekonomi Imam Al-Maqrizi
Terhadap karya-karya al-Maqrizi yang berbentuk buku besar, asy-Syayyal membagi menjadi tiga kategori. Pertama, buku yang membahas tentang sejarah dunia, seperti kitab al-Khabar’an al-Basyr. Kedua, buku yang menjelaskan  sejarah Islam umum, seperti  kitab al- Durar al-Mudhi’ah  fi Tarikh al Daulah al-Islamiyyah. Ketiga,  buku yang menguraikan sejarah  Mesir pada masa Islam, seper ti kitab al-Mawa’izh wa al-I’tibar bi Dzikr al-Khithath wa al-Atsar, kitab Itti’azh al-Huna fa bi Dzikr al-A’immah al Fathhimiyyin al-Khulafa, dan kitab al-Sulukj li Ma’rifah Duwal al-Muluk .[14]
Al Madrizi berada pada  fase kedua dalam sejarah pemikiran  ekonomi islam. Yaitu sebuah fase yang mulai terlihat  tanda-tanda melambatkanya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif dalam dunia Islam. Latar be lakang  kehidupan al-maqrizi yang bukan seorang sufi atau filosof dan relative  didominasi  oleh aktiovitas sebagai sejarahwan Muslim sangat mempengaruhi corak pemikirannya tentang ekonomi. Ia senantiasa melihat setiap persoalan dengan flash  back dan mencoba memotret apa adanya mengenai fenomena ekonomi suatu Negara memfokuskan perhatiannya pada  beberapa hal yang mempengaruhi  naik turunnya suatu pemerintahan. Hal ini berarti bahwa pemikiran-pemikiran  ekonomi al-Maqrizi cenderung positif, satu hal yang unik dan  menarik pada fase kedua yang notabene didomina si oleh emnarik  yang normative.
             Dalam pada itu, al-Maqrizi merupakan  pemikir ekonomi Islam  yang melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi. Menurut Adiwarman, focus  perhatian Rasulullah dan Al Khulafa al-Rasyidun  tidakmenimbulkan masalah ini,  tampaknya  dilatarbelakangi oleh jsemakin banyaknya penyimpangan nilai – nilai Islam, terutama dalam kedua aspek tersebut , yang dilakukan oleh para kepala pemerintahan Bani Umayyah dan generasi ses udahnya.
            Pada masa hidupnya, Al-Maqizi dikenal se bagai seorang pengeritik keras kebijakan-kebijakan moneter  yang diberlakukan pemerintahan Bani  Mamluk Burji yang dianggap sebagai sumber malapetaka dan menghancurkan perekonomiank Negara  dan masyarakat Mesir.  Perilaku  para penguasa Mamluk Burji  yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan moral telah mengakibatkan kritis  ekonomi  yang sangat parah yang diidominasi   oleh kecenderungan  inflasioner yang semakin diperburuk  dengen merebaknya  w abah penyakit  menular yang melanda Mesir selama  beberapa  waktu. Situasi tersebut  menginspirasikan al-Maqrizi  untuk mempresentasikan berbagai  pandangannya  terhadap sebab-sebab krisis dalam sebuah karyanya, Ighatsah al-Ummah bi Kasyf al- Ghummah.[15]
            Dengan bekal pengalaman yang memadaio sebagai seorang muhtasib (pengawas pasar al-Maqrizi membahas permasalahan inflask dan peranan  uang didalamnya. Sebuah pembahasan yang sangat menakjubkan di masa itu karena  mengkorelasikan dua hal yang snagat jarang dilakukan para pemikir Muslim maupun Barat. Dalam karyanya  tersebut, al-Maqrizi  ingin membuktikan bahwa inflasi yang terjkadi pada  periode 806-808 H adalah berbeda dengan inflasi  yang terjadi pada periode –periode  sebelunya sepanjang  sejarah Mesir.
            Pemikiran terhadap uang merupakan  fenomena  yang jarang  diamati para cendekiaw an Muslim,  baik pada periode klasik  maupun pertengahan. Menurut  survey  Islahi, selain al-Maqrizi, diantara sedikit pemikir Muslim yang memiliki  perhatian  terhadap uang  pada masa ini adalah al-Ghazali, Ibnu  Taimiyah, Ibnu al-Qayyim al-jauziyah, d an Ibnu Khaldun. Dengan  demikian, secara  kronologis, dapat dikatakan  bahwa  al-Maqrizi  merupakan cendekiawan   Muslim abad pertengahan  yang  yang etrakhir  mengamati permasalahan tersebut, sekaligus mengkorelasikannya dengan peristiwa inflasi  yang melanda suatu Negara.

2.3  Biografi Abu  A’la Maududi (1903-1979 M)
Abu  A’la dilahirkan pada 3 rajab 1321  H/25 September 1903 di Aurangbad, s ebuah kota yang terkenal di Hyberad (Decca n), Delhi, India. Beliau dilahirkan dalam keluarga  yang religious. Ayahnya bernama Abu Hasan, seorang pengacara yang terkenal sebagai orang yang alim dan rajin beribadah. Mereka adalah keturunan dari sufi  besar   terekat  Christiyah yang banyak berperan dalam menyebarkan Islam di India.
      Pendidikan Abu A’la  diawali di Madrasah Furqioniyah. Sebuah s ekolah menengah yang mencoba menerapkan system pendidikan nalar modern dan Islam tardisional. Orang tuan  beliau tidak ingin beliau pergi ke sekolah Inggris, yang akhirnya pendidikannya diakan di rumah dengan menggunakan bahasa Arab   Persia, Urdu dan Inggris. Dalam konteks inilah dapat dipahami kenapa al-Maududi menjadi seorang  tradisionalis fundamentalis (dengan latar belakang pendidikan yang anti Barat).
      Tulisan  beliau  banyak mencakup bidang politik, social ekonomi, kebudayaan dna agama. Sekitar tahun 1920, Maududi menggabungkan gerakan khilafah  yang mana berasosiasi dengan tahrik –e –hij rat. Melalui ukunya “Al- Jihad fil Islam” , beliau  menceritakan kehidupan yang dialaminya  di perkumpulan tersebut. Dan pada tahun  tersebut  pula beliau  bekerja sebagai  wartawan. Dalam waktu singkat ia bekerja  di Jabalpur  sebagai koresponden, lalu menjadi editor  “Taj” sebuah surat  kabar   daerah. Pda tahun yang sama ia hijrah ke Delhi  tempat ia bekerja sebagai editor  pembantu. Pada dtanggal o22 September  1979, beliau b meninggal dunia di Buffalo, New York. Pemakamannya, yang dilakukan  beberapa  hari kemudian  di Lahore, menarik  perhatian   lebihd ari sejuta orang.  Dia   dikuburkan d I rumahnya h di daerah  Lehrah , Lahore.
       Adapunm karya – karya   beliau  yang telah dihasilkan kebanyakan dalam hal politik, akan tetapi ada  beberapa yang mengenai riba. Al M aukdudi  tidak  mempunyai latar belakang  pendidikan  agama yang mendalam, meskipun bukan seorang ulama. Melihat karir kehidupannya yang ia lakukan, bisa dilihat kalau beliau banyak berkecimpung dalam dunia politik. Akan tetapi hal ini tidak menyurutkan beliau dalam memberikan kontribusi dalam hal ekonomi.
Prinsip-prinsip dasar
1.      Kepemilikan pribadi dan batasannya.
Dalam hal ini Islam tidak membagi harta kpemilikan kepadaproduksi dan konsumi atau mengasilkan atau tidak menghasilkan. Tetapi dibedakan kepadakriteria diperoleh secara halal atau haram.
2.      Keadilan distribusi
Peraturan penting lainnya dalamekonomi Islam ialah membangun suatu system distribusi yang adil daripada distribusi yang sama terhadap kekayaan.
3.      Hah – hak social
Islam kemudian menghubungkan kembali hak social kepada kekayaan individu dalam berbagai bentuk. Salah satunya yaitu seseorang yang memiliki harta lebih memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan kepad kerabatnya yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.
4.      Zakat
Terdapat suatu pungutan wajib yang ditentuan oleh Islam yaitu zakat.
5.      Hukum waris
Untuk mendistribusikan kekayaan yang dimiliki oleh almarhum.
6.      Peranan tenaga kerja, modal dan pengelolaan
Bila terdapat ketidak adilan dalam transaksi, hukum tidak hanya boleh berinterfensi akan tetapi juga punya tugas untuk mengarhkan kepada regulasi keadilan dalam distribusi profit diantara modal, tenaga kerja dan pengelolaan.
7.      Zakat dan kesejahteraan social
Untuk menyediakan kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, rumah, bantuan medis, pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya
8.      Ekonomi bebas riba
Inti yang Islam sampaikan adalahjika engkau meminjakan pinjaman, maka engkau hanya menerima yang engkau pinjamkan dan tidak lebih. Jika menghendaki keuntungan, kau harus bergabung dalam kerjasama.
9.      Hubungan antara ekonomi politik dan aturan social.
System ini tidak dapat dipisahkan dan membentuk satu bentuk kesatuan.




[1] Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini, Imam Al-Syatibi tidak dilahirkan di sana. Menurut catatan sejarah, kota Syatibah telah jatuh ke tangan Kristen yang mengakibatkan terusirnya seluruh penduduk Muslim dari kota  itu sejak tahun 645 H (1247), sekitar satu a bad s ebelum kelahiran Imam Al-Dahlan . et al. Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta : PT Ic tiar  Baru van Hoeve, 1996), jilid 2, hlm. 187.
[2] Muhhamd Khalid Masud, Filsafah Hukum Islam : Studi tnetang hidup dan pemikiran  al-Syatibi k, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1996), Cet ke-1, hlm. 111
[3] Muhammad Khalid Masud, op.cit.,hlm.136.
[4] Ibid., hlm.138-139
[5] M. Fahim Khan, Shatibi’s of Sharri’ah and Some Implica tions for  Consumer Theory, dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit  Ghazali (ed), Reading in Islamic Economic Thought, hlm.193
[6] James H. Donelly, James  L.  Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management,(New York : Irwin McGraw-Hill, 1998), hlm.267
[7] Ibid., hlm.268.
[8] Ibid., hlm. 270-271
[9] Ibid., hlm. 274.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host