Tuesday, November 6, 2012

Pengantar Fiqh Muammalah


A.     PENGERTIAN FIQH MUAMALAH
Istilah fiqh muamalah terdiri dari dua kata, yaitu kata fiqh dan muamalah. Kata fiqh secara etimologi (bahasa) berarti paham, seperti pernyataan “Saya paham akan kejadian itu”. Sedangkan secara terminologi (istilah) yaitu pengetahuan tentang hukum syariah islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil terperinci.[1] Atau dapat dikatakan, fiqh adalah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.[2] Yang menjadi dasar dan pendorong bagi umat Islam untuk mempelajari ilmu fiqh adalah, pertama, untuk mencari kebiasaan paham dan pengertian dari agama Islam, kedua, untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia, ketiga, kaum muslimin harus bertafaqquh artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang ibadat dan muamalat.[3]
Sedangkan kata muamalah secara harfiah berarti pergaulan atau hubungan antar manusia. Dalam pengertian muamalah secara umum ini, muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah. Muamalah merupakan perbuatan manusia dalam menjalin hubungan atau pergaulan antar sesama manusia (habluminannas) sedangkan ibadah adalah habluminallah.
Dalam arti luas, fiqh muamalah adalah fiqh yang mengatur hubungan antar individu dalam sebuah masyarakat. Pengertian yang lebih rinci yang diungkapkan Musthofa Ahmad al-Zarqa, yang dimaksudkan fiqh muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan sesama manusia dalam urusan kebendaan, hak-hak kebendaan, serta penyelesaian perselisihan di antara mereka.[4]


B.     OBJEK KAJIAN FIQH MUAMALAH
Dalam hal ini, objek kajian atau ruang lingkup fiqh muamalah secara garis besar meliputi pembahasan tentang harta (al-mal), hak-hak kebendaan (al-huquq), dan hukum perikatan (al-aqad).[5]
a)      Hukum Benda,terdiri dari:
Pertama, konsep harta (al-mal),meliputi pembahasan tentang pengertian harta, unsur-unsur dan pembagian jenis-jenis harta.
Kedua, konsep hak (al-huquq), meliputi pembahasan tentang pengertian hak, sumber hak, perlindungan dan pembatasan hak, dan pembagian jenis-jenis hak.
Ketiga, konsep tentang hak milik (al-milkiyah), meliputi pembahasan tentang pengertian hak milik, sumber-sumber pemilikan, dan pembagian macam-macam hak milik.
b)      Konsep Umum Akad, mambahas tentang pengertian akad dan tasharruf, unsur-unsur akad dan syariat masing-masing unsur, dan macam-macam akad.
c)      Aneka Macam Akad Khusus membahas tentang berbagai macam transaksi muamalah seperti berikut:
a.       jual beli (al-bai’ at tijarah)
b.      gadai (rahn)
c.       jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
d.      pemindahan hutang (hiwalah)
e.       perseroan atau perkongsian(asy-syirkah)
f.        perseoran harta dan tenaga (al-mudharabah)
g.       sewa menyewa (al-ijarah)
h.       utang piutang (al-qard)
i.         pinjam-meminjam (al ariyah)
j.        penitipan (al-wadi’ah)
k.      dan lain sebagainya, yang masing-masing akan disampaikan dalam bab tersendiri.
C.     SUMBER HUKUM FIQH MUAMALAH
Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa fiqh adalah pengetahuan tentang hukum syariah islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil terperinci, maka sumber dari fiqh muamalah tentunya berasal dari sumber hukum syariah islamiyah itu sendiri. Diantaranya adalah:
a.       Al Qur’an dan Sunnah
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril, dibacakan secara mutawatir yang merupakan kumpulan wahyu Allah untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat di dunia. Segala sesuatu yang berhubungan dengan istinbath hukum fiqh muamalah haruslah sesuai dengan ajaran yang ada di dalam Al-Qur’an, karena memang sumber hukum utama dan pertama bagi umat muslim adalah Al-Qur’annul Karim.
Sunnah merupakan sumber istinbath hukum kedua setelah Al-Qur’an. Maka wajib hukumnya penggalian sumber hukum yang mendasari fiqh muamalah harus juga tidak boleh menyimpang dari sunnah Rasulullah SAW.
Inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya. Dalam konteks ini, Allah berfirman dalam Qs. Hud: 84
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَال يَا قَوْمِ َ اعْبُدُوا اللَّه مَا لَكُمْ َ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ وَلا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيط
“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat).” ٍ
Sesungguhnya Al Qur’an dan sunnah tidak mengatur perilaku ekonomi kecuali hal-hal yang bersifat prinsip, misalnya tentang riba ataupun pelarangan melakukan perbuatan curang dalam berniaga. Seperti dalam Qs. Ar Rum: 39,
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًالِيَرْبُو فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدََ اللَّه وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُم الْمُضْعِفُون
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”
Dan hadis riwayat Muslim, yang artinya “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian Beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama”. (HR.Muslim).
b.      Qiyas
Dasar hukum ketiga adalah qiyas. Qiyas dipergunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, jika tidak ada ketetapannya dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Menurut istilah, qiyas adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada/telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-sunnah, disebabkan sama ‘illat antara keduanya. Menurut jumhur ulama’, qiyas adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan firman Allah dalam Qs. Al-Hasyr: 2,
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir”. Kalimat yang menunjukkan qiyas dalam ayat ini adalah “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antara hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
c.       Ijma’
Di samping dasar-dasar hukum syara’ yang menjadi sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu masalah, ijma’ (kesepakatan para ulama’) juga sering dipergunakan sebagai dasar hukum keempat.
d.      Ijtihad
Ijtihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan pemikiran, menghabiskan kesanggupan. Artinya mencurahan kesanggupan yang ada dalam membahas (menyelidiki) suatu masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit  bertitik tolak kepada Al Qur’an dan as-Sunnah

D.    PRINSIP-PRINSIP DALAM FIQH MUAMALAH
Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
1.      Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).
Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya. [6]
2.      Konsentrasi Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan
Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: “Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil” .
Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam ekonomi Islam. Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. (jalb al-naf’y wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpulkan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah umumnya bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi Islam yang menjadi salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni (ibadah mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit sekali ruang untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting. Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang oleh Shadr dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al tasyri`y (area yang kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang menyinggung masalah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis, membuka peluang yang besar untuk mengembangkan ijtihad dengan prinsip  maslahah.
3.      Keadilan Bagi Kedua Belah Pihak
Adil adalah perintah Allah Swt. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,” (QS. An-Nahl:90). Meskipun berbuat adil bagian dari perintah Allah, tetapi banyak di antara manusia yang mengabaikan berbuat adil, mereka berkecenderungan berbuat kecurangan, kezaliman, kelaliman  demi keuntungan pribadi, kelompok, dan golongan tertentu, bahkan demi  etnis tertentu. Padahal Allah mengancam bagi para pembelot dari kebenaran dan keadilan dengan  ancaman neraka,”Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahanam,”(QS. Al-Jin:15).
Begitupun dalam bermuamalah, konsep keadilan bagi kedua belah pihak  adalah menjadi prioritas utama dalam kegiatan muamalah dalam Islam. Misalnya adil dalam transaksi perdagangan.”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil,”(QS. Al-An-am: 152). Terkadang kita meremehkan tentang keadilan dalam menakar dan menimbang, padahal Allah menyuruh kita untuk berlaku adil terhadap hal tersebut. Banyak masyarakat kita terutama yang berdagang dan sering menggunakan alat bantu berupa timbangan, mereka sering tergoda untuk mengambil keuntungan dengan mengurangi timbangan dan takaran. Bahkan demi keuntungan yang sedikit kita rela mengorbankan konsumen dengan mengurangi kualitas dan takaran, padahal perbuatan itu dilarang oleh agama kita.
E.     TUJUAN MEMPELAJARI FIQH MUAMALAH
Pertama, sebagai ketaatan kepada syariah Allah Swt. Menurut Husein Shahhatah, dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami dan mengamalkan muamalah (ekonomi Islam) sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari.[7]
Kedua, mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial, karena Islam bukan saja ibadah dan munakahat, tetapi juga aspek-aspek lainnya, terutama ekonomi. Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan sistem ekonomi ribawi dalam berbagai kegiatan ekonomi, berarti keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya.
Ketiga, menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah baik dalam mencari nafkah, berdagang atau melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah,  atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi.
Keempat, praktek ekonominya berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah Swt.
Kelima, mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri, berarti ’izzul Islam wal muslimin.
Keenam, mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah lembaga keuangan syariah seperti bank syariah dan asuransi Syari’ah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana  yang terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin.
Ketujuh, mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek-proyek halal.
Kedelapan : mengamalkan ajaran ekonomi syariah akan dapat meningkatkan kesejahteraan umat dan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.























DAFTAR PUSTAKA

Agustianto, An Introduction to Fiqh Muamalah, dalam http://Www.Agustiantocentre.Com/?P=788akses tgl 27 Okt 2011 pukul 11:30
Bakry,Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh,Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2003
Mas’adi, Ghufron A, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002
Nabela,Prinsip Dasar Fiqh Muamalah, dalam  http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/prinsip-dasar-fiqh-muamalah/ akses tgl 27 Oktober  2011 pkl 11:22
Syafe’i,Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung:CV Pustaka Setia, 2001


              



[1] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung:CV Pustaka Setia, 2001, Hal: 13-14
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2003.Hal:7
[3] Nazar Bakry. Hal: 5
[4] Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002,Hal:2
[5] Ghufron A Mas’adi. Hal:3-5

[6]Nabela,Prinsip Dasar Fiqh Muamalah, dalam  http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/prinsip-dasar-fiqh-muamalah/ akses tgl 27 Oktober  2011 pkl 11:22


[7] Agustianto, An Introduction to Fiqh Muamalah, dalam http://Www.Agustiantocentre.Com/?P=788akses tgl 27 Okt 2011 pukul 11:30

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host