Tuesday, November 6, 2012

Adi Warman Karim


A.     PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari jasa para pemikir ekonomi syariah. Mereka memberikan sumbangsih yang tidak sedikit tidak hanya dari pemikiran cemerlang mereka tentang ekonomi syariah tetapi juga atas dedikasi mereka dalam perkembangan dan pembangungan ekonomi syariah di Indonesia. Di antara para ahli ekonomi tersebut antara lain Dawam Rahadjo, A.M. Saefudin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Muhammad Syafi’i Antonio, Zainal Arifin, Mulya Siregar, Riawan Amin, dan juga Adiwarman Karim. Namun dalam tulisan ini, penulis lebih memfokuskan pembahasan tentang pemikiran salah satu pakar ekonomi Indonesia yaitu Adiwarman Karim. Karena tidak dipungkiri, beliau juga memiliki andil besar dalam perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dengan berbagai pemikiran beliau di antaranya lewat karya tulis beliau yang mampu memperkaya khazanah keilmuan khususnya di bidang ekonomi Islam dan juga lewat kontribusi beliau dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Bahkan Bapak Adiwarman Azwar Karim juga dijuluki "BEGAWAN EKONOMI ISLAM".[1]
B.     BIOGRAFI
Nama lengkap dan gelarnya adalah Ir.H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., lahir di Jakarta pada 29 Juni 1963. Adiwarman atau Adi (nama panggilan) merupakan cerminan sosok pemuda yang mempunyai "hobi" belajar. Pendidikan tingkat S1 ia tempuh di dua perguruan tinggi yang berbeda, IPB dan UI. Gelar Insinyur dia peroleh pada tahun 1986 dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun tahun 1988 Adiwarman berhasil menyelesaikan studinya di European University, Belgia dan memperoleh gelar M.B.A. setelah itu ia menyelesaikan studinya di UI yang sempat terbengkalai dan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 1989. Tiga tahun berikutnya, 1992, Adiwarman juga meraih gelar S2-nya yang kedua di Boston University, Amerika Serikat dengan gelar M.A.E.P. Selain itu ia juga pernah terlibat sebagai Visiting Research Associate pada Oxford Centre for Islamic Studies.
Modal akademis dan konsistensinya pada bidang ekonomi menghantarkannya untuk meniti berbagai karir prestisius. Pada tahun 1992 Adiwarman masuk menjadi salah satu pegawai di Bank Mu’amalat Indonesia, setelah sebelumnya sempat bekerja di Bappenas. Karir Adi di BMI terbilang cemerlang, karir awalnya sebagai staf Litbang. Enam tahun kemudian ia dipercaya untuk memimpin BMI cabang Jawa Barat. Jabatan terakhirnya di pionir bank syariah tersebut adalah Wakil Presiden Direktur. Jabatan tersebut dipegang sampai dengan tahun 2000, ketika ia memutuskan untuk keluar dari BMI. Menurutnya, memutuskan keluar dari BMI bukan perkara gampang. Sebab, bekerja di bank syari’ah sudah menjadi keinginannya sejak masih menjadi mahasiswa. Karena itu ia baru berani memutuskan untuk keluar dari BMI setelah melakukan shalat istikharah selama 6 bulan. Keluarnya Adiwarman dari BMI disebabkan ia memiliki agenda yang lebih besar yang ingin dicapai, yaitu memperjuangkan dibukanya divisi syari’ah di bank-bank konvensional. Hasil dari upaya Adiwarman tersebut dapat dilihat sekarang ini, dengan dibukanya divisi-divisi, unit dan gerai syari’ah di beberapa bank konvensional, meskipun itu bukan satu-satunya faktor penyebabnya.
Setelah melepas jabatannya di BMI, pada tahun 2001 dengan modal Rp. 40 juta Adiwarman kemudian mendirikan perusahaan konsultan yang diberi nama Karim Business Consulting. Semula, banyak pihak termasuk yang bergabung di perusahaannya awalnya memandang pesimis prospek perusahaan yang dipimpinnya. Hal ini bisa dimaklumi, sebab ketika itu bank syari’ah di Indonesia hanyalah BMI. Tetapi, seiring perkembangan ekonomi Islam dan perbankan syari’ah di Indonesia, saat ini perusahaan yang dipimpinnya telah menjadi rujukan pertama dari berbagai masalah ekonomi dalam perbankan Islam atau Syari’ah.
Kontribusi Adiwarman dalam pengembangan perbankan dan ekonomi syari’ah di Indonesia bukan saja sebagai praktisi, tetapi juga sebagai intelektual dan akademisi. Ia menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi ternama seperti UI, IPB, Unair, IAIN Syarif Hidayatullah dan sejumlah perguruan tinggi swasta untuk mengajar perbankan dan ekonomi syariah. Di beberapa perguruan tinggi tersebut ia juga mendirikan Shari’ah Economics Forum (SEF), suatu model jaringan ekonomi Islam yang bergerak di bidang keilmuan. Lembaga tersebut menyelenggarakan pendidikan non kulikuler yang diselenggarakan selama dua semester dan dipersiapkan sebagai sarana "islamisasi" ekonomi melalui jalur kampus.
Pada 1999, Adiwarman bersama kurang lebih empat puluh lima tokoh dan cendikiawan Muslim Indonesia bersepakat mendirikan lembaga IIIT-I (The International Institute of Islamic Thought-Indonesia). IIIT, sebagai induk organisasinya yang berkedudukan di Amerika Serikat adalah lembaga kajian pemikiran Islam yang berupaya mengeksplorasi Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai respon Islam atas perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Upaya itu semula digagas oleh beberapa cendikiawan Muslim di Amerika Serikat pada tahun 1981. Di Indonesia, upaya serupa telah dilakukan lewat pengembangan dan eksplorasi ilmu ekonomi Islam. Meruahnya respon atas upaya ini terbukti salah satunya dengan semakin banyaknya institusi-institusi perbankan yang mengadopsi sistem syari’ah.
Sama seperti induk organisasinya, IIIT-Indonesia berkembang sebagai sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di wilayah pemikiran dan kebudayaan. IIIT-Indonesia bersifat independen, tidak berafiliasi dengan gerakan lokal mana pun. Misi yang diembannya adalah mengembangkan pemikiran Islam berikut metodologinya dalam kerangka meningkatkan kontribusi umat Islam dalam membangun peradaban bersama yang lebih baik. Bersama dengan IIIT-I inilah Adiwarman menebarkan gagasanya tentang ekonomi Islam.
Kepakaran Adiwarman di bidang ekonomi Islam semakin diakui dengan ditunjuknya ia sebagai anggota Dewan Syari’ah Nasional dan terlibat dalam mempersiapkan lahirnya Undang-Undang Perbankan Syari’ah.
Saat ini Adiwarman sudah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Abdul Barri Karim (12 tahun), Azizah Mutia Karim (11 tahun), dan Abdul Hafidz Karim (6 tahun) dari pernikahannya dengan Rustika Thamrin (35 tahun), seorang Sarjana Psikologi UI, pada usia 25 tahun.[2]
C.     KARYA-KARYA

Beberapa tulisan Adiwarman yang telah diterbitkan antara lain; Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer yang merupakan kumpulan artikelnya di Majalah Panji Masyarakat, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, sebuah kumpulan tulisan pakar ekonomi yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Ekonomi Mikro Islami dan Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro. Ketiga tulisan yang disebut terakhir merupakan bahan kuliah wajib di berbagai perguruan tinggi tempatnya mengajar. Terakhir ia menulis satu buku yang berusaha memberikan pandangan secara komprehensif tentang perbankan Islam dengan memberikan analisis dari perspektif fikih dan ekonomi (keuangan). Buku tersebut diberi title Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan.[3] Serta lebih dari 50 artikel tentang ekonomi Islam yang disajikan dalam berbagai forum nasional dan internasional, seperti Konferensi Ekonomi Islam Internasional Ketiga, Keempat dan Kelima yang disponsori oleh Islamic Development Assosiation yang ke-76. Saat ini dia dipercaya menjadi anggota Dewan Syariah Nasional MUI dan Dewan Pengawas Syariah pada beberapa Lembaga Keuangan Syariah, seperti Asuransi Great Eastern Syariah, Bank Danamon Syariah dan HSBC Syariah, serta Dewan Syariah pada BPRS Harta Insani Karimah.[4]

D.    PEMIKIRAN ADIWARMAN KARIM TENTANG EKONOMI ISLAM
1.  Fundamentalis-Intelektual-Profesional
Bersama beberapa tokoh ekonomi Islam Indonesia lainnya, seperti A.M. Saefudin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Muhammad Syafi’i Antonio, Zainal Arifin, Mulya Siregar, Riawan Amin dan sebagainya, oleh Dawam Rahadjo, Adiwarman dimasukkan dalam kelompok pemikir fundamentalis dalam bidang ekonomi Islam.[5]
Kelompok Islam fundamentalisme, dengan beragam sebutan yang disandangnya, memiliki kesamaan ciri khas, yaitu cita-cita tegakkanya syari’at Islam. Meskipun demikian, dalam hal metode atau cara perjuangannya, mereka tidak satu kata dan terbelah menjadi dua aliran besar. Sebagian memilih menempuh cara-cara revolusioner (karenanya mereka disebut kelompok fundamental radikal), sebagian yang lain mencoba berkompromi dengan penguasa dan mengedepankan jalur demokrasi-parlementer. Ada juga yang membedakan pola gerakan fundamentalisme Islam menjadi; 1) "Islam politik" yang menempuh jalan mencapai kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan syari’at; dan 2) "Islam cultural" yang memilih jalur budaya dan kemasyarakatan. Yang pertama bertujuan menegakkan syari’at Islam sekaligus negara Islam, sementara yang kedua bertujuan menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam, atau masyarakat madani.
Misi penegakkan syari’at yang diusung oleh Islam fundamentalis mendapat reaksi dari kelompok liberal yang mengkampanyekan sekularisme.
Perbedaan pendapat antara kedua kelompok tersebut juga terjadi dalam menyikapi isu-isu aktual seputar ekonomi dan perbankan syari’ah atau Islam di Indonesia. Di bidang ini, kelompok fundamentalis berusaha memperjuangkan berlakunya syari’at Islam dalam sistem ekonomi Islam, khususnya perbankan Islam, sama halnya dengan keinginan kawan-kawan mereka yang memperjuangkan syari’at Islam di bidang politik dan hukum. Bedanya, jika perjuangan melalui jalur politik dilakukan dengan cara-cara radikal, sementara perjuangan menegakkan ekonomi Islam cenderung memilih cara-cara gradual dan demokratis.
Di Indonesia, fundamentalis yang memperjuangkan tegaknya ekonomi Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok lagi, yaitu kelompok professional dan kelompok intelektual. Kelompok fundamentalis professional berorientasi pada praktek. Mereka merasa tidak perlu menunggu perkembangan teori Islam menjadi mapan, serta mencukupkan diri dengan "piranti" teori yang sudah ada, yaitu fiqh mu’amalah setelah dikonseptulaisasi. Golongan professional inilah yang berada di balik pendirian BMI dan bank-bank Islam lainnya.
Berbeda dengan fundamentalis professional, fundamentalis intelektual justru berorientasi pada teori. Mereka berupaya menyediakan bangunan teori-teori ekonomi yang kokoh terlebih dahulu sebagai dasar pijakan bagi terlaksananya ekonomi Islam secara baik dan benar serta dapat diterima secara luas oleh masyarakat (ilmiah).
Berdasarkan pemetaan di atas, agak sulit menentukan di mana posisi Adiwarman. Pada satu sisi ia terlibat secara aktif dalam gerakan pemberdayaan ekonomi Islam melalui institusi-institusi praktis (semisal perbankan, menjadi konsultan dan sebagainya), tetapi pada sisi lain ia juga concern terhadap upaya meletakkan dasar-dasar teoritis bagi pengembangan ilmu ekonomi Islam di Indonesia. Nampak kesan bahwa Adiwarman berusaha menyelaraskan antara perjuangan ekonomi Islam secara praktis dan teoritis. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa Adiwarman menempatkan dirinya pada posisi fundamentalis-intelektual-rasional.
2. Pendekatan dan Metode
Membaca tulisan-tulisan Adiwarman, setidaknya terdapat beberapa pendekatan dan metode yang ia gunakan dalam membangun keilmuan ekonomi Islam. Pendekatan yang ia gunakan dapat dipetakan menjadi pendekatan sejarah, pendekatan fiqh dan ekonomi.[6]
Pendekatan sejarah sangat kental dalam berbagai tulisan Adiwarman. Dalam setiap tulisannya (terutama buku), Adiwarman selalu berupaya menjelaskan fenomena ekonomi kontemporer dengan merujuk pada sejarah Islam klasik, terutama pada masa Rasulullah. Selain itu ia juga mengelaborasi pemikiran-pemikiran sarjana besar muslim klasik dan mencoba merefleksikannya dalam konteks kekinian, tentu saja menurut perspektif ekonomi.
Selain pendekatan sejarah, Adiwarman juga menggunakan pendekatan fiqh. Dalam pandangannya, fiqh tidak hanya berbicara pada aspek ‘ubudiyah semata. Fiqh berbicara aspek sosial masyarakat yang lebih luas, terutama ketika dibingkai dalam wadah fiqhul waqi'iy (fiqh realitas). Dalam format yang demikian, fiqh lebih merupakan suatu respon atas problematika kontemporer sebagai suatu upaya menemukan jawaban dan solusi yang tepat bagi suatu masyarakat tertentu dalam konteks tertentu pula. Karena itu Adiwarman selalu berpegang pada adagium "li kulli maqam, maqal. Wa likulli maqal, maqam". (Setiap kondisi butuh ungkapan yang tepat. Dan setiap ungkapan, butuh waktu yang tepat pula).
Pendekatan fiqh yang digunakan Adiwarman tidak berdiri sendiri. Untuk dapat merespon fenomena ekonomik, prinsip-prinsip fiqh yang diformulasikan ulama masa lalu ditarik pada perspektif ekonomi. Sederhananya Adiwarman menggunakan istilah-istilah dan prinsip-prinsip fiqh dalam membahas masalah-masalah ekonomi. Sebagai contoh ia menjelaskan fenomena distorsi permintaan dan penawaran (false demand dan false supply) berdasarkan prinsip al-bai’ an-najsy, ia juga menganalisis monopolic behaviour berdasarkan teori tadlis dalam fiqh dan masih banyak lagi.
Meskipun begitu, Adiwarman menghindari melakukan islamisasi ekonomi dengan cara mengambil ekonomi Barat lalu dicari ayat al-Quran dan haditsnya. Menurutnya hal itu tidak dapat dibenarkan, karena itu memaksakan al-Qur'an dan hadits cocok dengan pikiran manusia. Ekonomi Islam bukan ekonomi konvensional lalu ditempeli al-Quran dan hadits. Itulah sebabnya metode yang ditempuh oleh Adiwaman adalah dengan melakukan "interpretasi bebas" terhadap teks-teks al-Qur’an, as-sunnah dan fiqh dalam perspektif ekonomi.
3. Pokok-Pokok Pikiran
a. Redefinisi dan Rancang Bangun Ilmu Ekonomi Islam
Berbicara tentang ekonomi Islam, selama ini definisi yang sering ditemukan adalahekonomi yang berasaskan al-Qur’an dan as-Sunnah. Seringkali definisi seperti itu tidak disertai dengan penjelasan yang tuntas, sehingga terkesan bahwa ekonomi islam adalah ekonomi apa saja yang dibungkus dengan argumen-argumen dari ayat-ayat atau hadis-hadis tertentu. Bagi banyak kalangan, penjelasan yangsekedar itu tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Sebab bisa jadi ekonomi konvensional dapat dikatakan islam(i) sepanjang dapat dilegitimasi oleh ayat tertentu. Dan itulah yang oleh Adiwarman disebut dengan pemaksaan ayat.
Menurut Adiwarman Karim, ekonomi Islam diibaratkan satu bangunan yang terdiri atas landasan,tiang,dan atap.[7] Sadar akan hal itu, Adiwarman menawarkan pengertian ekonomi Islam sebagai ekonomi yang dibangun di atas nilai-nilai universal Islam. Nilai-nilai yang ia maksud adalah tauhid (keesaan), ‘adl (keadilan), khilafah (pemerintahan), nubuwwah (kenabian) dan ma’ad (return). Secara singkat korelasi prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tauhid, bermakna ke-Maha Tunggal-an Allah sebagai pencipta, pemilik semua yang ada di bumi dan di langit, pemberi rezeki yang Maha Adil yang berkuasa atas segalanya. Pengingkaran atas nilai tauhid dapat membawa manusia menjadi megalomania, merasa dirinya hebat, semua bisa diatur dengan uang. Maka konsep keesaan Tuhan memberikan arah bagi pelaku ekonomi bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, manusia hanyalah pemegang amanah. Karena itu ada sistem pertanggung jawaban bagi setiap tindakan ekonomi. Pada akhirnya, dalam skala makro prinsip pertanggungjawaban tersebut mendorong terwujudnya keadilan (`adl) ekonomi dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, untuk dapat merealisasikan keadilan tersebut diperlukan adanya intervensi khilafah (pemerintah) sebagai regulator. Contoh terbaik terlaksananya sistem regulasi yang dijalankan pemerintah dalam masalah ekonomi ini dapat merujuk pada struktur sosial ekonomi pada masa Nabi (nubuwwah), terutama era Madinah.[8] Prinsip nubuwwah di sini mengandung arti bahwa konsep ekonomi Islam adalah konsep untuk manusia, bukan untuk malaikat, serta mampu dijalankan oleh manusia, bukan oleh malaikat. Nubuwwah adalah jawaban akan kebutuhan ini sebagaimana yang di contohkan Rasulullah tentang bagaimana melakukan kegiatan ekonomi yang membawa kesuksesan dunia akhirat. Tujuan akhir dari semua aktifitas ekonomi yang tersusun secara rapi melalui sistem tersebut tidak lain adalah maksimisasi hasil (ma’ad,return) yang tidak hanya menggunakan ukuran materiil, tetapi juga aspek agama. Karena untuk menciptakan ekonomi yang kuat, tentu harus ada motivasi yang kuat bagi para pelakunya. Itu sebabnya, ekonomi Islam adalah ekonomi yang mencari laba. Namun dalam ekonomi Islam, untung tidak semata untung di dunia tetapi juga untung di akhirat.[9]
Setelah membicarakan tentang landasan ekonomi Islam, maka kini masalah tiangnya yang meliputi: Multiple Ownership, freedom to act, serta social justice. Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama  (syirkah), dan kepemilikan Negara. Hal ini sangat berbeda dengan konsep kapitalis klasik yang hanya mengakui kepemilikan pribadi dan konsep sosialis yang hanya mengakui kepemilikan bersama oleh negara. Multiple ownership (kepemilikan multijenis) merupakan derivasi dari prinsip tauhid, dimana manusia sebagai pemegang amanah di muka bumi diberi hak dan tanggung jawab yang sama dalam mengelola sumber daya yang tersedia. Tetapi kebebasan manusia untuk mengeksploitasi sumber daya dibatasi oleh suatu tujuan bersama, yaitu terciptanya keadilan sosial (social justice) dan kesejahteraan (return, ma’ad) yang merata. Sementara proposisi kebebasan berusaha (freedom to act) memberikan motivasi kepada pelaku ekonomi dalam berusaha, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun pemerintah sebagai pemegang regulasi, sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi.
Selain prinsip-prinsip di atas, terciptanya sistem ekonomi Islam juga memerlukan suatu tatanan norma atau hukum yang menjadi payung (atap) dan jaminan bagi keberlangsungannya. Dalam istilah Adiwarman, sistem norma atau hukum ini disebut sebagai akhlak ekonomi Islam.
b. Integrasi Intelektual danHarakah“ : Kampus-Pemerintah-Praktisi
Dalam pandangan Adiwarman, ekonomi Islam tidak akan bisa bangkit di Indonesia dengan hanya menekankan pada salah satu aspek pengembangan, teoritis atau praktis. Kedua aspek tersebut harus berjalan bersamaan, serentak. Gerakan yang demikian disebut oleh Adiwarman sebagai harakah al iqtisodiyahi al islamiyah al-indonesiyah (Gerakan Ekonomi Islam Indonesia). Menurutnya, keberhasilan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dalam tahap yang sekarang ini tidak lepas dari model harakah tersebut. Dengan pendekatan harakah, dimaksudkan sebagai gerakan serentak masing-masing sel; praktisi, akademisi, serta pemerintah.
Menurut Adiwarman, harakah iqtisadiyah sebagai suatu model pengembangan ekonomi Islam di Indonesia dapat dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, mengupayakan wacana ekonomi Islam masuk ke dalam kampus melalui kurikulum, atau bentuk-bentuk yang lain (buku, kelompok studi, seminar dan sebagainya). Tahap pertama ini nampaknya sudah menemukan hasilnya, terbukti dengan dibukanya beberapa jurusan, fakultas bahkan perguruan tinggi yang khusus memepelajari ekonomi Islam.
Kedua, pengembangan sistem. Tahap ini bisa dilakukan melalui pembentukan undang-undang, atau peraturan daerah. Hal ini diperlukan sekali, sebab tanpa payung hukum yang jelas dan tegas, ekonomi Islam di Indonesia yang merupakan konsep baru dan tidak didukung oleh permodalan yang kuat akan sulit berkembang bahkan bisa mati suri. Tahap kedua ini juga telah berhasil dengan disahkannya berbagai peraturan yang mendukung beroperasinya perbankan, pegadaian dan perekonomian Islam di Indonesia.
Ketiga, pengembangan ekonomi ummat. Tahap ketiga inilah yang sangat berat dan tidak bisa diwujudkan hanya melalui jalur-jalur akademik maupun legislasi. Untuk mencapai tahap ketiga ini diperlukan kepedulian dan kemauan kuat dari para praktisi agar tetap berkomitmen mempraktekkan ekonomi Islam dalam setiap kegiatan ekonomi mereka. Dalam hal ini, praktek ekonomi yang dimaksud tidak hanya berkisar pada masalah riba saja, tetapi bagaimana ekonomi Islam diwujudkan secara professional dan profitable. Karena itu, menurut Adiwarman sloganlebih baik untung sedikit tapi barokah itu tidak ada dalam Islam. Islam itu harus untung besar dan barokah.[10]
4. Argumen atas Islam dan Perbankan Syariah
Islam adalah suatu pandangan atau cara hidup yang mengatur semua sisi kehidupan manusia yang terlepas dari ajaran Islam, termasuk aspek ekonomi. Dalam ushul fiqh, ada kaidah yang menyatakan bahwa maa laa yalimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, yaitu sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib. Dan karena pada zaman modern ini kegiatan ekonomi tidak sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun wajib diadakan. Dengan demikian maka kaitan Islam dengan perbankan menjadi jelas.[11]
Kita mengetahui bahwa karena permasalahan ekonomi (bank) ini termasuk dalam bab muamalah, maka Rasulullah pun tentu tidak memberikan aturan yang rinci mengenai bab ini. Rasul mengatakan “antum a’lamu bi umuri al-dunyakum“ (kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian). Namun apabila kita menelusuri praktik perbankan yang dilakukan umat muslim, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun kosakata fiqh Islam tidak mengenal kata ’bank’, tetapi sesungguhnya bukti-bukti sejarah menyatakan bahwa fungsi-fungsi perbankan telah dipraktekkan oleh umat muslim bahkan sejak zaman Rasulullah. Dapat dikatakan bahwa konsep bank bukan konsep yang asing bagi umat muslim, sehingga ijtihad untuk merumuskan konsep bank moderen yang sesuai syariah tidak perlu dimuali dari nol.[12] Al Qur’an dan sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip filosofi dasar dan menegaskan larangan-larangan yang harus dijauhi. Maka yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang oleh Islam. Selain itu, semuanya diperbolehkan dan kita dapat melakukan inovasi dan kreatifitas sebanyak mungkin.
Menurut Adiwarman Karim, pertumbuhan aset perbankan syariah di Indonesia ke depan akan sangat mengesankan. Tumbuh kembangnya aset bank syariah ini dikarenakan semakin baiknya kepastian dari sisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah. Namun perkembangan perbankan syariah ini juga harus didukukng oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari segi kualitatif maupun kuantitatif. Tetapi realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak SDM yang selama ini terlibat dalam institusi syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi produktifitas dan profesionalisme perbankan syariah itu sendiri. Inilah yang memang harus mendapat perhatian dari kita semua, yaitu mencetak SDM yang mampu mengamalkan ekonomi syariah di semua lini karena sistem yang baik tidak mungkin dapat berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh SDM yang baik pula.






E.     PENUTUP
Pemikiran dan kontribusi yang dipersembahkan Adiwarman Karim terhadap perkembangan ekonomi Islam di Indonesia memang sangat luar biasa. Dengan berbagai bekal keilmuan dan pengalaman yang dimilikinya, mampu menjadikan beliau sebagai salah satu orang yang berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi Islam khususnya di Indonesia. Hal itu seharusnya bisa menjadi contoh dan bahan introspeksi bagi kita sebagai calon praktisi ataupun akademisi di bidang ekonomi Islam yang nantinya diharapkan mampu melanjutkan perjuangan yang telah dicontohkan para pakar ekonomi Islam terdahulu seperti halnya Ir.H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P.


DAFTAR PUSTAKA



Dimyati, A.”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim” dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5 akses tgl 22-11-2011
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press,2001
-----------, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004
-----------, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi 3, Jakarta: Rajawali Press,2009
Surachim, Adin,Ekonomi-Syariah Karya Bp. Syafi'i Antonio & Bp. Adiwarman A.Karim dalam http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg06833.html akses tgl 22-11-2011
Zuhri, M.Syaifuddin,“Pemikiran Adiwarman A. Karim tentang Mekanisme Pasar Islami“,dalam http://etd.eprints.ums.ac.id/7743/2/I000040054.pdf akses tgl 22-11-2011


[1]Adin Surachim,“Ekonomi-Syariah Karya Bp. Syafi'i Antonio & Bp. Adiwarman A. Karim dalam http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg06833.html akses tgl 22-11-2011 pukul 11:18

[2] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5 akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[3] Ibid
[4] M Syaifuddin Zuhri,“Pemikiran Adiwarman A. Karim tentang Mekanisme Pasar Islami“,dalam http://etd.eprints.ums.ac.id/7743/2/I000040054.pdf akses tgl 22-11-2011 pukul 10:57

[5] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5 akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[6] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5 akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53

[7] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press,2001. hal : 176-177
[8] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5 akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[9] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press,2001. hal : 176-177

[10] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5 akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[11] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004, hal: 14-15
[12] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi 3, Jakarta: Rajawali Press,2009. hal: 26-27

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host