Tuesday, November 6, 2012

Hadis tentang Ijarah Tanah (Sewa Menyewa Tanah)


A. Hadis

Tentang sewa menyewa tanah telah dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut :



عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدٍ قَالَ كُنَّا نُكْرِى الأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِى مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ



Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib dan Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia berkata : “Kami menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar darinya (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri air). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melakukan hal itu danbeliau memertahkan kepada kami untuk menyewakananya dengan emas atau perak”.[1]



Ada hadis yang lebih tegas lagi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:



عن حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِ فَيَهْلِكُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهْلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ. فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَ بَأْسَ بِهِ



Diriwaatkan dari Handolah bin Qois Al Anshori bahwa dia berkata : “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang sewa menyewa tanah dengan emas dan perak. Maka dia berkata : “Tidak apa-apa. Dahulu para manusia saling menyewakan tanah pada masa sebelum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hasil tanah pada bagian yang dekat dengan air dan bendungan dan dengan bagian tertentu dari hasil tanam, sehingga bagian di sini binasa dan di bagian lain selamat, dan bagian ini selamat dan bagian lainnya binasa. Dan manusia tidak melakukan sewa menyewa kecuali dengan model ini. Karena itulah hal ini dilarang. adapun sewa menyewa dengan sesuatu yang jelas diketahui, maka tidak apa-apa”. [2]



B. Asbabul Wurud

Kedua hadis tersebut menjelaskan tentang mu’amalah manusia pada zaman jahiliyah dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkannya dengan menggantinya yang lebih baik.

Pada masa jahiliyah jika seseorang menyewa tanah, maka dia tidak perlu membayar uang pada waktu akan sewa, tetapi dia hanya mensyaratkan bagian sekian persen dari hasil tanah tertentu (misalnya yang sebelah utara, selatan, yang atas atau yang bawah, yang diseberang sungai atau yang lainnya). Kemudian penyewa langsung menggarap tanah yang disewa sampai panen dengan menyerahkan hasil yang sudah disepakati pada waktu akad. Inilah yang dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan diganti dengan harga yang jelas pada waktu akad sewa, yaitu dengan uang yang pada masa itu adalah emas dan perak.



C. Dalalah

Isi kandungan dari hadis tersebut adalah pelarangan Rasulullah terhadap praktik sewa tanah yang tidak ditetapkan harga yang jelas pada akad awalnya. Karena mu’amalah dengan cara ini lebih jelas dan kemungkinan untuk saling mendzalimi sangatlah kecil. Ini berbeda dengan mu’amalah pada masa jahiliyah itu. Karena kemungkinan gharar (tipuan, ketidak jelasan) akan sangat mungkin terjadi pada model ini. Sebab bisa saja pihak penyewa tidak begitu memperdulikan menggarap tanah yang akan menjadi bagian pemiliki tanah itu, atau bisa jadi tidak panen sama sekali karena adanya suatu musibah atau hal-hal lain diluar kendali manusia. Jika demikian, sudah pasti pemilik lahan akan menjadi pihak yang terdzalimi, karena sejak semula dia tidak mendapatkan bagian apapun, kemudian tidak ada panen lagi. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Sedangkan mu’amalah yang diijinkan bahwa diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sejak akad sewa, pemilik lahan sudah memiliki bagian yang jelas dengan nominal tertentu, dengan mata uang yang berlaku pada saat itu. Bisa saja seseorang mengatakan bahwa dalam model mu’amalah ini masih mungkin ada pihak yang didzalimi, yaitu misalnya jika kemudian pihak penyewa mengarap tanahnya, kemudian dia tidak dapat memanen tanamannya karena adanya musibah atau gagal panen karena sebab apapun, maka dalam hal ini dia didzalimi, karena dia tidak mendapatkan bagian sama sekali.

Kita mengatakan bahwa akad itu sudah sempurna ketika pihak pemilik lahan menyerahkan tanahnya dan penyewa sudah membayar uang sewanya, adapun hal-hal yang terjadi di kemudian hari, maka itu adalah sesuatu yang diluar kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengontrolnya. Itu adalah murni milik Allah subhaanahu wa ta’ala. Seperti seseorang yang menyewa rumah dan sudah membayar uang sewa, kemudian dia menempati rumah itu, lalu baru beberapa hari kemudian terjadi sesuatu di luar kehendaknya, misalnya dia tidak kerasan di rumah itu atau terjadi bencana alam yang memporakporandakan semua, bahkan sampai rumah tempat tinggal pemilik rumah yang disewa juga hancur, apakah kemudian kita akan mengatakan bahwa pihak penyewa didzalimi, karena dia belum mendapatkan manfaat sesuatu yang disewa, kecuali hanya beberapa hari saja? Tentu saja tidak.

Contoh lain, seseorang yang menyewa mobil untuk tujuan tertentu, berdagang misalnya, kemudian ternyata di hari itu dia tidak mendapatkan hasil yang menggembiraan, bahkan untuk mengembalikan ongkos sewa saja, tidak mencukupi, maka apakah sewa menyewa seperti ini tidak diperbolehkan? Tentu saja sewa menyewa seperti ini adalah diperbolehkan.

Perbedaan mu’amalah model ini dan model jahiliyah yang dilarang adalah ketidakjelasan nilai transaksi ketika terjadinya akad. Model islami jelas nilainya, sedangkan model jahili tidak jelas nominalnya. Sedangkan ketidak jelasan nasib manusia adalah merupakan urusan ghaib yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.



D. Status Hadis

Pada kedua hadis tersebut jelas membedakan dua model mu’amalah, antara yang diperbolehkan dan yang dilarang. Pada hadis ini dijelaskan bahwa Handzalah bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij, karena Rafi’ ini adalah pemilik tanah yang luas dan terbiasa untuk melakukan sewa menyewa. Karena itulah dia yang lebih memahami permasalahan ini daripada yang lainnya, karena dia adalah praktisi langsung dari model mu’amalah ini. Itulah sebabnya mengapa pertanyaan ini diajukan kepada beliau, bukan kepada Abu Hurairah misalnya, sebagai perawi hadits yang terbanyak. Ini disebutkan di dalam misalnya kitab Ihkamul Ahkam fi syarhi ‘umdatil ahkam fi ma ittafaqo ‘alaihi asy syaikhon (I/379) yang disusun oleh Ibnu Daqiqil ‘Id dengan menukil riwayat langsung dari Rafi’ bin Khudaij.

Adapun mereka yang melarang sewa menyewa adalah biasanya hanya memandang kepada hadis-hadis berikut ini, tanpa menggabungkannya dengan hadis-hadis di atas yang juga shahih. Misalnya hadits berikut ini :



عَنِ ابْنِ أَبِى نُعْمٍ حَدَّثَنِى رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ أَنَّهُ زَرَعَ أَرْضًا فَمَرَّ بِهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَسْقِيهَا فَسَأَلَهُ « لِمَنِ الزَّرْعُ وَلِمَنِ الأَرْضُ ». فَقَالَ زَرْعِى بِبَذْرِى وَعَمَلِى لِىَ الشَّطْرُ وَلِبَنِى فُلاَنٍ الشَّطْرُ. فَقَالَ « أَرْبَيْتُمَا فَرُدَّ الأَرْضَ عَلَى أَهْلِهَا وَخُذْ نَفَقَتَكَ »



Diriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’aim bahwa Rafi’ bin Khudaij bercerita kepadanya bahwa pada waktu menggarap tanah, lewatlah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di tanahnya, sedangkan dia sedang mengairinya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya tentang siapakah pemilik tanaman dan siapakah pemilik tanah. Maka dia berkata : “Tanamanku, benihku dan pekerjaanku. Aku akan memperoleh separuh dan pemilik lahan memperoleh separoh. Maka dia berkata : “Kalian telah melakukan riba. Kembalikanlah tanah itu kepada pemiliknya dan ambillah upah kerjamu”.[3]



Dhahir hadis ini melarang sewa tanah. Tetapi kalau kita memperhatikan isinya, maka hadis ini justru mempertegas makna hadis sebelumnya.

Pertama bahwa hadis ini diriwayatkan oleh sahabat yang sama, yaitu Rafi’ bin Khudaij yang mustahil untuk meriwayatkan dua buah hadis yang saling kontradiksi.

Kedua bahwa larangan itu adalah tertuju kepada model sewa yang lama berlaku, yaitu penyewa tidak membayar apa-apa di muka. Dia hanya membayar sewanya dengan hasil panen di kemudian hari. Inilah yang dikatakan sebagai riba oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Atau yang ketiga bahwa maknanya adalah seperti yang dijelaskan dalam sebuah atsar yang lain, yaitu :



عَنْ سَالِمٍ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُكْرِى أَرْضَهُ حَتَّى بَلَغَهُ أَنَّ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ الأَنْصَارِىَّ حَدَّثَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَنْهَى عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ فَلَقِيَهُ عَبْدُ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ خَدِيجٍ مَاذَا تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى كِرَاءِ الأَرْضِ قَالَ رَافِعٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ سَمِعْتُ عَمَّىَّ وَكَانَا قَدْ شَهِدَا بَدْرًا يُحَدِّثَانِ أَهْلَ الدَّارِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَاللَّهِ لَقَدْ كُنْتُ أَعْلَمُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ الأَرْضَ تُكْرَى. ثُمَّ خَشِىَ عَبْدُ اللَّهِ أَنْ يَكُونَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَحْدَثَ فِى ذَلِكَ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ عَلِمَهُ فَتَرَكَ كِرَاءَ الأَرْضِ.

Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwa Ibnu Umar menyewakan tanah sampai dia mendengar berita bahwa Rafi’ bin Khudaij Al Anshori bercerita bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang sewa menyewa tanah. Maka Abdullah bin Umar menemuinya dan berkata : “Wahai Putra Khudaij, apa yang kamu ceritakan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang sewa menyewa tanah ? Rafi’ berkata kepada Abdullah bin Umar : “Aku mendengar dua orang pamanku, sedangkan keduanya ikut pada Perang Badar bahwa mereka berdua bercerita kepada penghuni rumah ini bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sewa menyewa tanah”. Abdullah bin Umar berkata : “Aku benar-benar mengetahui bahwa tanah itu pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disewakan”. Kemudian Ibnu Umar takut bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membuat ketentuan yang baru tentang hal itu. Maka dia meninggalkan sewa menyewa tanah.[4]



Di sini diceritakan bahwa kemudian Abdullah bin Umar lebih memilih untuk tidak menyewakan tanah, karena khawatir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membuat suatu keputusan yang dia tidak mengetahuinya, ketika mendengar hadis yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudaij. Di sini beliau lebih memilih untuk bersikap wara’, yaitu memilih seuatau yang terbaik dari dua hal yang sama-sama diperbolehkan. Gambarannya misalnya, jika ada sesuatu yang nilainya hanya 60 saja dan yang lainnya 90, maka beliau memilih yang 90 itu, sekalipun yang 60 itupun halal untuk dilakukan. Tetapi hadis inipun dengan tegas menjelaskan bahwa Ibnu Umar dengan pasti dia mengetahui bahwa tanah pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu disewakan. Hanya karena kekhawatirannya itu, maka beliau tidak melakukanya.



E. Kesimpulan

Dari semua penjelasan di atas, maka kita simpulkan bahwa :[5]
Menyewa tanah dengan uang yang tertentu nilainya adalah boleh dan hukumnya sah
Menyewa tanah dengan hasil bumi di kemudian hari adalah dilarang (haram)
Menyewa tanah dengan mengecualikan sebagiannya, sepertiga yang sebelah sini, yang dekat dengan irigasi misalnya adalah haram. No.2 dan 3 ini adalah mu’amalah model jahiliyah.
Ibnu Umar meninggalkan sewa menyewa tanah karena dilandasi dasar sikap wara’, bukan karena haram. Karena beliau sendiri mengetahui bahwa mu’amalah model ini terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Larangan yang ada maknanya adalah mu’amalah dengan model no.2 dan 3 dan kebolehan diriwayatkan adalah model no.1
Penyerupaan sewa menyewa dengan riba adalah tidak tepat, kecuali untuk model no.2 dan ke 3.






[1] HR Abu Dawud, III/267, no. 3393, Al Al Bani


[2] HR Muslim, V/24, no. 4034


[3] HR Abu Dawud, III/271, no. 3404


[4] HR Abu Dawud, III/268, no. 3396


[5] http://imamuna.wordpress.com/2009/02/13/sewa-menyewa-tanah-sama-dengan-riba/ 21-01-12

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host