Friday, September 7, 2012

QARDH


MAKALAH QARDH


Posted by tutik handayani's blog on Mei 23, 2011 · Tinggalkan Sebuah Komentar

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala sanjung-puji kami haturkan kepada Allah SWT.yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk mencari ilmu dan kemudian mendapat kesempatan tergolong kepada manusia yang bernilai lebih di hadapan-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Insan Kamil pembawa agama rahmah li al-‘aalamiin, dengan kesempurnaan konstruksi syariahnya, Muhammad Ibn Abdillah.
Kemudian, terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing Matakuliah “Fiqih Muamalah”, Abbas Arfan Lc, MH yang telah memberi tugas kelompok hubungannya dengan Qardh. Berawal dari penugasan inilah, kami termotivasi untuk membaca dan menganalisis secara intensif tema yang sejak lama sudah menjadi momok mengerikan perihal aplikasinya dalam kehidupan karena sering kali mayoritas orang terjebak pada praktek riba yang mengatasnamakan Qardh, hingga kemudian kami berani untuk menuliskan apa yang kami ketahui berdasarkan beberapa literatur yang kami baca menjadi sebuah makalah.
Selanjutnya, kami mohon maaf kepada semua pihak manakala dalam penyusunan makalah ini didapati kekeliruan, baik yang disengaja atau tidak. Sebab, kendati pun begitu banyak literatur yang digunakan, penyusunan makalah ini tidak dapat lepas dari keterbatasan akal picik dan kemampuan manusia yang cukup sarat dengan kesalahan dan kekeliruan. Oleh karenanya, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan sebagai evaluai terhadap proses pengembangan kami.
Selebihnya, terima kasih.
Malang, 06 November 2010

Pemakalah

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….1
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….2
PENDAHULUAN………………………………………………………………..3
A. Latar Belakang……………………………………………………….3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………..3
C. Tujuan Penulisan………………………………………3
PEMBAHASAN…………………………………………………………………..4
A. Pengertian Qardh……………………………………4
B. Landasan Hukum Qardh………………………. …..5
C. Rukun dan Syarat Qardh……………………………9
D. Pelaksanaan Qardh………………………………..11
1. Adanya Tambahan…………………………11
2. Hukum(ketetapan) Qardh………………….15
3. Tempat Membayar Qardh…………………16
4. Jatuh Tempo Qardh………………………..16
5. Jaminan……………………………………17
6. Khiyar dan Penangguhannya………………20
PENUTUP……………………………………………………..22
A. Kesimpulan……………………………………………..22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..23

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konsep Muamalah yang kafah dewasa ini telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar islam, khususnya Negara-negara maju dan berkembang. Sedikit demi sedikit telah tersisihkan, bergeser, bahkan menghilang dari kancah masyarakat islam itu sendiri. Tak heran jika banyak pihak yang melakukan konfrontasi ke inernal islam itu sendiri. Kondisi ini merupakan suatu keuntugan tersendiri bagi mereka.
Banyak praktek-praktek perbankan Negara Kapitalis yang mengatasnamakan syariah (mumalah) Islam. Khususnya Utang-piutang (Qardh). Riba dalam perbankan pun tak terhindarkan. Padahal dalam Islam tidak membenarkan adanya Riba dalam Utang-piutang.
Bertolak dari problematika itulah, pemakalah mencoba untuk menguraikan secara terperinci tentang konsep Utang-piutang yang benar dalam islam. Bertujuan agar Umat Islam (umumnya) dan pemakalah (khususnya) terjauhkan dari konsep (Riba) tersebut. Amin.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Qardh?
2. Apa saja Landasan Hukum Qardh?
3. Apa Rukun dan Syarat Qardh?
4. Bagaimana Pelaksanaan Qardh?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui Pengertian Qardh
2. Mengetahui Landasan Hukum Qardh
3. Mengetahui Rukun dan Syarat Qardh
4. Mengetahui Pelaksanaan Qardh

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QARDH
Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong). Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian hartanya dan memberikannya kepada pengutang.
Adapun definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.
Pengertian Qardh menurut istilah, diantara lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah:
ما تعطيه من مال مثلي لتقتضاه
Artinya:
“Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya. ”
عقد مخصوص يرد على دفع مال مثلى لاخر ليرد مثله
Artinya:
“Akad terlalu dengan membayarkan harta mitsil kepada orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya ”.
Memberikan utang ini merupakan salah satu bentuk dari rasa kasih sayang. Rasulullah menamakannya maniihah, karena orang yang meminjam memanfaatkannya kemudian mengembalikannya kepada pengutang.
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya mengutang uang Rp. 2000,00 akan dibayar Rp. 2000,00 pula.
Utang piutang mempunyai kemiripan dengan pinjam-meminjam dari segi bahwa yang dimiliki hanya manfaatnya dan pada waktunya dikembalikan kepada pemilik dan juga mempunyai kemiripan dengan pembayaan harga pembelian pada waktu yang ditangguhkan dan punya hubungan pula dengan muamalah riba. Oleh karena itu, perlu dijelaskan definisi atau batasan dari utang-piutang tersebut.
Definisi utang-piutang tersebut yang lebih medekat pada pengertian yang mudah dipahami adalah : “penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang sama”. Kata “penyerahan harta” disini mengandung arti pelepasan pemilikan dari yang punya. Kata “untuk dikembalikan pada waktunya” mengandung arti bahwa pelepasan pemilikan hanya berlaku untuk sementara, dalam arti yang diserahkan itu hanyalah manfaatnya. “berbentuk uang” disini mengandung arti uang dan yang dinilai dengan uang. Dari pengertian ini dia dibedakan dari pinjam-meminjam karena yang diserahkan disina adalah harta berbentuk barang. Kata “nilai yang sama” mengandung arti bahwa pengembalian dengan nilai yang bertambah tidak disebut utang-piutang, tetapi adalah usaha riba. Yang dikembalikan itu adalah “nilai” maksudnya adalah bila yang dikembalikan wujudnya semula, ia termasuk pada pinjam-meminjam, dan bukan utang piutang.
B. LANDASAN HUKUM QARDH
Untuk maksud utang-piutang dalam terminologi fiqh digunakan dua istilah yaitu Qardhu (القرض) dan Dayn (الدين) kedua lafaz ini terdapat dalam Al-Quran dan hadits Nabi dengan maksud yang sama yaitu utang-piutang .Utang-piutang merupakan perbuatan kebajikan yang telah disyari’atkan dalam islam. Hukumnya adalah mubah atau boleh.
Al-Qardhu (memberikan utang) merupakan kebajikan yang membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan membantunya dalam memenuhi kebutuhan. Sedangkan, mengutang tidaklah terhitung sebagai meminta-minta yang makruh, karena Rasulullah sendiri pernah berutang kepada orang lain.
Memberi Utang hukumnya sunnah, bahkan dapat menjadi wajib, misalnya mengutangi orang yang terlantar atau orang yang sangat membutuhkannya. Memang tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat sangat besar faidahnya terhadap masyarakat, karena tiap-tiap orang dalam masyarakat biasanya memerlukan pertolongan orang lain.
Qardh dibolehkan dalam Islam yang didasarkan pada al-Qur’an, as-Sunah dan Ijma’.
1. Al-Qur’an
Dasar hukum bolehnya transaksi dalam bentuk Utang-piutang tersebut dalam bentuk ayat al-Quran diantaranya pada surat al-Muzammil ayat 20 :
وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة وأقرضوا الله قرضا حسنا
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat serta beri utanglah Allah dengan utang yang baik.”
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-Baqarah ayat 282 :
ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka tuliskanlah.”
Firman Allah Swt:
         
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. ”(Qs. Al-Maidah: 2)
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-Baqarah ayat 282 :
ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka tuliskanlah.”

2. Al-Sunnah
Memberi utang adalah disunahkan, dan orang yang melakukannya mendapat pahala yang besar. Rasulullah bersabda:

﴿ ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصجقة مرة ﴾
“Tiada orang muslim yang memberikan utang kepada seorang muslimin dua kali, kecuali piutangnya bagaikan sedekah satu kali”(HR. Ibnu Majah)
Ada yang mengatakan bahwa memberi utang lebih baik daripada bersedekah, karena seseorang tidak memberikan utang kecuali kepada orang yang membutuhkannya.
Dasar dalam hadits Nabi diantaranya adalah yang disampaikan oleh abu hurairah menurut riwayat al-Bukhari sabda Nabi yang berbunyi :

من أخذا أموال الناس يريد أداءها أدى الله عنه ومن أخذها يريد إتلا فها أتلفه الله
“Barang siapa yang mengambil harta seseorang dan ia bermaksud untuk membayarnya, Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang bermaksud mengambilnya dam melenyapkannya, Allah akan melenyapkannya.”
Juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Hakim ucapan Nabi yang bunyinya :
إن الله مع الدائن حتى يقضى دينه
“Sesungguhnya Allah bersama orang yang berutang hingga ia membayar hutangnya.”
Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:
﴿ من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا ، نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ﴾
“Barangsiapa meringankan suatu beban daqri seorang muslim di dunia ini, mnaka Allah akan meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan hari kiamat darinya.”
والله فى عون العبد مادام العبد فى عون اخيه . ﴿ وراه مسلم ﴾
“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.”(Riwayat Muslim).
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa Qardh dibolehkan dalam islam. Hukum Qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits yang dirirawatkan oleh Ibnu Majah di atas. Juga ada hadits lainnya:
عن أبى هريرة ر.ع.قال : قال رسول الله ص.م. : من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر يسر الله عليه فى الدنيا والاخرة ومن ستر مسلما ستره الله فى الدنيا والاخرة والله فى عون العبد ماكان العبد فى عون أخيه ﴿ اخرجه مسلم ﴾
Artinya:
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW, telah bersabda, barang siapa melepaskan dari seorang muslim dari satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya didunia dan akhirat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya menutupi (aib) nya didunia dan akhirat. Dan Allah selamanya monolong hamba-NYA, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (H.R. Muslim).

C. RUKUN dan SYARAT QARDH
Utang-piutang itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun Utang-piutang itu adalah akad yang bermaksud melepaskan uang untuk sementara dengan cara yang menunjukkan adanya rasa suka sama suka. Rukun Utang Piutang:
1. Lafadz (kalimat mengutang), seperti :” saya utangkan ini kepada engkau.” Jawab yang berutang,”saya mengaku berutang kepada engkau.”
2. Yang berpiutang dan yang berutang.
3. Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang bisa dihitung, boleh diutangkan, begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis hewan yang sama.
Unsur yang terlibat dalam transaksi utang-piutang tersebut adalah orang yang berutang (الدائن), orang yang memberi utang (المدائن)dan objek utang-piutang yaitu uang atau barang yang dinilai dengan uang dan tenggang waktu pembayaran.
Pihak yang terlibat transaksi yaitu dain dan muddain adalah orang yang telah cakap dalam bertindak terhadap harta dan berbuat kebajikan, yaitu telah dewasa,berakal sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa paksaan. Sedangkan syarat yang berkenaan dengan objek yaitu uang adalah jenis nilainya, milik sempurna dari yang memberi utang dan dapat diserahkan pada waktu akad. Sedangkan yang menyangkut dengan tenggang waktu harus jelas dan dalam masa itu uang yang diserahkan telah dapat dimanfaatkan.
Disyaratkan untuk syahnya pemberian utang ini bahwa pemberi utang adalah orang yang boleh mengeluarkan sedekah. Maka, seorang wali (pengasuh) anak yatim tidak boleh memberikan utang dari harta anak yatim yang ia asuh tersebut. Disyaratkan juga diketahuinya jumlah dan cirri-ciri harta yang dipinjamkan, agar dapayt dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan demikian, piutang tersebut menjadi utang di tangan orang yang meminjam , dan ia wajib mengembalikannya ketika mampu dan tanpa menunda-nundanya.
Qardh dipandang sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang dibolehkan syara’. Selain itu, Qardh pun dipandang sah setelah adanya ijab qabul, seperti pada jual beli dan hibah.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Qardh dipandang sah pada harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai. Diantara yang dibolehkan adalah benda-benda yang ditimbang, ditakar atau dihitung. Qardh selain dari perkara diatas dipandang tidak sah, seperti hewan, benda-benda yang menetap ditanah, dan lain-lain.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan Qardh pada setiap benda yang tidak dapat di serahkan, baik yang ditakar maupun yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Hal itu didasarkan pada hadis dari Abu Rafi bahwa Nabi SAW menukar (qarad) anak unta. Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang bisa ditakar, atau ditimbang. Jumhur ulama membolehkan, Qardh pada setiap benda yang dapat diperjual belikan, kecuali manusia. Mereka juga melarang Qardh Manfaat , seperti seseorang pada hari ini mendiami rumah, tetapi Ibn Taimiyah membolehkannya.
Menurut pendapat paling unggul dari ulama Hanafiyah, setiap Qardh pada benda yang mendatangkan manfaat diharamkan jika memakai syarat. Akan tetapi, dibolehkan jika tidak disyaratkan kemanfaatan atau tidak diketahui adanya manfaat Qardh.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa muqrid tidak bisa memanfaatkan harta muqtarid, seperti naik kendaraan atau makan dirumah muqtarid, jika dimaksudkan untuk membayar utang muqrid, bukan sebagai penghormatan. Begitupula dilarang memberikan hadiah kepada muqrid, jika dimaksudkan untuk menyicil utang.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah melarang Qardh terhadap sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan, seperti memberikan Qardh agar mendapat sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak sebab qarad dimaksudkan sebagai akad kasih sayang, kemanfaatan, atau mendekatkan hubungan kekeluargaan. Selain itu, Rosulullah Saw. pun melarang. Namun demikian, jika tidak disyaratkan atau lebih dimaksudkan untuk mengambil yang lebih baik, Qardh dibolehkan. Tidak dimakruhkan oleh muqrid atau mengambilnya, sebab Rasulullah Saw. pernah memberikan anak onta yang lebih baik kepada seorang laki-laki dari pada unta yang diambil beliau Saw. Selain itu , Jabir bin Abdullah berkata:
كان لى على رسول الله ص.م. حق فقضانى وزادنى ﴿ رواه البخارى ومسلم ﴾
Artinya:
“ aku memiliki hak pada Rasulullah SAW kemudian beliau membayarnya dan menambah untukku ” (H.R Bukhori dan Muslim)
Pendapat Ulama’ Fiqih tentang Qardh dapat disimpulkan bahwa Qardh dibolehkan dengan dua syarat:
a. Tidak menjurus pada suatu manfaat
b. Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual-beli

D. PELAKSANAAN QARDH
1. ADANYA TAMBAHAN
Diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan dari utang yang ia berikan ketika mengembalikannya. Para ulama sepakat, jika pemberi utang mensyaratkan kepada pengutang untuk mengembalikan utangnya dengan adanya tambahan, kemudian si pengutang menerimanya maka itu adalah riba. Dan yang dipraktikkan bank-bank sekarang ini, yaitu member pinjaman dengan adanya bunga, adalah jelas-jelas riba, baik berupa pinjaman konsumtif maupun pinjaman produktif, sebagaimana yang mereka namakan. Maka pemberi utang, baik bank, perorangan maupun perusahaan, tidak boleh menerima tambahan yang disyaratkan, apa pun nama dan bentuk tambahan tersebut. Baik dinamakan sebagai laba, bunga ataupun hadiah; baik bentuknya adalah menempati sebuah rumah, mengendarai nkendaraan dan sebagainya. Jadi selama tambahan, hadiah atau manfaat tersebut disyaratkan, maka itu adalah riba.
Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai sama dengan yang diterima dari pemiliknya; tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu menjadikan transaksi ini menjadi riba yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadits dari Ali ra. Menurut riwayat al-Harits bin Usamah yang bunyinya :
كل قرض جرمنفعة فهو ربا
“Setiap utang yang menghasilkan keuntungan adalah riba.”

Yang dimaksud dengan keuntungan atau kelebihan dari pembayaran dalam hadits tersebut diatas adalah kelebihan atau tambahan yang disyaratkan dalam akad utang-piutang atau ditradisikan untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu adalah kehendak yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya, maka yang demikian bukan riba, bahkan cara ini dianjurkan oleh Nabi. Halini terdapat dalam beberapa riwayat dari Nabi diantaranya adalah hadits dari Abu Rafi’ menurut riwayat Muslim :
أن النبى صلى الله عليه وسلم استسلف بكرا فقدمت إليه إبل من إبل الصدقة فامر أبا رافع أن يقضى ألرجل بكره قال لا أجد إلا خيارا ربا عيا فقال أعطه إياه فإن خيار الناس أحسنهم قضاء
“Bahwa Nabi Muhammad SAW. Mengutang seekor unta muda dari seseorang, kemudian dibawa kepadanya seekor unta dari unta sodaqoh, Nabi menyuruh Abu Rafi’ untuk membayar utangnya, Abu Rafi’ berkata: “saya tidak mendapatkan kecuali unta yang sudah besar”. Nabi bersabda: berikanlah itu, karena orang yang paling baik adalah yang membayar utang dengan yang lebih baik”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik, Rasulullah bersabda:
﴿ إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى إليه أو حمله على الدابة ، فلا يركبها ولا يقبلها إلا أن يكون جرى بينة وبينه قبل ذلك ﴾
“Jika salah seorang kalian memberikan utang, lalu orang yang berutang memberinya hadiah atau menaikkannya ke atas hewan tunggangannya, maka hendaknya ia jangan menaikinya dan jangan menerimanya , kecuali jika sebelumnya mereka telah terbiasa dengan hal tersebut.”(HR Ibnu Majah).
عن ابى هريرة قال استقرض رسول الله صلى الله عليه وسلم سنا فاعطى سناخيرا من سنه وقال خياركم احاسنكم قضاء .
Dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Rosulullah telah mengutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya dari pada hewan yang beliau utang itu, dan rosulullah Saw bersabda, orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.”(Riwayat Ahmad dan Tirmizi,lalu disahihkannya)
Dan, masih banyak hadits yang menguatkan hadits ini. Diriwayatkan juga bahwa Abdullah bin Salam r.a. barkata, “jika engkau mempunyai piutang atas seseorang, lalu ia memberimu jerami sebanyak satu bawaan unta, maka janganlah engkau menerimanya. Karena sesunguhnya itu adalah riba.”Dan kedudukan riwayat dari Abdullah bin Salam r.a. ini bagakan hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah.
Maka, pemberian utang (muqridh) dilarang menerima hadiah dari pengutang, baik berupa benda atau jasa, jika hal tersebut karena utang tersebut. Hal ini dikarenakan adanya larangan akan hal itu. Disamping itu juga, karena al-qardhu (pemberian utang) adalah akad yang berlangsung kerena rasa belas kasihan terhadap orang yang membutuhkan, dan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehinga, jika disyaratkan adanya tambahan di dalamnya, atau pemberi utang berkeinginan dan bermaksud mendapatkannya, maka hal itu telah mengeluarkan al-qardhu (pemberian utang) dari tujuannya semula-yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menolong orang yang membutuhkan-, menjadi sarana untuk mencari keuntungan dari orang yang membutuhkan bantuan. Dengan demikian, maka hal itu bukan lagi al-qardhu.
Seorang muslim haruslah berhati-hati dalam hal ini. Dan, hendaklah selalu mengikhlaskan dalam memberi utang dan dalam amal-amal saleh lainnya. Karena sesungguhnya tujuan dari memberikan utang bukanlah untuk menumbuhkembangkan harta secar lahir, akan tetapi mengembangkannya secara maknawi. Yaitu, dengan berkah yang diturunkan oleh Allah, sehingga harta tersebut berkembang dan menjadi harta yang bai8k. dan, hal ini hanya terwujud dengan menggunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang salah satunya adalah memberikan utang dengan tidak mengambil tambahan apa-apa darinya.
Peru diketahui bahwa tambahan yang haram diambil dari pemberian utang (al-qardhu) adalah tambahan yang disyaratkan. Seperti seseorang yang berkata, “saya memberimu utang sekian-sekian, denmgan syarat engkau mengembalikannya dnagn tambahan sekian-sekian.” Atau, “ saya memberimu pinjaman sekian, dengan syarat engkau membolehkan saya untuk tinggal di rumahmu atau memakai tokomu”, atau juga, “ dengan syarat engkau menghadiahkan kepada ku ini,” atau tidak ada syarat yang disebutkan, akan tetapi terdapat tujuan dan keinginan untuk mendapatkannya, maka hal ini dilarang.
Adapun jika peminjam memberikan tambahan dari dirinya sendiri dan berangkat dari keikhlasannya, bukan karena syarat yanmg ditetapkan oleh pemberi utang, maka pemberi utang boleh menerimanya. Karena ini terhitung sebagai husnul qadha (membayar utang dengan baik). Disamping itu, Rasulullah pernah meminjam sesuatu kepada (abu) Bakar, lalu beliau melunasinya dengan lebih baik.
Dan beliau bersabda:
﴿ خيركم أحسنكم قضاء ﴾

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman.”
Ini merupakan akhlak yang terpuji, baik menurut adat maupun syara’ , bukan termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat. Karena tambahan tersebut tidak disyaratkan oleh pemberi utang, juga tudak adanya kesepakatan akan hal itu antara dia dan pengutang, akan tetapi tambahan tersebut diberikan secara suka rela oleh pengutang.
Demikian juga jika pengutang sebelumnya sudah terbiasa melakukan suatu jasa kepada pemberi utang, dan ia melakukannya bukan karena utangnya kepada pemberi utang. Maka dalam hal ini, pemberi utang boleh menerimanya, karena tidak ada larangan di dalamnya.

2. HUKUM (KETETAPAN) QARDH
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, Qardh menjadi tetap setelah pemegangan atau penyerahan. Dengan demikian, jika seseorang menukarkan (iqtaradha) satu kilo gram gandum misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta zatnya. Jika muqrid tidak memintanya, muqtarid tetap menjaga benda sejenisnya, walaupun Qardh (barang yang ditukarkan) masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf, muqtarid tidak memiliki Qardh selama Qardh masih ada. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan Qardh, sebagaimana terjadi pada akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum ada penyerahan dan pemegangan: Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang sejenis dengan Qardh muqrid meminta zatnya, baik serupa maupun asli. Akan tetapi jika Qardh telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda sejenis.
Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah senada dengan pendapat Abu Hanifah bahwa ketetapan Qardh dilakukan setelah penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus menyerahkan benda sejenis (Mitsil) jika penukaran terjadi pada harta mitsil sebab lebih mendekati hak muqrid. Adapun pertukaran pada harta qimi (bernilai) didasarkan pada gambarannya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian Qardh pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda lainnya, yang tidak dihitung dan ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat., Pertama sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari akad Qardh. Kedua mengembalikan benda sejenis yang mendekati Qardh pada sifatnya.

3. TEMPAT MEMBAYAR QARDH
Ulama fiqih sepakat bahwa Qardh harus dibayar ditempat terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya ditempat lain apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga tidak halangan dijalan. Sebaliknya, jika terdapat halangan apabila membayar ditempat lain, muqrid tidak perlu menyerahkannya.

4. JATUH TEMPO QARDH
Utang wajib dibayar pada waktu yang ditentukan bila yang berutang memang telah mampu membayarnya. Bila dia mampu membayar tetapi menangguhkkan pembayarannya, dia dinyatakan sebagai orang yang zhalim sebagaimana dikatakan Nabi dalam hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya sabda Nabi dari Abu Huraira menurut riwayat al-Bukhari :
مطل الغني ظلم
“Tindakan orang kaya yang menangguh-nangguhkan hutangnya adalah zhalim.”
Hadits Nabi yang lain dari ‘Amru bin Syarid menurut riwayat Abu Daud dan al-Nasai, sabda Nabi:

لي الواجد يحل عرضه وعقوبته
“Orang-orang yang mempunyai harta tetapi mengguhkan hutangnya boleh dituntut dan disiksa.”
Namun bila yang berutang tidak mampu membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, orang yang mengutangi diharapkan bersabar sampai yang berutang mempunyai kemampuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280:
وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة وأن تصدقوا خير لكم إن كنتم تعلمون

Artinya:
“Jika mereka (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka hendaklah tunggu sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayar. Bila kamu sedekahkan, itu akan lebih baik; seandainya kamu mengetahui.”
Kemudian pengutang(muqtaridh) wajib berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melunasi utangnya, tanpa mengulur-ngulurnya ketika mampu membayarnya. Allah berfirman:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(Qs.ar-Rahmaan: 60)
Sebagian orang menyepelekan kewajiban mereka, khususnya dalam masalah utang. Dan ini adalah perilaku yang tercela, yang membuat banyak orang enggan memberikan utang dan member kemudahan kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal ini merupakan salah satu faktor beralihnya orang-orang ke benk-bank yang menerapkan system riba dan melakukan hal yang diharamkan oleh Allah. Karena ketika membutuhkan, mereka tidak menemukan orang yang memberi mereka pinjaman denagn baik. Sedangkan, orang yang mau memberikan utang tidak menemukan orang yang mau melunasi utangnya dengan baik, sehingga hilanglah kebaikan dari orang-orang.

5. JAMINAN (RUNGGUHAN)
Jaminan atau rungguhan ialah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku dibawah itu).
Firman Allah Swt.:
        •
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”(Qs.Al-Baqarah:283)
Sabda Rasulullah Saw:
عن انس قال رهن رسول الله صلى الله عليه وسلم درعا عنديهودى بالمدينة واخذ منه شعيرا لاهله . ﴿ رواه أحمد والبخارى والنسائى وابن ماجه ﴾
Dari anas. Ia berkata, “Rasulullah Saw. Telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah, sewaktu beliau mengutang Sya’ir (Gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah beliau.”(Riwayat Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibnu Majah).
Menurut keterangan dalam hadis lain, banyaknya biji gandum yang diutang Rasulullah Saw. Dari dari seorang yahudi adalah tiga puluh sa’ lebih kurang 90 liter, dengan jaminan baju perang beliau. Dari hadits tersebut jelaslah bagi kita bahwa agama Islam dalam urusan muamalat tidak membedakan antara pemeluknya dengan yang lain. Wajib antara muslimin membayar hak pemeluk agama lain seperti terhadap sesama mereka. Begitu juga tidak halal harta mereka selain dengan cara yang halal terhadap sesama muslim. Rukun Rungguhan:
a. Lafadz (kalimat akad), seperti; “saya saya rungguhkan ini kepada engkau untuk utangku yang sekian terhadap engkau.” Jawab yang berpiutang, “saya terima rungguhan ini.”
b. Ada yang merungguhkan dan yang menerima rungguh (yang utang dan yang berpiutang). Keduanya hendaklah ahli tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).
c. Barang yang dirungguhkan. Tiap-tiap zat yang bisa dijual dirungguhkan dengan syarat keadaan barang itu tidak rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Apabila barang yang telah dirungguhkan diterima oleh yang berpiutang, tetaplah rungguhan; dan apabila rungguhan telah tetap yang punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang itu, baik dengan jalau ataupun diberikan dan sebagainya, kecuali dengan izin yang berpiutang. Apabila barang yang dirungguhkan rusak atau hilang ditangan orang yang memegangnya, ia tidak wajib mengganti karena barang rungguhan itu adalah barang amanat (percaya-mempercayai), kecuali rusak atau hilangnya itu disebabkan kelalaiannya. Manfaat barang yang dirungguhkan yakni: Orang yang punya barang tetap berhak mengambil manfaat dari barang yang dirungguhkan, bahkan semua manfaatnya tetap kepunyaan dia, kerusakan barang pun atas tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat barang yang dirungguhkan itu walaupun tidak seizing orang yang menerima rungguhan. Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya dari barang itu atau mengurangi harga barang itu tidak diperbolehkan kecualai dengan izin orang yang menerima rungguhan. Maka tidaklah sah bila orang yang merungguhkan menjual barang yang sedang dirungguhakan itu, begitu juga menyewakannya apabila masa sewa-menyewa itu melalui masa rungguhan.
Sabda Rasulullah SAW:
لايغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه وعليه غرمه .﴿ رواه الشافعى والدارقطنى ﴾
“Rungguhan tidak menutup pemiliknya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib membayar dendanya.” (Riwayat Syafii dan Daruqutni)
Orang yang memegang rungguhan boleh mengambil manfaat barang yang dirungguhakan dengan sekadar ganti kerugiannya, untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah SAW:
اذا ارتهن شاة شرب المرتهن من لبنها بقدر علفها فان استفضل من اللبن بعد ثمن العلف فهوربا . ﴿ رواه حماد بن سلمة ﴾
“Apabila seekor kambing dirungguhkan, maka yang memegang rungguhan itu boleh meminum susunya sekadar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba” (Riwayat Hammad bin Salmah).
Bertambahnya barang yang dirungguhkan:
a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau anaknya yang jadi dan lahir sesudah dirungguhkan tidak termasuk barang rungguha, tetapi tetap kepunyaan orang yang merungguhkan. Maka jika barang rungguhan itu dijual oleh yang memegang rungguhan, tambahannya itu tidak boleh ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut dirungguhkan.
b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan, seperti tambahan gemuk, tambahan besarnya, dan anak yang masih dalam kandunga, semuanya itu termasuk yang dirungguhkan. Begitu juga bulunya jika di waktu merungguhkan sudah watu memotong tetapi tidak dipotonngnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk dirungguhkan. Tetapi jika di waktu merungguhkan belum waktunya dipotong, maka ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk dirungguhkan; yang punya barang berhak memotongnya dan mengambil bulu itu apabila sampai waktu memotongnya.
Adapun rungguhan yang berlaku di negeri kita ini (seorang merungguhkan sawah atau pohon kelapa, semua penghasilannya diambil oleh yang memegang), hal itu tidak sah dan tidak halal, sebab rungguhan itu hanya berguna utnuk menambah kepercayaan yang berpiutang kepada yang berhutang, bukan untuk mencari keuntungan bagi yang berpiutang.

Sabda Rasulullah Saw.:
كل قرض جرمنفعة فهو وجه من وحوه الربا . ﴿ اخرجه البهقى ﴾
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba” (Riwayat Baihaqi).
6. KHIYAR dan PENANGGUHANNYA
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam Qardh tidak ada khiyar sebab maksud dari khiyar adalah membatalkan akad, sedangkan dalam Qardh masing-masing berhak boleh membatalkan akad kapan saja dia mau. Jumhur ulama melarang penangguhan pembayaran Qardh sampai waktu tertentu sebab dikawatirkan akan menjadi riba nasi’ah. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan bahwa Qardh adalah derma, muqrid berhak meminta penggantinya waktu itu. Selain itu, qaradpun termasuk akad yang wajib diganti dengan harta mitsil, sehingga wajib membayarnya pada waktu itu, seperti harta yang rusak.
Namun demikian, ulama Hanafiyah menetapkan keharusan untuk menangguhkan Qardh pada empat keadaan:
1. Wasiat, seperti mewasiatkan untuk penangguhan sejumlah harta dan ditangguhkan pembayarannya selama setahun, maka ahli waris tidak boleh mengambil penggantinya dari muqtarid sebelum habis waktu setahun.
2. Diasingkan, Qardh diasingkan kemudian pemiliknya menangguhkan sebab penangguhan pada waktu itu diharuskan.
3. Berdasarkan keputusan hakim.
4. Hiwalah, yaitu pemindahan utang.
Imam Malik berpendapat bahwa Qardh ditangguhkan dengan adanya penangguhan sebab Nabi SAW bersabda:
المسلمون على شروطهم ﴿ رواه أبوداود وأحمد والترمذى والدارقطنى ﴾
Artinya:
“Orang-orang Islam didasarkan pada (persyaratan yang mereka buat).” (H.R. abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Daruqtuni)
Selain itu, kedua belah pihak yang melakukan akad dapat menetapkan atau membatalkan transaksi.

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraiaan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengertian secara bahasa:memotong, secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.
2. Landasan Hukum: al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, al-Sunnah HR. Ibnu Majah, Ijma’ yang didasarkan pada HR. Ibnu Majah.
3. Rukun:lafadz (Ijab Qabul), yang berpiutang dan yang berutang, barang yang diutangkan. Sedang syaratnya disebutkan di muka.
4. Pelaksanaannya:adanya tambahan itu haram bila disyaratkan, hukum ketetapannya setelah terjadi penyerahan, tembat membayar ialah ketika terjadinya akad tersebut, ketika jatuh tempo diwajibkan untuk segera dibayar jika mampu dan sebaliknya, jaminan diperlukan guna kepercayaan yang berpiutang dan yang berutang, tidak adanya khiyar dan dilarang untuk ditangguhkan pembayarannya untuk waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Fauzan, Saleh. 2006. Fiqih Sehari-hari. Jakarta:Gema Insani
Rasjid, Sulaiman. 2004. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algesindo
Syafei, Racmat.2001.Fiqih Muamalah.Bandung:Pustaka Setia
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh.Jakarta:Prenada Media

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host