Monday, August 20, 2012

Taflis


At-taflis

{ April 18, 2010 @ 5:05 am } · { Fiqih Muammalah }


AT-TAFLIS (PAILIT)
A. Pengertian

secara etimologi at-taflis berarti pailit(muflis) atau jatuh miskin. Dalam hukum

positif, kata pailit mengacu kepada keadaan orang yang terlilit oleh hutang. Dalam bahasa fiqih, kata yang digunakan untuk pailit adalah iflas (berarti : tidak memiliki harta/fulus).secara terminologi,at-taflis hutang seseorang yang menghabiskan seluruh hartanya hingga tidak ada yang tersisa sedikitpun baginya karena digunakan untuk membayar hutang-hutangnya. Sedangkan at-taflis (penetapan pailit) didefinisikan oleh para ulama fiqih :

“keputusan hakim yang melarang seorang bertindak hukum atas hartanya”.

Apabila seseorang dalam kehidupannya sebagai pedagang yang banyak meminjam modal dari orang lain, ternyata perdagangan yang ia lakukan tidak lancar, sehingga seluruh barang dagangannya habis, maka atas permintaan orang-orang yang meminjami pedagang ini modal dagang, kepada hakim, pedagang ini boleh dinyatakan sebagai orang yang jatuh pailit, sehingga segala bentuk tindakan hukumnya terhadap sisa harta yang ia miliki boleh dicegah. Maksud dari pencegahan tindakan hukum orang pailit ini adalah demi menjamin utangnya yang cukup banyak pada orang lain. [1]

B. Hukum At-taflis

At-taflis adalah seseorang yang mempunyai hutang, seluruh kekayaannya habis hingga tidak tersisa untuk membayar hutang.

Hukum-hukumnya :
Dikenakan al hajru jika para kreditur menghendakinya. (Abu Hanifah berpendapat at tidak dikenakan al jahru).
Seluruh assetnya dijual untuk melunasi hutang, kecuali pakaian dan makanan.


Jika seorang kreditur menemukan barangnya dalam kondisi utuh tanpa cacat, maka ia berhak mengambilnya daripada kreditur lain, dengan syarat ia tidak pernah mengambil dari uang hasil penjualan barang tersebut. Jika ia pernah mengambil, maka haknya sama dengan kreditur yang lain. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Barangsiapa menemukan barangnya di orang yang telah bangkrut, maka ia lebih berhak terhadapnya.” (Muttafaq Alaih).
Jika terbukti mengalami kesulitan keuangan oleh hakim atau pengadilan (tidak memiliki kekayaan), maka ia tidak boleh ditagih.

bÎ)ur šc%x. rèŒ ;ouŽô£ãã îotÏàoYsù 4’n<Î) ;ouŽy£÷tB 4 br&ur (#qè%£‰|Ás? ׎öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.(al-baqarah :280)

Adapun hadist dari nabi :Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Ambillah apa yang kalian dapatkan dan kalian tidak memiliki hak selain itu.” (HR Muslim).
Jika seluruh hartanya sudah dibagi-bagi, kemudian dating kreditur yang belum tahu telah diberlakukan al hajru dan kreditur tersebut tidak mengetahui kalau semua asset telah dijual, maka kreditur tersebut mendatangi masing-masing kreditur untuk meminta bagian yang sama.
Jika kreditur mengetahui pemberlakuan al hajru pada seorang debitur, kemudian ia melakukan bisnis dengannya, maka ia tidak mempunyai hak yang sama dengan kreditur yang lain, hutangnya tetap menjadi tanggungan debitur tersebut sampai lunas. [2]


C. Penetapan Seseorang Jatuh Pailit

Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqih tentang penetapan seseorang jatuh pailit dan statusnya berada dibawah pengampuan, apakah perlu ditetapkan melalui keputusan hakim atau tidak. Ulama Malikiyah, dalam persoalan ini, memberikan pendapat secara rinci.
Sebelum seseoarang dinyatakan jatuh pailit, para pemberi piutang berhak melarang orang yang jatuh palit itu bertindak hukum terhadap sisa hartanya dan membatalkan seluruh tindakan hukum yang membawa mudharat kepada hak-hak mereka, seperti mewasiatkan harta, menghadiahkan dan melakukan akad mudharabah.
Persoalan utang piutang in tidak diajukan kepada hakim, dan antara yang berutang dengan orang-orang yang memberi utang dapat melakukan ash-shulh (perdamaian). Dalam kaitan dengan ini, orang yang jatuh pailit itu tidak dibolehkan bertindak hukum yang bersifat pemindahan hak milik sisa hartanya seperti, wasiat, hibah, dan kawin.
Pihak yang memberi hutang mengajukan gugatan (seluruhnya atau sebagiannya) kepada hakim agar orang yang berhutang itu dinyatakan jatuh pailit, serta mengambil sisa hartanya untuk membayar utang-utangnya. Gugatan tersebut diajukan besrtakan bukti bahwa hutang yang ia miliki melebihi sisa hartanya dan hutang tersebut telah jatuh tempo pembayarannya.
D. Status hukum orang Pailit (Muflis)

Para ulama Fiqh juga mempersoalkan status hukum orang yang jatuh pailit. Apakah seseorang yang telah dinyatakan pailit harus berada dibawah pengampuan hakim atau harus ditahan atau dipenjara? Dalam persoalan ini terdapat perbedaan pendapat ulama Fiqh. Imam Hanifah berpendapat bahwa orang yang jatuh pailit tidak dinyatakan sebagai orang yang berada dibawah penagmpuan,

sehingga ia tetap dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Dengan kata lain beliau

mengatakan seseoarang yang jatuh pailit karena terlilit utang tidak boleh ditahan / dipenjarakan, karena memenjarakan seseorang berarti mengekang kebebasannya terhadap makhluk merdeka. Dalam hal ini hakim boleh memerintahkan untuk melunasi utang-utang itu, apabila perintah hakim ini tidak diikuti, maka hakim boleh menahannya sampai lunas hutang tersebut dan menyuruh si pailit agar menjual sisa dari hartanya untuk melunasi hutang itu.

Apabila seseorang telah dinyatakan pailit oleh hakim, maka para ulama fiqh sepakat bahwa segala tindak hukum si pailit dinyatakan tidak sah, harta yang berada ditangan seorang yang pailit menjadi hak para pemberi piutang, dan sebaiknya kepailitanya diumumkan kapada khalayak ramai, agar khalayak lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dengan orang yang pailit tersebut.

Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa seorang hakim boleh melakukan penahanan sementara pada orang yang pailit tersebut, apabila memenuhi 4 syarat berikut :
Utangnya telah jatuh tempo pembayaran
Diketahui bahwa orang yang pailit ini mampu untuk membayar utang-utangnya, tetapi tidak ia lakukan, sesuai dengan hadist Rasulullah yang menyatakan :

“ saya berhak untuk menahan sementara orang yang enggan membayar utangnya, karena perbuatan itu bersifat zalim”.(H.R. Bukhari dan Muslim).
Orang yang jatuh pailit itu bukan ayah atau ibu dari orang yang pemberi piutang
Orang yang memiliki piutang mengajukan tuntutn kepada hakim agar orang yang jatuh pailit itu dikenakan penahanan sementara.



E. Pencabutan Status dibawah Pengampuan Orang Pailit

Kaidah Ushul fiqh menyatakan bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan Illatnya. Apabila ada Illatnya maka hukum berlaku, dan apabila Illatnya hilang maka hukum itu tidak berlaku. Dalam persoalan orang yang dinyatakan jatuh pailit dan berada dalam status dibawah pengampuan. Apabila hartanya yang ada telah dibagikan kepada pemberi piutang oleh hakim apakah statusnya sebagai orang yang dibawah pengampuan hapus dengan sendirinya? Dalam hal ini jumhur Ulama Fiqh berpendapat :

Ulama Syafi’iah dan Hanabilah mengemukakan bahwa “ apabila harta sipailit telah dibagi kepada pemberi piutang sesuai dengan perbandingannya, dan sekalipun tidak lunas, maka status di bawah pengampuan dinyatakan dihapus, karena sebab yang menjadikan ia berada dibawah pengampuan telah hilang”.

Sebagian Ulama syafi’iah dan Hanabilah berpendapat juga bahwa status orang pailit sebagai orang yang berada dibawah pengampuan tidah hapus, kecuali dengan keputusan hakim, karena penetapannya sebagai orang yang berstatus dibawah pengampuan didasarkan pada keputusan hakim, maka pembatalannya pun harus dengan keputusan hakim. [3]

KESIMPULAN

Taflis adalah Hutang seseorang yang menghabiskan seluruh hartanya hingga tidak ada yang tersisa sedikit pun baginya karena digunakan untuk membayar hutang-hutangnya.

Hukum taflis, Dikenakan al hajru jika para kreditur menghendakinya. (Abu Hanifah berpendapat at tidak dikenakan al jahru). Seluruh assetnya dijual untuk melunasi hutang, kecuali pakaian dan makanan.

Jika seorang kreditur menemukan barangnya dalam kondisi utuh tanpa cacat, maka ia berhak mengambilnya daripada kreditur lain, dengan syarat ia tidak pernah mengambil dari uang hasil penjualan barang tersebut. Jika ia pernah mengambil, maka haknya sama dengan kreditur yang lain. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Barangsiapa menemukan barangnya di orang yang telah bangkrut, maka ia lebih berhak terhadapnya.” (Muttafaq Alaih).

Jika terbukti mengalami kesulitan keuangan oleh hakim atau pengadilan (tidak memiliki kekayaan), maka ia tidak boleh ditagih. “Dan jika dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan…” (Al Baqarah 280). Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Ambillah apa yang kalian dapatkan dan kalian tidak memiliki hak selain itu.”(HR Muslim).

Jika seluruh hartanya sudah dibagi-bagi, kemudian dating kreditur yang belum tahu telah diberlakukan al hajru dan kreditur tersebut tidak mengetahui kalau semua asset telah dijual, maka kreditur tersebut mendatangi masing-masing kreditur untuk meminta bagian yang sama.

Jika kreditur mengetahui pemberlakuan al hajru pada seorang debitur, kemudian ia melakukan bisnis dengannya, maka ia tidak mempunyai hak yang sama dengan kreditur yang lain, hutangnya tetap menjadi tanggungan debitur tersebut sampai lunas.

Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran yang sangat penting adalah bidang muamalah/ iqtishadiyah (Ekonomi Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah, Jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para ulama tidak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka. Seluruh Kitab Fiqh membahas fiqh ekonomi. Bahkan cukup banyak para ulama yang secara khusus membahasekonomi Islam. Dan adapun pemakalah dalam membuat makalah ini bertujuan untuk membahas satu dari halaqh-halaqh fiqih muammalah yang berjudul At-taflis dan makna, serta hukum yang terkait dalam kegiatan tersebut. [1] Tarjamah bidayah mujtahid, oleh Ibnu Rusyd, jilid III, hal 331-351,



[2] Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57 An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti,Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005. oleh Abu Al Maira di/pada Juli 3, 2007.

[3] Pedoman Hidup Seorang Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Maktabu ‘ulum wal Hikam Madina,hal :633-636

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host