TAKHRIJ HADITS RIWAYAT IBNU MAJAH
TENTANG LARANGAN MENYEMBUNYIKAN CACAT BARANG DAGANGAN
Oleh: Khamim, M. Ag.
Hadits riwayat Ibnu
Majah tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan , yang digunakan
ulama fiqh untuk mendasri praktik khiyar ‘ayb (hak bagi pembeli untuk
melangsungkan atau membatalkan akad jual beli karena cacat barang ), juga
merupakan riwayat individu (hadist ahead) , karena hanya diriwayatkan oleh
sahabat ‘Uqbah bin Amir.
Penelitian terhadap
hadits ini mulai dengan melacak sumber – sumber hadits (takhrij al-hadits).
Kemudian meneliti kualitas hadits (tahqiiq al-hadits), meliputi persambungan
sanad , keadilan dan kedlabithan periwayat , serta ada tidak nya syadz dan
‘illat. Dari sisi persambungan sanad , sanad hadits ini muttashil , namun dari
sisi kualitas periwayat, terdapat beberapa periwayat yang tidak tsiqah lantaran
ke dlabith-annya, sehingga dari segi sanad hadits ini bernilai dla’if. Namun
ke-dla’if-an hadits ini masih bisa diangkat menjadi hasan . kesimpulan ini
sejalan dengan penilaian al-‘Ayni , bahwa hadits ini bernilai hasan ghariib.
Berhujjah dengan hadits ini adalah boleh dan memang menjadi dasar pembatasan
ulama fiqh tentang khiyaar ‘ayb , seperti sayyid sabiq dalam Fiqh as-sunnah nya
, Wahhab al-Zuhayli dalam Al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuh dan selainya.
Kata
kunci : Takhrij Hadits, Kualitas Hadits dan Kehujjahan
Hadits.
Pendahuluan
Penelitian hadits
(tahqiiq al-hadits) merupakan tujuan terpenting dari kegiatan takhrij
al-hadits. Menurut al-Thahhan (yang berarti الدلالت , sebagai makna
yang banyak dipakai kalangan ahli hadits ) adalah melacak hadits pada
kitab-kitab sumber pokok dan memperjelas nilai nya dengan meneliti sanad dan
kualitas para periwayatnya. Kitab –kitab sumber hadits yang dimaksud adalah
kutub al-sittah , Muwaththa’ Malik , kitab-kitab musnad , mustadrak , mushanaf
dan sunan . demikian juga kitab – kitab jami’ , mustakhraj , athraf dan kitab-
kitab selain hadits yang diriwayatkan melalui sanad pengarangnya sendiri ,
seperti tafsir al-thabari . sedang nilai hadits yang dimaksud adalah shahih ,
hasan ,dla’if atau bahkan maudlu’ (palsu), menurut al-‘Iraqi , menjelaskan
nilai hadits merupakan hadits dan sesuatu yang sangat penting dalam kegiatan
takhriij al-hadits.
Hadits yang diteliti
dalam tulisan ini adalah hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang
dagangan riwayat Ibn Majah. Permasalahanya adalah , bagaimanakah kualitas sanad
dan matannya??. Sehingga bagaimanakah nilai haditsnya ; dan bagaimanakah
berhujjah dengannya ??. Melalui kegiatan takhrij al-hadits , tulisan ini
mencoba melacak orisinilitas hadits pada kitab-kitab sumber hadits yang
dilengkapi dengan sanad-sanad nya, kemudian meneliti kualitas sanan dan matn
hadits; yang meliputi persambungan sanad , kualitas para periwayatnya ada tidaknya
syadz dan ‘illat pada matnnya ; serta melakukan kegiatan I’tibaar al-sanad guna
menemukan hadits-hadits yang berstatus sebagai mutaabi’ dan syaahid. Melalui
kegiatan itu, diharapkan dapat diketahui kualitas sanad dan matn hadits yang
dimaksud , sehingga didapatkan kejelasan tentang kejelasan tentang penggunaanya
sebagai hujjah.
Data
Hadits Yang Diteliti
1. Redaksi Hadits
حدثنا محمد بن بشّاروحدثنا
وحب بن جرير حدّثناأبى : سمعت يحيى ابن ايوب يحدث عن يزيد بن أبي حبيب عن عبد
الرحمن بن شما سة عن عقبة بن عامر.قال : سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم يقول :
"المسلم أخ المسلم لا يحلّ لمسلم باع من أخيه بيعا فيه عيب إ لاّ بينه له"
Artinya
: Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami , wahb bin Jarir telah
bercerita kepada kami, bapak ku (Jarir) telah berceritaku, aku telah mendengar
yahya bin Ayyub bercerita, dari Yazid bin Abi Habib, dari ‘Abdur Rahman bin
Syumasah, dari ‘Uqbah bin ‘Amir ; ia berkata, aku telah mendengar Rasullulah
saw. bersabda : “ orang islam adalah saudara sesama orang islam, tidak halal
bagi orang islam menjual barang dagangan yang mengandung cacat kepada
saudaranya, kecuali menjelaskan kepadanya”.
2. Metode Takhrij
Hadits Riwayat Ibnu Majah
Hadits tentang larangan
menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibn Majah di atas, di lacak
menggunakan metode takhriij al-hadits sebagai berikut:
a. Menggunaka
sahabat periwayat Hadits
Dengan
menggunakan nama sahabat periwayat hadits, yaitu ‘Uqbah bin ‘Amir, hadits
riwayat Ibn Majah itu di temukan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal juz 13 nomor
hadits 17382, sebagai berikut :
حدثن عبدالله حدثني
أني,حدثنايحيى بن إ سحاق حدثنا ابن لهيعة عن يزيد بن أبي حبيب عن ابن شماسة عن
عقبة بن عا مر قال : قال رسول الله صل الله عليه وسلم : (المسلم اخو المسلم لا يحل
لأ مر ئ مسلم أن يغيب ما بسلعته عن أخيه إ ن علم بها تركها) رواه احمد فى مسند
Artinya
: ‘Abdullah telah bercerita kepada kami , bapakku ( Ahmad bin Hanbal ) telah
bercerita kepadaku, Yahya bin Ishaq telah bercerita kepada kami, Ibnu Luhai’ah
telah bercerita kepada kami, dari Yazid
bin Abi ‘Amir, ia berkata ,, aku telah mendengar Rasullullah saw. bersabda : “orang Islam
adalah saudara sesama orang islam, tidak halal bagi orang islam menyembunyikan
cacat barang dagangan kepada saudaranya, jika ia mengetahuinya maka ia
meninggalkanya”.
Juga
terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal
juz 12 nomor hadits 15955, sebagai berikut :
حدثنا (أبو القاسم هبةالله بن
محمد بن عبدالواحد بن أحمد بن الحصين الشيبان) أبوالنضر قال ثنا ابو جعفر يعني
الرازى عن يزيد ابن أبي مالك قال ثنا ابو سباغ قال استريت ناقة من دارواثلة بن الأ
سقع,فلما خرجة بها ادركنا وا ثلة وهو يجرّ رداء ه فقال يا عبدالله : استريت؟ قلت : نعم قال هل بين
لك ما فيها قلت وما فيها قال انها لسمينة ظا هرة الصّحة قال فقال اردت بها سفرا ام
اردت بها لحما قلت بل اردت عليها الحج قال فانا بخفها نقبا قال فقال صاحبها أصلحك
الله ايّ هذا تفسد عليّ قال انّي سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم يقول : لا يحل
لأ حد يبيع شيأ الاّ بيّن ما فيه ولا يحل لمن يعلم ذالك الاّ بيّنه. رواه احمد في
مسنده
b. Menggunakan
sebagian kata dari matn
Ø Melalui
kata ﺃﺥﺍلمسلم المسلم dan kata ,باع dalam Al-Mu’jam al-Mufahras li alfaazh al
hadits an-Nabawi, hadits tersebut terdapat dalam sunan Ibnu Majah kitab at-Tijaarah
bab man baa’a ‘aiban falyubayyinhu.
Ø Demikian
juga melalui kata, لا يحل hadits
tersebut ditemukan dalam Shahih Bukhari kitaab al-Buyuu’ bab 19 tentang
“ Idzaa bayyyana al-bayyi’aani wa lam yakrumaa wa nashahaa, sebagai
berikut :
ويذكر عن العداء بن خالد ،
قال كتب لى النبى صل الله عليه وسلم هذاما اشترى محمد رسول الله صل الله عليه وسلم
من العداء بن خالد بيع المسلم لاداء ولاخبثة ولا غائلة ، وقال
قتادة الغائلة الزّنا والرسقة والاباق * وقيل لإبراهيم ان بعض النخا سين يسمى ارىّ
خراسان وسجستان فيقول جاء امس من خراسان جاء اليوم من سجستان ، فكرهه كراهية شديدة
، وقال عقبة بن عامر لايحلّ لأمرئٍ بيع سلعةً يعلمُ انّ بهاداء ، الاّ اخبره
حدثنا سليمان بن حرب حدثنا
شعبة عن قتادة عن صالح أبي الخليل عن عبد الله بن الحارث رفعه إلى حكيم بن حزام رضي
الله عنه قال :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم البيعان بالخيار ما لم يتفرقا أو قال
حتى يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما
رواه البخري في صحيحه في
كتا ب البيوع با ب اذا بين البيعا ن ولم يكتما ونصحا ( 3-10)
c. Menggunakan
kata Pertama Matn Hadits
Dengan
menggunakan kata pertama dari matn hadits , yaitu sebagaimana dalam kitab Al-Jaami’ush
– Shaghiir karya As-Suyuthi , bahwa hadits tentang larangan menyembunyikan
cacat barang dagangan riwayat Ibnu Majah diatas selain bersumber dari sahabat
‘Uqbah bin ‘Amir, juga dari Watsilah bin al-Asqa’ dengan nilai hasan,
sebagaimana menggunakan topik Hadits berikut ini.
d. Menggunakan
Topik Hadits
Dalam
kitab miftaah Kunuuzis – Sunnah karya AJ Wensinck seperti juga al-Mufahras
li Alfash al-hadits an-Nabawi dalam klasifikasi,
hadits tersebut terdapat dalam Sunan Ibnu Majah kitaab at-Tijaarah bab man
ba’a ‘aiban falyubayyinhu seperti tersebut diatas.
Kecuali itu , Ibnu juga mempunyai riwayat lain ,
yaitu dari sahabat watsilah bin al-Asqa’, seperti berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الضَّحَّاكِ
حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ يَحْيَى عَنْ مَكْحُولٍ
وَسُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ بَاعَ عَيْبًا لَمْ يُبَيِّنْهُ
لَمْ يَزَلْ فِي مَقْتِ اللَّهِ وَلَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تَلْعَنُهُ
Berdasarkan hasil takhriij hadits di atas , maka
hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibnu Majah
terdapat pada:
Ø Shahih
Bukhari kitaab al-buyuu’ bab 19 tentang “Idzaa bayyana al-bayyi’aani wa lam
yakyumaa wa nashahaa” dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir,
Ø Musnad
Ahmad bin Hanbal juz 13 nomor hadits 17382 dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir dan
juz 12 nomor hadits 15955 dari Watsilah bin al-Asqa’,
Ø Sunan
Ibnu Majah kitab at-Tijaarah bab man baa’a ‘aiban falyubayyinhu nomor hadits
2247 dari sahabat Watsilah bin Asqa’.
3. I’tibaar
as-sanad Hadits Riwayat Ibnu Majah tentang Larangan Menyembunyikan Cacat
Barang Dagangan.
Untuk
kepentingan mencari riwayat hadits yang berstatus sebagai syaahid maupun
sebagai mutaabi’, maka berikut ini dikemukakan skema sanad, baik khusus dari
Ibnu Majah maupun secara lengkap bersama dengan riwayat-riwayat yang lain, dan
urutan sanad dan periwayat hadits riwayat Ibnu Majah di atas sebagai berikut :
a. Skema
sanad Hadits Riwayat Ibnu Majah
Tentang
Larangan Menyembunyikan Cacat Barang Dagangan
المسلم أخو المسلم لا يحل المسلم باع
من أخيه بيعا فيه عيب الا بيه له
|
رسول الله صل الله
عليه وسلم يقول
|
عقبة بن ثامر: ثمعت
|
عبد الرحمن بن شما سة : عن
|
يزيد بن أبي حبيب : عن
|
يحيى ابن ايوب : يحدث عن
|
ابي : سمعت
|
وحب بن جرير : ثنا
|
محمد بن بشار : ثنا
|
ابن ما جه : حثنا
|
Sedang
secara lengkap bersama dengan riwayat-riwayat yang lain , skema sanad hadits
tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan adalah sebagai berikut:
البخا رى , حد
ثنا
|
(أبو
القاسم هبةالله بن محمد بن عبدالواحد بن أحمد بن الحصين الشيبان)
حد ثنا
|
ابن ما جه , حد
ثنا
|
||
سليمان بن حرب , حدثنا
|
أبو النضر قا ل , ثنا
|
عبدالله , حد ثني
|
عبد الوهاب بن الضحاك , ثنا
|
محمد بن بشار:
حدثنا
|
شعبة , عن
|
أبو جعفر يعني الرزي , عن
|
ابي , حد ثنا
|
بقية بن الوليد , عن
|
وهب بن جرير:
حدثنا
|
قتادة , عن
|
يزيد ابن أبي مالك قا ل , ثنا
|
يحيي بن إ سحا ق , حدثنا
|
معاوية بن يحيى , عن
|
أبى : سمعت
|
صالح أبي الخليل : عن
|
ابو سبا غ قا ل اشتريت نا قة من دار
|
ابن لهيعة , عن
|
مكحول وسليمان بن موسى , عن
|
يحيى ابن ايوب
يحدث عن
|
عبد الله بن الحارث , رفعه إلى
|
وا ثلة وهو يجرّ رداء ه فقال يا عبدالله :
استريت؟قلت : نعم قال هل بين لك ما فيها قلت وما فيها قال انها لسمينة ظا هرة
الصّحة قال فقال اردت بها سفرا ام اردت بها لحما قلت بل اردت عليها الحج قال
فانا بخفها نقبا قال فقال صاحبها أصلحك الله ايّ هذا تفسد عليّ قال انّي سمعت
|
يزيد بن أبي حبيب , عن
|
واثلة بن الْأَسقع , قال,سمعت
|
يزيد بن أبي حبيب : عن
|
حكيم بن حزام رضي الله عنه قال
|
رسول الله صلى الله عليه وسلم ,
يقول
|
ابن شماسة , عن
|
رسول الله صلى الله عليه وسلم ,
يقول
|
عبد الرحمن بن شماسة : عن
|
قا ل رسول الله صلى
الله عليه وسلم
|
لا يحل لأ حد يبيع شيأ الاّ بيّن ما فيه ولا يحل
لمن يعلم ذالك الاّ بيّنه
|
عقبة بن عامر قا ل
|
من باع عيبا لم يبيِنه لم يزل في مقت اللَه ولَم
تَزل الملَائكة تلعنه
|
عقبة بن عا مر.قال سمعت
|
البيعان بالخيار ما لم
يتفرقا أو قال حتى يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا
محقت بركة بيعهما
|
|
قا ل رسول الله صلى
الله عليه وسلم
|
|
رسول الله صلى الله عليه وسلم ,
يقول
|
|
|
المسلم اخو المسلم لا يحل لأ مر ئ مسلم أن يغيب
ما بسلعته عن أخيه إ ن علم بها تركها
|
|
المسلم أخ المسلم لا يحلّ لمسلم باع من أخيه
بيعا فيه عيب
إ لاّ بينه له
|
b. Urutan
Sanad dan periwayat Hadits Ibnu Majah tentang Larangan Menyembunyikan cacat
Barang Dagangan
No
Urut
|
Nama
Periwayat
|
Status
Dalam Periwayatan
|
Metode
Periwayatan
|
1.
|
Ibnu
Majah
|
Mukharij/periwayat
terakhir
|
Hadatsanaa
|
2.
|
Muhammad
bin Baysyar
|
Sanad ke-1/periwayat
ke-7
|
Tsanaa
|
3.
|
Wahb
bin Jarir
|
Sanad ke-2/periwayat
ke-6
|
Tsanaa
|
4.
|
Abi
|
Sanad ke-3/periwayat
ke-5
|
Sami’tu
|
5.
|
Yahya
bin Ayyub
|
Sanad ke-4/periwayat
ke-4
|
‘An
|
6.
|
Yazid
bin Abi Habi
|
Sanad ke-5/periwayat
ke-3
|
‘An
|
7.
|
‘Abdur Rahman bin
Syumsamasah
|
Sanad ke-6/periwayat
ke-2
|
‘An
|
8.
|
‘Uqbah
bin ‘Amir
|
Sanad ke-7/periwayat
ke-1
|
Sami’tu
|
4. Biografi Periwayat Hadits Ibnu Majah Larangan
Menyembunyikan Cacat Barang Dagangan
a. ‘Ubah bin ‘Amir (-58 H) : Sami’tu
Nama asli beliau adalah ‘Uqbah bin ‘Amir ‘Abs bin
‘Amr bin ‘Ady bin ‘Amr bin Rifa’ah bin Mauda’ah bin ‘Ady bin Ghanm bin Riba’ah
bin Rusydan bin Qais bin Juhainah, dengan julukan (laqb) al-juhani dan kuniyah
Abu Hamad , Abu Su’ad, Abu ‘Amir, Abu ‘Amr, Abu ‘Abs, atau Abu al-aswad.
Diantara gurunya dalam hal hadits adalah Nabi saw,dan Umar. Sedang diantara
muridnya adalah Ibnu ‘Abbas dan ‘Abdur Rahman bin Syumamah.
Menurut penuturan Abu Sa’id bin Yunus , ia adalah
sahabat dekat Nabi saw.yang ahli dalam qira’ah, fara’idi dan fikh serta sair.
Ia tergolong sahabat yang terdahulu masuk islam dan melakukan hijrah serta
termasuk sahabat yang termasuk mengimpun Al-Qur’an.
b. ‘Abdur Rahman bin Syumasah (-101H) : ‘an : Tingkat
ke-3
Nama lengkap beliau adalah ‘Abdur Rahman bin
Syumasyah bin Dzi’b bin Ahwar, dengan nama julukan al-Mahri al-Mishri dan nama
kuniyah Abu ‘Amr. Diantara gurunya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash,
Abdullah bin Umar dan ‘Uqbah bin Amir ,sedang diantara muridnya adalah Ka’ab
bin ‘Alqamah at Tanukhi dan Yazid bin Abu Hubaib.
Menurut al-‘Ijli , ia adalah seorang tabi’in Mesir
yang istiqah pada tingkat ke-3, seperti yang disebutkan Ibnu Hibban dalam
ats-Tsiqat. Menurut Ibnu Hajjar, bahawa Bukhari pernah meriwayatkan hadits
secara mu’allaq darinya pada bagian awal kitab al-buyuu’, yaitu hadits :
لا
يحل لاء مرئ يبع سلعة يعلم بها داء الاّ أخبر به
Yang
kemudian dimaushulkan oleh Ibnu Majjah.
c. Yazid bin Abi Hubaib (53-128) :’an
Nama lengkap beliau adalah Yazib bin Abu Hubayb :
Suwayd maula Abu Raja’ , dengan nama julukan al-azdi al-misri. Diantara gurunya
adalah , Abdullah bin al-Harits bin Jaz’az –zubaidi dan Abdurrahman bin
Syumamah. Sedang diantara muridnya adalah Sulayman al-Taimi dan yang lain . menurrut Ibnu Hibban , Abu Zur’ah, al-‘Ijli
dan Abu Sa’ad menilai istiqah dan banyak haditsnya.
d. Yahya bin Ayyub (-168 H) :’an
Nama lengkap adalah ‘Yahya binAyyub , dengan julukan
al-Ghafiqi al-Mishri, dan nama kuniyahnya Abu al-‘Abbas. Diantara gurunya
adalah Humayd al-Tawil dan Yazid bin Abu Hubayb. Sedang diantara muridnya
adalah gurunya sendiri, yitu Ibn Juraij dan bin Hazim.
Dia adalah periwayat yang tsiqat shaduuq kata Ibn
Abi Hatim dan al-Saji namun haditsnya tidak dapat dibuat Hujjah. Bahkan
al-‘Uqayli menggolongkan diantara para periwayat yang dla’if dan Ibn Sa’ad
menilainya sebagai orang yang diingkari Haditsnya (munkar al-hadits). Murah
menilai hafalannya tidak kuat, dan sebagian haditsnya terdapat kekacauan
(idlthirab) kata al-daruqutni. Bahkan Imam Ahmad da al-Hakim menilai
kesalahanya banyak. Berlawanan dengan penilaian itu semua, ternyata Ibn Syahin
menilainya periwayat yang disepakati kestiqatanya, demikian juga al-Ajli.
e. Bapakku (Jarir) (-170/175) : sami’tu
Nama lengkapnya adalah Jarir bin Hazim bin ‘Abdullah
bin Shuja’, dengan julukan al-Azdi al-‘Atki atau al-Jahdami dan nama kuniyah
adalah Abu al-Nadr. Diantara gurunya adalah Abu al-thufail, abu Raja’ al-
‘Ataridi dan lainya. Sedang diantara muridnya adalah dua gurunya, yaitu
al-A’mash dan Ayyub serta anaknya yaitu Wahb.
Dia adalah atsbat wa autsaq menurut Ibn Mahdi dan
tsiqah menurut Ibn Ma’in, al-‘Ijli, al-Saji, ahmad bin Shahih, al-Bazzar. Namun
hafalanya pernah bercampur (ikhtilaath) menurut Ibn Sa’ad dan Ibn Mahdi, bahkan
taghayyur sebelum wafat menurut Abu Nu’aim. Ibn Syahin menyatakan, ia adalah
periwayat yang disepakati ke-istiqah-annya dan sedikitpun tidak meriwayatkan
hadits setelah ikhtilath.
f. Wahb bin Jarir (-206H) : haddathana
Nama aslinya adalah Wahb bin Jarir bin Hazim bin
Zaid bin ‘Abdullah bin Syuja’,dengan nama julukan al-azdi al-Bashri al-Haafizh
dan nama kuniyah Abuu al-Abbaas. Diantara gurunya adalah bapaknya sendiri yaitu
Jarir , ‘Ikrimah dan lainya. Sedang diantara muridnya adalah Ahmad bin Hambal
dan lainya.
Wahb adalah periwayat yang boleh diambi haditsnya
(yuktab haditsuh) menurut Ahmad, shaalih al-Hadits menurut usman, tsiqah
menurut Ibn Hibban meskipun pernah salah dan atsbat menurut Ahmad bin Mansur.
Bahkan al-‘ajli menyatakan disepakati ke-tsiqah-annya.
g. Muhammad bin Basysyar (-252H) : haddathana
Nama asalnya adalah Muhammad bi Bashar bin ‘Usman
bin Dawud bin Kaysan, dengan nama julukan al-‘Abdy al-Bashri Bandar al-Haafizh
dan nama kuniyah Abbu Bakar. Diantara gurunya adalah ‘Abd al-Wahhab al-tsaqafi,
Ghandar dan lainnya. Sedan
diantar muridnya adalah sekelompok imam hadits, Abu zur’ah dan lainnya.
Al-ajli menilai telah disepakati ke-tsiqah-annya,
bahkan tsiqah masyhuur kata Ibn al-mahrani, tidak tercela dan tidak dinilai
dla’if kata Ibn Ma’in, dan shaduuq kata Abu Hatim.menurut Ibn Hibban dalam
al-stiqaat ; termasuk haafizh al-atsbat meurut al-Daruqutni : bahkan al-Bukhari
pernah menerima hadits musnad darinya secara kitaabah.
h. Ibn majah (209-275H) : haddathana
Nama asalnya adalah Muhammad bin yazid al-rab’I :
mawla, dengan nama julukan al-Qizwayni al-haafizh dan nama kuniyah Abbu
‘Abdullah Ibn Majah. Diantara gurunya adalah para ulama khusaran dan Negara
lainnya. Sedang diantara muridnya adalah Ali bin Abdullah al-Ghadani.
Menurut al-Khalili , Ibn Majah adalah periwayat
tsiqah muttafaq ‘alayh, muhtajj bih, dan haafizh.
5. Data Hadits Syaahid dan Mutaab
Berdasarkan
data pelacakan hadits dan skema sanad secara keseluruhan diatas, hadits ini
mempunyai dua syahid, yaitu dari riwayat Hakim bin Hizam yang menjadi jalur
al-Bukhari sebagaimana dalam kitab shahih nya dan riwayat watsilah bin al-Asqa’
yang menjadi jalur Ibn Majah sebagaimana dalam kitab sunnan nya.
Pada
shahih Bukhari, hadits itu diriwayatkan dari sulayman bin Harb dari Shu’bah
dari Qatadah dari Salih Abu al-Khalil dari Abdullah bin al-Harith yang di
marfu’kan kepada Hakim bin Hizam. Berdasarkan riwayat al-Bukhari itu, Hadits
yang diteliti ini juga diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam, selain juga oleh
‘Uqbah bin ‘Amir.
Pada
Sunan Ibn Majah, hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Abd al-Wahhab bin al-Dahhak
dari Baqiyyat bain al-Walid dan Mu’awiyah bin yahya dari Makhul dan Sulaiman
bin Musa dari Watsilah bin al-Asqa’. Jadi , sebenarnya Ibnu Majah juga
menyebutkan hadits shahih nya , yaitu dari watsilah bin al-Asqa’ , hanya saja
sanadnya mengandung tadlis.
Sedangkan
mutabi’nya adalah riwayat Imam Ahmad, sebagaimana dalam musnadnya melali sanad
dari Abdullah dari bapaknya dari yahya bin ishaq dari ibnu Luhay’ah dari Yazid
bin Abu Habib dari Ibnu Syumasah (Syumamah) dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dengan
dengan matn berbeda namun maknanya sama dengan riwayat Ibnu Majah.
Jika
riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dibandingkan, maka mutabi’ hadits ini adalah
‘Abdullah dari bapaknya dari Yahya bin Ishaq dari Ibnu Luhay’ah, yang akan
bertemu pada Yazid bin Abu Habib hingga ke atas.
Dalam
kitab-kitab fikih, misalnya al-fiqih al-islaami wadillatuh karya Wahhab
al-Zuhayli, disebutkan bahwa hadits tentang menyembunyikan cacat barang
dagangan itu diriwayatkan oleh Ahmad , Ibnu Majah, al-Daruquthni, al-Hakim, dan
al-Thabari dari ‘Uqbah bin ‘Amir.
Analisis Kualits Hadits
Dalam menentukan
kualitas hadits, terlebih dahulu perlu diperhatikan kriteria hadits shahih,
sebagaimana disepakati mayoritas ulama, yaitu hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh para periwayat yang ‘adil dan dlaabith dari awal hingga akhir
sanad, tidak terdapat kejanggalan (syuudzuudz) dan cacat (‘illat).
Anallisis ini
meliputi persambungan sanad, keadilan dan ke dlaabith an periwayat( tsiqah) ,
sekaligus berguna dalam menganalisis ada tidaknya syadzdz dan illat. Berikut
dilakukan analisis secara berturut-turut sesuai dengan urutan periwayat dalam
sanad hadits riwayat Ibnu Majah.
a. ‘Uqbah bin ‘Amir (-58H) : sami’tu
Berdasarkan
biografinya diatas, maka persambungan sanad dengan gurunya, yaitu Rasulullah
saw.dapat diketahui berdasarkan ungkapan yang digunakan dalam menerima dan menyampaikan
riwayat, yaitu sami’tu, yang berarti mendengar langsung. Dengan demikian, telah
terjadi pertemuan dengan Rasul.
Keadilannya
dapat ditetapkan berdasarkan sebuah teori, bahwa “semua sahabat dinilai adil”
sebagaimana “ijmak mayoritas ulama” meskipun menurut penelitian syuhudi
dalilnya tidak cukup kuat, maka ‘Uqbah bin’Amir adalah periwayat yang adi.
Karena tidak ditemukan sifat yang merusak keadilannya berdasarkan data
biografinya itu.
Tentang
ke dlaabith-anya tidak ditemukan data yang jelas, hanya ia ahli dalam berbagai
ilmu. Karena itu, dapat diketahui bahwa ia adalah dlaabith. Dengan demikian,
telah terjadi hubungan langsung antara dia dengan gurunya dan ia adalah
periwayat yang tsiqah (adil dan dlaabith).
b. ‘Abd al-Rahman bin Shumamah (-101H) :’an
Pada
biografinya diatas , ia tidak pernah melakukan tadlis, meskipun dalam
periwayatanya digunakan ungkapan ‘an. Ia dimungkinkan terjadi hubungan kesezamanan
dengan gurunya, yaitu ‘Uqbah bin ‘Amir, karena terjadi kedekatan usia wafat
keduanya yaitu tahun 58-100 H.
Biografi
itu menunjukkan, bahwa ‘Abd al-Rahman bin Syumamah tergolong periwayat dari
kalangan taabi’in yang tsiqah meskipun pernah meriwayatkan hadits secara
mu’allaq namun kemudian di mawshulkan oleh Ibnu Majah, seperti dalam penelitian
ini. Berdasarkan analisa itu, dapat diketahui bahwa ‘Abd al-Rahman adalah
periwayat yang tsiqah dan terjadi hubungan kesezamanan (mu’aasharah ) dengan
periwayat sebelumnya.
c. Yazid bin Abi Habib (-128H) :’an
Penilaian
terhadap dirinya seperti pada biografi itu membuktikan, bahwa Yazid bin Habib
tetap dinyatakan tsiqah. Sedangkan persambungan sanad antara dia dengan gurunya
dapat dilihat dari adanya kesezamanan hidup keduanya, yaitu tahun 100 dengan
tahun 128H, yang hanya selisih 28 tahun , meskipun ungkapan periwayatnya
digunakan ‘an.
d. Yahya bin Ayyub (-168H) :’an
Data
biografinya itu menunjukan terjadinya pertentangan dalam menilainya, antara
adil (al-ta’diil) dengan tercela (al-jarh). Dalam hal seperti itu, harus
didahulukan penilaian tentang ketercelaan dari pada keadilannya (al-jarh
muqaddamun ‘ala al-ta’diil, idzaa fussira bih ), menurut kebanyakan ulama
hadits, karena kritik tentang ketercelaan itu lebih detail daripada kritik
tentang keadilanya. Oleh krena itu, dapat dinyatakan bahwa ia adalah periwayat
yang tidak adil.
Data
tentang hafalannya juga menunjukkan , bahwa dlaabith nya tidak kuat, pada
sebagian haditsnya terdapat kekacauan (idlthiraab) dan kadang hafalannya cacat
bahkan banyak kesalahannya. Data itu membuktikan , bahwa ia tidak dlaabith,
meskipun masih dimungkinkan menjadi hubungan kesezamanan atau pertemuan dengan
gurunya sekitar 40 tahun berdasarkan pada tahun wafat keduannya.
e. Bapak ku (Jarir) (-175H) : sami’tu
Melihat
ungkapan penerimaan dan penyampaiannya, yaitu sami’tu, maka sangat dimungkinkan
bertemu dengan Yahya bin Ayyub, sehingga nilai sanadnya adalah muttashil,
meskipun melihat usia keduanya hanya selisih 7 tahun lebih muda.
Beberapa
penilaian diatas menunjukkan, bahwa sebenarnya ia adalah periwayat yang ‘adil
dan dlaabith, sehingga ia sebagaiperiwayat yang tsiqah. Tentang hafalanya yang
ikhtilath dan taghayyur, itu terjadi menjelang wafatnya, sehingga ketika itu
dia tidak lagi meriwayatkan hadits. Data-data itu menunjukkan, bahwa ia
periwayat yang tsiqah.
f. Wabh bin Jarir (-206H) : haddatsanna
Mencermati
ungkapan periwayatnya, yaitu hadatsanna dan usia keduannya, yaitu selisih 31
tahun, maka dapat dinyatakan bahwa Wahb bin Jarir dimungkinkan sekali
berhubungan langsung dengan bapaknya. Tentang keadilanya rupanya ia populer
dikalangan kritikus hadits sebagai orang yang tsiqah yang boleh dipegangi
haditsnya.
g. Muhammad bin Basysyar ( -252H) : haddatsanna
Seperti
periwayat sebelumnya, ia meriwayatkan dengan ungkapan haddathana yang berarti
membuktikan adanya hubungan antara keduanya . lebih dari itu, selisih usia dia
dengan gurunya selama 46 tahun , yang juga membuktikan pertemuan keduanya.
Penilaian
para ahli tentang keadilanya membuktikan , bahwa ia adalah periwayat yang adil.
Dengan demikian, Muhammad bin Basysyar adalah periwayat yang tsiqah dan bersambung
dengan sannad sebelumnya.
h. Ibn Majah (209-275 H) : haddastannaa
Dia
dimungkinkan berhubungan dengan gurunya, lantaran ungkapan yang dipakai, yaitu
haddastanna da selisih usia kesezamanan.
Beberapa
analisis di atas dapat dinyatakan , bahwa dari segi sannad dan hadits,
masing-masing periwayat telah terjadi pertemuan langsung (liqaa’) atau hubungan
kesezamanan (mu’asaharah). Dengan demikian, sanad hadits ini adalah muttashil
dari awal hingga akhir (marfu’muttashil).
Namun
masalah keadilan dan kedlabithan para periwayat dapat dinyatakan, terdapat 6
periwayat yang tsiqah, meskipun seorang diantaranya menempati tingkat
ke-tsiqah-an yang rendah karena haditsnya hanya dapat dibuat hujjah , yaitu
Wahb bin Jarir, dan terdapat seorang yang meriwayatkan hadits mu’allaq yang
kemudian di mawshul-kan Ibnu Majjah, yaitu ‘Abd al-Rahman bin Syumasyah.
Selain
it terdapat satu periwayat yang tidak adil dan tidak dlaabith, yaitu Yahya bin
Ayyub yang hafalanya idlthiraab dan banyak salahnya. Dengan demikian, meskipun
sanad hadits ini muttashil, namun terdapat beberapa periwayat yang tidak tsiqah
lantaran ke-dlaabith-annya, maka hadits ini dari segi sanad bernilai dla’if.
Seperti
telah disebutkan diatas bahwa hadits riwayat Ibnu Majah ini mempunyai syaahid,
yaitu riwayat Imam Ahmad dari ibnu Luhay’ah yang bertemu pada yazid bi abu
habib sampai dengan sahabat ‘Uqbah bin ‘amir, maka kesimpulanya tentang
kualitas hadits diatas masih dapat berubah. Lebih dari itu, data hadits syaahid
juga terdapat dalam riwayat al-Bukhari dari sahabat hakim bin hizam, meskipun
dengan redaksi yang tidak sama.
Hadits
tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibnu Majah ini
diriwayatkan oleh tiga orang sahabat. Pertama oleh sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir
yang menjadi sannad Ibnu Majah dalam satu riwayatnya dan Imam ahmad. Kedua,
sahabat Watsilah bin al-Asqa’ yang menjadi sanad Ibnu Majah juga dalam
riwayatnya yang lain. Ketiga, sahabat Hakim bin hizam yang menjadi sanad
al-Bukhari,meskipun dengan redaksi yang berbeda dengan Ibnu Majah dan Imam
Ahmad.
Berdasarkan
data-data itu, maka hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan menyembunyikan
cacat barang dagangan ini dapat diangkat dari dla’if menjadi hasan. Kesimpulan
ini sejalan dengan penilaian al-‘Ayni, bahwa hadits ini bernilai Hasan Gharib.
Kandungan hukum dalam
Hadits (Fiqh al-Hadits)
1. Makna kosakata
Kata
“la Yahlil” pada awal matn Hadits itu , menunjukkan haramnya menyembunyikan
cacat barang dagangan dan keharusan menjelaskannya pada pembeli.
Kata
“li muslim “ tidak berarti membatasi larangan menyembunyikan cacat itu ketika
membeli sesame orang islam saja, tetapi dengan non muslim juga dilarang
menyembunyikannya, karena larangan itu sedah merupakan bai’at orang islam untuk
tidak menipu sesame orang islam yang lainnya. Karena banyak hadits yang tidak
melarang bermuamalah dengan orang yahudi atau non muslim.
Kata
“ayb” : “daa” , khibtsah , dan ghaa’ilah, kesemuanya berarti cacat yang
terdapat pada barang dagangan. Makna kosa kata itu seperti tersebut dalammatan
hadits riwayat al-Bukhari. Tiga kata itu menunjukkan pada arti kerusakan ,
kecacatan , keharaman yang terdapat pada barang dagangan yang harus ditunjukkan
pada pembeli. Atau berarti cacat budak yang berupa penyakit badan dan akhlak
budak yang jelek, seperti berzina dcan semisalnya.
2. Penjelasan Hadits
a. Penjelasan
global
Secara global hadits riwayat ibnu majah diatas
menjelaskan haramnya menyembunyikan cacatnya barang dagangan dan keharusan
menjelaskanya pada pembeli. Bahkan haram hukumnya menjual barang dagangan yang
mengandung cacat tanpa menjelaskan pada pembeli. Karena cacat barang dagangan
merupakan satu sebab terjadinya khiyar dalam jual beli,yang disebut dengan
khiyar ‘ayb.
b. Hukum
kandungan Hadits
Dalam hadits ini terdapat ketentuan hokum jual beli
barang yang mengandung adanya cacat. Jika akad jual beli telah telah terjadi
dan pembeli telah mengetahui adanya cacat barang, maka jual beli tetap
terlaksana tanpa adanya khiyar bagi pembeli, karena pada dasarnya ia telah
rela. Namun jika mengetahui adanya cacat setelah terjadinya akad, akan tetap
sah tetapi tidak bisa terlaksana dan ia mempunyai hak khiyar (memilih) antara
mengembalikan barang dan meminta kembali uang yang telah dibayarkan atau tidak
mengembalikannya dan hanya meminta kerugian uang senilai cacat yang ada pada
barang itu. Menurut al-Syafi’I, jika seseorang membeli barang lalu menawarkanya
untuk dijual setelah ia mengetahui adanya cacat, maka batal khiyarnya.
Al-zuhayli menyebutkan, bahwa pembeli tetap mempunyai hak milik secara sah terhadap
barang yang mengandung cacat itu, karena rukun jual beli harus bebas dari
persyaratan apapun. Jika ternyata terdapat syarat tidak terdapat cacat barang,
maka akan berpengaruh pada pelaksanaan akad bukan pada hokum asalnya.
Al-Zuhayli menyebutkan banyak Hadits yang menjadi
dasar adanya khiyar ‘ayb, namun yang paling utama adalah hadits ‘Uqbah bin
‘Amir. Dari beberapa hadits itu, ia menyatakan seperti telah dinyatakan sayid
sabiq diatas, bahwa jumhur fuqahaa’ yang juga diikuti Abu Yusuf menetapkan dua jalan
khiyar, yaitu antara tidak mengembalikan barang atau mengembalikannya dengan
meminta ganti rugi yang semestinnya. Sementara Abu Hanifah berpendapat cukup
mengganti cacat barangnya saja.
Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa
larangan menyembunyikan cacat barang dagangan itu meskipun bersifat haram tetap
tidak berpengaruh pada hokum dasar jual beli dan hanya berpengaruh pada sah
tidaknya kepemilikan terhadap barang. Lebih dari itu, jika ternyata barang
dagangan mengandung cacat, upaya menghindarkan kerugian pada pihak pembeli
adalah model khiyaar ‘ayb.
Penutup
Beberapa bahasan
yang berkaitan dengan hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang
dagangan riwayat Ibnu Majah di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas itu adalah
hasan atau hasan Ghariib. Oleh karenanya, berhujjah dengan hadits itu hukumnya
boleh dan rupanya menjadi dasar pembahasan ulama fikih tentang khiyaar ‘ayb,
seperti Syyid sabiq dalam fikih as-sunnnahnya dan Wahhab al-Zuhayli dalam
Al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuh dan selainnya.
0 comments:
Post a Comment