Tuesday, November 27, 2012

TAKHRIJ HADITS RIWAYAT IBNU MAJAH TENTANG LARANGAN MENYEMBUNYIKAN CACAT BARANG DAGANGAN


TAKHRIJ HADITS RIWAYAT IBNU MAJAH TENTANG LARANGAN MENYEMBUNYIKAN CACAT BARANG DAGANGAN
Oleh: Khamim, M. Ag.

Hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan , yang digunakan ulama fiqh untuk mendasri praktik khiyar ‘ayb (hak bagi pembeli untuk melangsungkan atau membatalkan akad jual beli karena cacat barang ), juga merupakan riwayat individu (hadist ahead) , karena hanya diriwayatkan oleh sahabat ‘Uqbah bin Amir.
Penelitian terhadap hadits ini mulai dengan melacak sumber – sumber hadits (takhrij al-hadits). Kemudian meneliti kualitas hadits (tahqiiq al-hadits), meliputi persambungan sanad , keadilan dan kedlabithan periwayat , serta ada tidak nya syadz dan ‘illat. Dari sisi persambungan sanad , sanad hadits ini muttashil , namun dari sisi kualitas periwayat, terdapat beberapa periwayat yang tidak tsiqah lantaran ke dlabith-annya, sehingga dari segi sanad hadits ini bernilai dla’if. Namun ke-dla’if-an hadits ini masih bisa diangkat menjadi hasan . kesimpulan ini sejalan dengan penilaian al-‘Ayni , bahwa hadits ini bernilai hasan ghariib. Berhujjah dengan hadits ini adalah boleh dan memang menjadi dasar pembatasan ulama fiqh tentang khiyaar ‘ayb , seperti sayyid sabiq dalam Fiqh as-sunnah nya , Wahhab al-Zuhayli dalam Al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuh dan selainya.
Kata kunci : Takhrij Hadits, Kualitas Hadits dan Kehujjahan Hadits.

Pendahuluan
Penelitian hadits (tahqiiq al-hadits) merupakan tujuan terpenting dari kegiatan takhrij al-hadits. Menurut al-Thahhan (yang berarti الدلالت  , sebagai makna yang banyak dipakai kalangan ahli hadits ) adalah melacak hadits pada kitab-kitab sumber pokok dan memperjelas nilai nya dengan meneliti sanad dan kualitas para periwayatnya. Kitab –kitab sumber hadits yang dimaksud adalah kutub al-sittah , Muwaththa’ Malik , kitab-kitab musnad , mustadrak , mushanaf dan sunan . demikian juga kitab – kitab jami’ , mustakhraj , athraf dan kitab- kitab selain hadits yang diriwayatkan melalui sanad pengarangnya sendiri , seperti tafsir al-thabari . sedang nilai hadits yang dimaksud adalah shahih , hasan ,dla’if atau bahkan maudlu’ (palsu), menurut al-‘Iraqi , menjelaskan nilai hadits merupakan hadits dan sesuatu yang sangat penting dalam kegiatan takhriij al-hadits.
Hadits yang diteliti dalam tulisan ini adalah hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibn Majah. Permasalahanya adalah , bagaimanakah kualitas sanad dan matannya??. Sehingga bagaimanakah nilai haditsnya ; dan bagaimanakah berhujjah dengannya ??. Melalui kegiatan takhrij al-hadits , tulisan ini mencoba melacak orisinilitas hadits pada kitab-kitab sumber hadits yang dilengkapi dengan sanad-sanad nya, kemudian meneliti kualitas sanan dan matn hadits; yang meliputi persambungan sanad , kualitas para periwayatnya ada tidaknya syadz dan ‘illat pada matnnya ; serta melakukan kegiatan I’tibaar al-sanad guna menemukan hadits-hadits yang berstatus sebagai mutaabi’ dan syaahid. Melalui kegiatan itu, diharapkan dapat diketahui kualitas sanad dan matn hadits yang dimaksud , sehingga didapatkan kejelasan tentang kejelasan tentang penggunaanya sebagai hujjah.

Data Hadits Yang Diteliti
1.      Redaksi Hadits
حدثنا محمد بن بشّاروحدثنا وحب بن جرير حدّثناأبى : سمعت يحيى ابن ايوب يحدث عن يزيد بن أبي حبيب عن عبد الرحمن بن شما سة عن عقبة بن عامر.قال : سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم يقول : "المسلم أخ المسلم لا يحلّ لمسلم باع من أخيه بيعا فيه عيب إ لاّ بينه له"
Artinya : Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami , wahb bin Jarir telah bercerita kepada kami, bapak ku (Jarir) telah berceritaku, aku telah mendengar yahya bin Ayyub bercerita, dari Yazid bin Abi Habib, dari ‘Abdur Rahman bin Syumasah, dari ‘Uqbah bin ‘Amir ; ia berkata, aku telah mendengar Rasullulah saw. bersabda : “ orang islam adalah saudara sesama orang islam, tidak halal bagi orang islam menjual barang dagangan yang mengandung cacat kepada saudaranya, kecuali menjelaskan kepadanya”.

2.      Metode Takhrij Hadits Riwayat Ibnu Majah
Hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibn Majah di atas, di lacak menggunakan metode takhriij al-hadits sebagai berikut:
a.       Menggunaka sahabat periwayat Hadits
Dengan menggunakan nama sahabat periwayat hadits, yaitu ‘Uqbah bin ‘Amir, hadits riwayat Ibn Majah itu di temukan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal juz 13 nomor hadits 17382, sebagai berikut :
حدثن عبدالله حدثني أني,حدثنايحيى بن إ سحاق حدثنا ابن لهيعة عن يزيد بن أبي حبيب عن ابن شماسة عن عقبة بن عا مر قال : قال رسول الله صل الله عليه وسلم : (المسلم اخو المسلم لا يحل لأ مر ئ مسلم أن يغيب ما بسلعته عن أخيه إ ن علم بها تركها) رواه احمد فى مسند
Artinya : ‘Abdullah telah bercerita kepada kami , bapakku ( Ahmad bin Hanbal ) telah bercerita kepadaku, Yahya bin Ishaq telah bercerita kepada kami, Ibnu Luhai’ah telah bercerita  kepada kami, dari Yazid bin Abi ‘Amir, ia berkata ,, aku telah mendengar  Rasullullah saw. bersabda : “orang Islam adalah saudara sesama orang islam, tidak halal bagi orang islam menyembunyikan cacat barang dagangan kepada saudaranya, jika ia mengetahuinya maka ia meninggalkanya”.

Juga terdapat dalam  Musnad Ahmad bin Hanbal juz 12 nomor hadits 15955, sebagai berikut :
حدثنا (أبو القاسم هبةالله بن محمد بن عبدالواحد بن أحمد بن الحصين الشيبان) أبوالنضر قال ثنا ابو جعفر يعني الرازى عن يزيد ابن أبي مالك قال ثنا ابو سباغ قال استريت ناقة من دارواثلة بن الأ سقع,فلما خرجة بها ادركنا وا ثلة وهو يجرّ رداء ه فقال يا عبدالله : استريت؟ قلت : نعم قال هل بين لك ما فيها قلت وما فيها قال انها لسمينة ظا هرة الصّحة قال فقال اردت بها سفرا ام اردت بها لحما قلت بل اردت عليها الحج قال فانا بخفها نقبا قال فقال صاحبها أصلحك الله ايّ هذا تفسد عليّ قال انّي سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم يقول : لا يحل لأ حد يبيع شيأ الاّ بيّن ما فيه ولا يحل لمن يعلم ذالك الاّ بيّنه. رواه احمد في مسنده


b.      Menggunakan sebagian kata dari matn
Ø  Melalui kata ﺃﺥﺍلمسلم المسلم    dan kata ,باع  dalam Al-Mu’jam al-Mufahras li alfaazh al hadits an-Nabawi, hadits tersebut terdapat dalam sunan Ibnu Majah kitab at-Tijaarah bab man baa’a ‘aiban falyubayyinhu.
Ø  Demikian juga melalui kata, لا يحل hadits tersebut ditemukan dalam Shahih Bukhari kitaab al-Buyuu’ bab 19 tentang “ Idzaa bayyyana al-bayyi’aani wa lam yakrumaa wa nashahaa, sebagai berikut :
ويذكر عن العداء بن خالد ، قال كتب لى النبى صل الله عليه وسلم هذاما اشترى محمد رسول الله صل الله عليه وسلم من العداء بن خالد بيع المسلم لاداء ولاخبثة ولا غائلة ،  وقال قتادة الغائلة الزّنا والرسقة والاباق * وقيل لإبراهيم ان بعض النخا سين يسمى ارىّ خراسان وسجستان فيقول جاء امس من خراسان جاء اليوم من سجستان ، فكرهه كراهية شديدة ، وقال عقبة بن عامر لايحلّ لأمرئٍ بيع سلعةً يعلمُ انّ بهاداء ، الاّ اخبره
حدثنا سليمان بن حرب حدثنا شعبة عن قتادة عن صالح أبي الخليل عن عبد الله بن الحارث رفعه إلى حكيم بن حزام رضي الله عنه قال :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم البيعان بالخيار ما لم يتفرقا أو قال حتى يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما
رواه البخري في صحيحه في كتا ب البيوع با ب اذا بين البيعا ن ولم يكتما ونصحا ( 3-10)

c.       Menggunakan kata Pertama Matn Hadits
Dengan menggunakan kata pertama dari matn hadits , yaitu            sebagaimana dalam kitab Al-Jaami’ush – Shaghiir karya As-Suyuthi , bahwa hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibnu Majah diatas selain bersumber dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, juga dari Watsilah bin al-Asqa’ dengan nilai hasan, sebagaimana menggunakan topik Hadits berikut ini.
d.      Menggunakan Topik Hadits
Dalam kitab miftaah Kunuuzis – Sunnah karya AJ Wensinck seperti juga al-Mufahras li Alfash al-hadits an-Nabawi dalam klasifikasi,                                            hadits tersebut terdapat dalam Sunan Ibnu Majah kitaab at-Tijaarah bab man ba’a ‘aiban falyubayyinhu seperti tersebut diatas.
Kecuali itu , Ibnu juga mempunyai riwayat lain , yaitu dari sahabat watsilah bin al-Asqa’, seperti berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الضَّحَّاكِ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ يَحْيَى عَنْ مَكْحُولٍ وَسُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ بَاعَ عَيْبًا لَمْ يُبَيِّنْهُ لَمْ يَزَلْ فِي مَقْتِ اللَّهِ وَلَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تَلْعَنُهُ
Berdasarkan hasil takhriij hadits di atas , maka hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibnu Majah terdapat pada:
Ø  Shahih Bukhari kitaab al-buyuu’ bab 19 tentang “Idzaa bayyana al-bayyi’aani wa lam yakyumaa wa nashahaa” dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir,
Ø  Musnad Ahmad bin Hanbal juz 13 nomor hadits 17382 dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir dan juz 12 nomor hadits 15955 dari Watsilah bin al-Asqa’,
Ø  Sunan Ibnu Majah kitab at-Tijaarah bab man baa’a ‘aiban falyubayyinhu nomor hadits 2247 dari sahabat Watsilah bin Asqa’.

3.      I’tibaar as-sanad Hadits Riwayat Ibnu Majah tentang Larangan Menyembunyikan Cacat Barang Dagangan.
Untuk kepentingan mencari riwayat hadits yang berstatus sebagai syaahid maupun sebagai mutaabi’, maka berikut ini dikemukakan skema sanad, baik khusus dari Ibnu Majah maupun secara lengkap bersama dengan riwayat-riwayat yang lain, dan urutan sanad dan periwayat hadits riwayat Ibnu Majah di atas sebagai berikut :






a.       Skema sanad Hadits Riwayat Ibnu Majah
Tentang Larangan Menyembunyikan Cacat Barang Dagangan

المسلم أخو المسلم لا يحل المسلم باع من أخيه بيعا فيه عيب الا بيه له
رسول الله صل الله عليه وسلم يقول
عقبة بن ثامر: ثمعت
عبد الرحمن بن شما سة : عن
يزيد بن أبي حبيب : عن
يحيى ابن ايوب : يحدث عن
ابي : سمعت
وحب بن جرير : ثنا
 محمد بن بشار : ثنا
 ابن ما جه : حثنا
 




















Sedang secara lengkap bersama dengan riwayat-riwayat yang lain , skema sanad hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan adalah sebagai berikut:

البخا رى , حد ثنا
(أبو القاسم هبةالله بن محمد بن عبدالواحد بن أحمد بن الحصين الشيبان)
 حد ثنا
ابن ما جه , حد ثنا
سليمان بن حرب , حدثنا
أبو النضر قا ل , ثنا
عبدالله , حد ثني
عبد الوهاب بن الضحاك , ثنا
محمد بن بشار:
حدثنا
شعبة , عن
أبو جعفر يعني الرزي , عن
ابي , حد ثنا
بقية بن الوليد , عن
وهب بن جرير:
حدثنا
قتادة , عن
يزيد ابن أبي مالك قا ل , ثنا
يحيي بن إ سحا ق , حدثنا
معاوية بن يحيى , عن
أبى : سمعت
صالح أبي الخليل : عن
ابو سبا غ قا ل اشتريت نا قة من دار
ابن لهيعة , عن
مكحول وسليمان بن موسى , عن
يحيى ابن ايوب
يحدث عن
عبد الله بن الحارث , رفعه إلى
وا ثلة وهو يجرّ رداء ه فقال يا عبدالله : استريت؟قلت : نعم قال هل بين لك ما فيها قلت وما فيها قال انها لسمينة ظا هرة الصّحة قال فقال اردت بها سفرا ام اردت بها لحما قلت بل اردت عليها الحج قال فانا بخفها نقبا قال فقال صاحبها أصلحك الله ايّ هذا تفسد عليّ قال انّي سمعت
يزيد بن أبي حبيب , عن
واثلة بن الْأَسقع , قال,سمعت
يزيد بن أبي حبيب : عن
حكيم بن حزام رضي الله عنه قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم , يقول
ابن شماسة , عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم , يقول
عبد الرحمن بن شماسة : عن
قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم
لا يحل لأ حد يبيع شيأ الاّ بيّن ما فيه ولا يحل لمن يعلم ذالك الاّ بيّنه
عقبة بن عامر قا ل
من باع عيبا لم يبيِنه لم يزل في مقت اللَه ولَم تَزل الملَائكة تلعنه
عقبة بن عا مر.قال سمعت
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا أو قال حتى يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما

قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم

رسول الله صلى الله عليه وسلم , يقول


المسلم اخو المسلم لا يحل لأ مر ئ مسلم أن يغيب ما بسلعته عن أخيه إ ن علم بها تركها

المسلم أخ المسلم لا يحلّ لمسلم باع من أخيه بيعا فيه عيب
إ لاّ بينه له

b.      Urutan Sanad dan periwayat Hadits Ibnu Majah tentang Larangan Menyembunyikan cacat Barang Dagangan
No Urut
Nama Periwayat
Status Dalam Periwayatan
Metode Periwayatan
1.
Ibnu Majah
Mukharij/periwayat terakhir
Hadatsanaa
2.
Muhammad bin Baysyar
Sanad ke-1/periwayat ke-7
Tsanaa
3.
Wahb bin Jarir
Sanad ke-2/periwayat ke-6
Tsanaa
4.
Abi
Sanad ke-3/periwayat ke-5
Sami’tu
5.
Yahya bin Ayyub
Sanad ke-4/periwayat ke-4
‘An
6.
Yazid bin Abi Habi
Sanad ke-5/periwayat ke-3
‘An
7.
‘Abdur Rahman bin Syumsamasah
Sanad ke-6/periwayat ke-2
‘An
8.
‘Uqbah bin ‘Amir
Sanad ke-7/periwayat ke-1
Sami’tu

4.      Biografi Periwayat Hadits Ibnu Majah Larangan Menyembunyikan Cacat Barang Dagangan
a.      ‘Ubah bin ‘Amir (-58 H) : Sami’tu
Nama asli beliau adalah ‘Uqbah bin ‘Amir ‘Abs bin ‘Amr bin ‘Ady bin ‘Amr bin Rifa’ah bin Mauda’ah bin ‘Ady bin Ghanm bin Riba’ah bin Rusydan bin Qais bin Juhainah, dengan julukan (laqb) al-juhani dan kuniyah Abu Hamad , Abu Su’ad, Abu ‘Amir, Abu ‘Amr, Abu ‘Abs, atau Abu al-aswad. Diantara gurunya dalam hal hadits adalah Nabi saw,dan Umar. Sedang diantara muridnya adalah Ibnu ‘Abbas dan ‘Abdur Rahman bin Syumamah.
Menurut penuturan Abu Sa’id bin Yunus , ia adalah sahabat dekat Nabi saw.yang ahli dalam qira’ah, fara’idi dan fikh serta sair. Ia tergolong sahabat yang terdahulu masuk islam dan melakukan hijrah serta termasuk sahabat yang termasuk mengimpun Al-Qur’an.
b.      ‘Abdur Rahman bin Syumasah (-101H) : ‘an : Tingkat ke-3
Nama lengkap beliau adalah ‘Abdur Rahman bin Syumasyah bin Dzi’b bin Ahwar, dengan nama julukan al-Mahri al-Mishri dan nama kuniyah Abu ‘Amr. Diantara gurunya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Abdullah bin Umar dan ‘Uqbah bin Amir ,sedang diantara muridnya adalah Ka’ab bin ‘Alqamah at Tanukhi dan Yazid bin Abu Hubaib.
Menurut al-‘Ijli , ia adalah seorang tabi’in Mesir yang istiqah pada tingkat ke-3, seperti yang disebutkan Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat. Menurut Ibnu Hajjar, bahawa Bukhari pernah meriwayatkan hadits secara mu’allaq darinya pada bagian awal kitab al-buyuu’, yaitu hadits :
لا يحل لاء مرئ يبع سلعة يعلم بها داء الاّ أخبر به
Yang kemudian dimaushulkan oleh Ibnu Majjah.
c.       Yazid bin Abi Hubaib (53-128) :’an
Nama lengkap beliau adalah Yazib bin Abu Hubayb : Suwayd maula Abu Raja’ , dengan nama julukan al-azdi al-misri. Diantara gurunya adalah , Abdullah bin al-Harits bin Jaz’az –zubaidi dan Abdurrahman bin Syumamah. Sedang diantara muridnya adalah Sulayman al-Taimi dan yang lain  . menurrut Ibnu Hibban , Abu Zur’ah, al-‘Ijli dan Abu Sa’ad menilai istiqah dan banyak haditsnya.
d.      Yahya bin Ayyub (-168 H) :’an
Nama lengkap adalah ‘Yahya binAyyub , dengan julukan al-Ghafiqi al-Mishri, dan nama kuniyahnya Abu al-‘Abbas. Diantara gurunya adalah Humayd al-Tawil dan Yazid bin Abu Hubayb. Sedang diantara muridnya adalah gurunya sendiri, yitu Ibn Juraij dan bin Hazim.
Dia adalah periwayat yang tsiqat shaduuq kata Ibn Abi Hatim dan al-Saji namun haditsnya tidak dapat dibuat Hujjah. Bahkan al-‘Uqayli menggolongkan diantara para periwayat yang dla’if dan Ibn Sa’ad menilainya sebagai orang yang diingkari Haditsnya (munkar al-hadits). Murah menilai hafalannya tidak kuat, dan sebagian haditsnya terdapat kekacauan (idlthirab) kata al-daruqutni. Bahkan Imam Ahmad da al-Hakim menilai kesalahanya banyak. Berlawanan dengan penilaian itu semua, ternyata Ibn Syahin menilainya periwayat yang disepakati kestiqatanya, demikian juga al-Ajli.
e.       Bapakku (Jarir) (-170/175) : sami’tu
Nama lengkapnya adalah Jarir bin Hazim bin ‘Abdullah bin Shuja’, dengan julukan al-Azdi al-‘Atki atau al-Jahdami dan nama kuniyah adalah Abu al-Nadr. Diantara gurunya adalah Abu al-thufail, abu Raja’ al- ‘Ataridi dan lainya. Sedang diantara muridnya adalah dua gurunya, yaitu al-A’mash dan Ayyub serta anaknya yaitu Wahb.
Dia adalah atsbat wa autsaq menurut Ibn Mahdi dan tsiqah menurut Ibn Ma’in, al-‘Ijli, al-Saji, ahmad bin Shahih, al-Bazzar. Namun hafalanya pernah bercampur (ikhtilaath) menurut Ibn Sa’ad dan Ibn Mahdi, bahkan taghayyur sebelum wafat menurut Abu Nu’aim. Ibn Syahin menyatakan, ia adalah periwayat yang disepakati ke-istiqah-annya dan sedikitpun tidak meriwayatkan hadits setelah ikhtilath.
f.       Wahb bin Jarir (-206H) : haddathana
Nama aslinya adalah Wahb bin Jarir bin Hazim bin Zaid bin ‘Abdullah bin Syuja’,dengan nama julukan al-azdi al-Bashri al-Haafizh dan nama kuniyah Abuu al-Abbaas. Diantara gurunya adalah bapaknya sendiri yaitu Jarir , ‘Ikrimah dan lainya. Sedang diantara muridnya adalah Ahmad bin Hambal dan lainya.
Wahb adalah periwayat yang boleh diambi haditsnya (yuktab haditsuh) menurut Ahmad, shaalih al-Hadits menurut usman, tsiqah menurut Ibn Hibban meskipun pernah salah dan atsbat menurut Ahmad bin Mansur. Bahkan al-‘ajli menyatakan disepakati ke-tsiqah-annya.

g.      Muhammad bin Basysyar (-252H) : haddathana
Nama asalnya adalah Muhammad bi Bashar bin ‘Usman bin Dawud bin Kaysan, dengan nama julukan al-‘Abdy al-Bashri Bandar al-Haafizh dan nama kuniyah Abbu Bakar. Diantara gurunya adalah ‘Abd al-Wahhab al-tsaqafi, Ghandar dan lainnya. Sedan diantar muridnya adalah sekelompok imam hadits, Abu zur’ah dan lainnya.
Al-ajli menilai telah disepakati ke-tsiqah-annya, bahkan tsiqah masyhuur kata Ibn al-mahrani, tidak tercela dan tidak dinilai dla’if kata Ibn Ma’in, dan shaduuq kata Abu Hatim.menurut Ibn Hibban dalam al-stiqaat ; termasuk haafizh al-atsbat meurut al-Daruqutni : bahkan al-Bukhari pernah menerima hadits musnad darinya secara kitaabah.
h.      Ibn majah (209-275H) : haddathana
Nama asalnya adalah Muhammad bin yazid al-rab’I : mawla, dengan nama julukan al-Qizwayni al-haafizh dan nama kuniyah Abbu ‘Abdullah Ibn Majah. Diantara gurunya adalah para ulama khusaran dan Negara lainnya. Sedang diantara muridnya adalah Ali bin Abdullah al-Ghadani.
Menurut al-Khalili , Ibn Majah adalah periwayat tsiqah muttafaq ‘alayh, muhtajj bih, dan haafizh.
5.      Data Hadits Syaahid dan Mutaab
Berdasarkan data pelacakan hadits dan skema sanad secara keseluruhan diatas, hadits ini mempunyai dua syahid, yaitu dari riwayat Hakim bin Hizam yang menjadi jalur al-Bukhari sebagaimana dalam kitab shahih nya dan riwayat watsilah bin al-Asqa’ yang menjadi jalur Ibn Majah sebagaimana dalam kitab sunnan nya.
Pada shahih Bukhari, hadits itu diriwayatkan dari sulayman bin Harb dari Shu’bah dari Qatadah dari Salih Abu al-Khalil dari Abdullah bin al-Harith yang di marfu’kan kepada Hakim bin Hizam. Berdasarkan riwayat al-Bukhari itu, Hadits yang diteliti ini juga diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam, selain juga oleh ‘Uqbah bin ‘Amir.
Pada Sunan Ibn Majah, hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Abd al-Wahhab bin al-Dahhak dari Baqiyyat bain al-Walid dan Mu’awiyah bin yahya dari Makhul dan Sulaiman bin Musa dari Watsilah bin al-Asqa’. Jadi , sebenarnya Ibnu Majah juga menyebutkan hadits shahih nya , yaitu dari watsilah bin al-Asqa’ , hanya saja sanadnya mengandung tadlis.
Sedangkan mutabi’nya adalah riwayat Imam Ahmad, sebagaimana dalam musnadnya melali sanad dari Abdullah dari bapaknya dari yahya bin ishaq dari ibnu Luhay’ah dari Yazid bin Abu Habib dari Ibnu Syumasah (Syumamah) dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dengan dengan matn berbeda namun maknanya sama dengan riwayat Ibnu Majah.
Jika riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dibandingkan, maka mutabi’ hadits ini adalah ‘Abdullah dari bapaknya dari Yahya bin Ishaq dari Ibnu Luhay’ah, yang akan bertemu pada Yazid bin Abu Habib hingga ke atas.
Dalam kitab-kitab fikih, misalnya al-fiqih al-islaami wadillatuh karya Wahhab al-Zuhayli, disebutkan bahwa hadits tentang menyembunyikan cacat barang dagangan itu diriwayatkan oleh Ahmad , Ibnu Majah, al-Daruquthni, al-Hakim, dan al-Thabari dari ‘Uqbah bin ‘Amir.

Analisis Kualits Hadits
Dalam menentukan kualitas hadits, terlebih dahulu perlu diperhatikan kriteria hadits shahih, sebagaimana disepakati mayoritas ulama, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh para periwayat yang ‘adil dan dlaabith dari awal hingga akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (syuudzuudz) dan cacat (‘illat).
Anallisis ini meliputi persambungan sanad, keadilan dan ke dlaabith an periwayat( tsiqah) , sekaligus berguna dalam menganalisis ada tidaknya syadzdz dan illat. Berikut dilakukan analisis secara berturut-turut sesuai dengan urutan periwayat dalam sanad hadits riwayat Ibnu Majah.
a.      ‘Uqbah bin ‘Amir (-58H) : sami’tu
Berdasarkan biografinya diatas, maka persambungan sanad dengan gurunya, yaitu Rasulullah saw.dapat diketahui berdasarkan ungkapan yang digunakan dalam menerima dan menyampaikan riwayat, yaitu sami’tu, yang berarti mendengar langsung. Dengan demikian, telah terjadi pertemuan dengan Rasul.
Keadilannya dapat ditetapkan berdasarkan sebuah teori, bahwa “semua sahabat dinilai adil” sebagaimana “ijmak mayoritas ulama” meskipun menurut penelitian syuhudi dalilnya tidak cukup kuat, maka ‘Uqbah bin’Amir adalah periwayat yang adi. Karena tidak ditemukan sifat yang merusak keadilannya berdasarkan data biografinya itu.
Tentang ke dlaabith-anya tidak ditemukan data yang jelas, hanya ia ahli dalam berbagai ilmu. Karena itu, dapat diketahui bahwa ia adalah dlaabith. Dengan demikian, telah terjadi hubungan langsung antara dia dengan gurunya dan ia adalah periwayat yang tsiqah (adil dan dlaabith).
b.      ‘Abd al-Rahman bin Shumamah (-101H) :’an
Pada biografinya diatas , ia tidak pernah melakukan tadlis, meskipun dalam periwayatanya digunakan ungkapan ‘an. Ia dimungkinkan terjadi hubungan kesezamanan dengan gurunya, yaitu ‘Uqbah bin ‘Amir, karena terjadi kedekatan usia wafat keduanya yaitu tahun 58-100 H.
Biografi itu menunjukkan, bahwa ‘Abd al-Rahman bin Syumamah tergolong periwayat dari kalangan taabi’in yang tsiqah meskipun pernah meriwayatkan hadits secara mu’allaq namun kemudian di mawshulkan oleh Ibnu Majah, seperti dalam penelitian ini. Berdasarkan analisa itu, dapat diketahui bahwa ‘Abd al-Rahman adalah periwayat yang tsiqah dan terjadi hubungan kesezamanan (mu’aasharah ) dengan periwayat sebelumnya.
c.       Yazid bin Abi Habib (-128H) :’an
Penilaian terhadap dirinya seperti pada biografi itu membuktikan, bahwa Yazid bin Habib tetap dinyatakan tsiqah. Sedangkan persambungan sanad antara dia dengan gurunya dapat dilihat dari adanya kesezamanan hidup keduanya, yaitu tahun 100 dengan tahun 128H, yang hanya selisih 28 tahun , meskipun ungkapan periwayatnya digunakan ‘an.
d.      Yahya bin Ayyub (-168H) :’an
Data biografinya itu menunjukan terjadinya pertentangan dalam menilainya, antara adil (al-ta’diil) dengan tercela (al-jarh). Dalam hal seperti itu, harus didahulukan penilaian tentang ketercelaan dari pada keadilannya (al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta’diil, idzaa fussira bih ), menurut kebanyakan ulama hadits, karena kritik tentang ketercelaan itu lebih detail daripada kritik tentang keadilanya. Oleh krena itu, dapat dinyatakan bahwa ia adalah periwayat yang tidak adil.
Data tentang hafalannya juga menunjukkan , bahwa dlaabith nya tidak kuat, pada sebagian haditsnya terdapat kekacauan (idlthiraab) dan kadang hafalannya cacat bahkan banyak kesalahannya. Data itu membuktikan , bahwa ia tidak dlaabith, meskipun masih dimungkinkan menjadi hubungan kesezamanan atau pertemuan dengan gurunya sekitar 40 tahun berdasarkan pada tahun wafat keduannya.
e.       Bapak ku (Jarir) (-175H) : sami’tu
Melihat ungkapan penerimaan dan penyampaiannya, yaitu sami’tu, maka sangat dimungkinkan bertemu dengan Yahya bin Ayyub, sehingga nilai sanadnya adalah muttashil, meskipun melihat usia keduanya hanya selisih 7 tahun lebih muda.
Beberapa penilaian diatas menunjukkan, bahwa sebenarnya ia adalah periwayat yang ‘adil dan dlaabith, sehingga ia sebagaiperiwayat yang tsiqah. Tentang hafalanya yang ikhtilath dan taghayyur, itu terjadi menjelang wafatnya, sehingga ketika itu dia tidak lagi meriwayatkan hadits. Data-data itu menunjukkan, bahwa ia periwayat yang tsiqah.
f.       Wabh bin Jarir (-206H) : haddatsanna
Mencermati ungkapan periwayatnya, yaitu hadatsanna dan usia keduannya, yaitu selisih 31 tahun, maka dapat dinyatakan bahwa Wahb bin Jarir dimungkinkan sekali berhubungan langsung dengan bapaknya. Tentang keadilanya rupanya ia populer dikalangan kritikus hadits sebagai orang yang tsiqah yang boleh dipegangi haditsnya.
g.      Muhammad bin Basysyar ( -252H) : haddatsanna
Seperti periwayat sebelumnya, ia meriwayatkan dengan ungkapan haddathana yang berarti membuktikan adanya hubungan antara keduanya . lebih dari itu, selisih usia dia dengan gurunya selama 46 tahun , yang juga membuktikan pertemuan keduanya.
Penilaian para ahli tentang keadilanya membuktikan , bahwa ia adalah periwayat yang adil. Dengan demikian, Muhammad bin Basysyar adalah periwayat yang tsiqah dan bersambung dengan sannad sebelumnya.
h.      Ibn Majah (209-275 H) : haddastannaa
Dia dimungkinkan berhubungan dengan gurunya, lantaran ungkapan yang dipakai, yaitu haddastanna da selisih usia kesezamanan.
Beberapa analisis di atas dapat dinyatakan , bahwa dari segi sannad dan hadits, masing-masing periwayat telah terjadi pertemuan langsung (liqaa’) atau hubungan kesezamanan (mu’asaharah). Dengan demikian, sanad hadits ini adalah muttashil dari awal hingga akhir (marfu’muttashil).
Namun masalah keadilan dan kedlabithan para periwayat dapat dinyatakan, terdapat 6 periwayat yang tsiqah, meskipun seorang diantaranya menempati tingkat ke-tsiqah-an yang rendah karena haditsnya hanya dapat dibuat hujjah , yaitu Wahb bin Jarir, dan terdapat seorang yang meriwayatkan hadits mu’allaq yang kemudian di mawshul-kan Ibnu Majjah, yaitu ‘Abd al-Rahman bin Syumasyah.
Selain it terdapat satu periwayat yang tidak adil dan tidak dlaabith, yaitu Yahya bin Ayyub yang hafalanya idlthiraab dan banyak salahnya. Dengan demikian, meskipun sanad hadits ini muttashil, namun terdapat beberapa periwayat yang tidak tsiqah lantaran ke-dlaabith-annya, maka hadits ini dari segi sanad bernilai dla’if.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa hadits riwayat Ibnu Majah ini mempunyai syaahid, yaitu riwayat Imam Ahmad dari ibnu Luhay’ah yang bertemu pada yazid bi abu habib sampai dengan sahabat ‘Uqbah bin ‘amir, maka kesimpulanya tentang kualitas hadits diatas masih dapat berubah. Lebih dari itu, data hadits syaahid juga terdapat dalam riwayat al-Bukhari dari sahabat hakim bin hizam, meskipun dengan redaksi yang tidak sama.
Hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibnu Majah ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat. Pertama oleh sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir yang menjadi sannad Ibnu Majah dalam satu riwayatnya dan Imam ahmad. Kedua, sahabat Watsilah bin al-Asqa’ yang menjadi sanad Ibnu Majah juga dalam riwayatnya yang lain. Ketiga, sahabat Hakim bin hizam yang menjadi sanad al-Bukhari,meskipun dengan redaksi yang berbeda dengan Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
Berdasarkan data-data itu, maka hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan ini dapat diangkat dari dla’if menjadi hasan. Kesimpulan ini sejalan dengan penilaian al-‘Ayni, bahwa hadits ini bernilai Hasan Gharib.

Kandungan hukum dalam Hadits (Fiqh al-Hadits)
1.      Makna kosakata
Kata “la Yahlil” pada awal matn Hadits itu , menunjukkan haramnya menyembunyikan cacat barang dagangan dan keharusan menjelaskannya pada pembeli.
Kata “li muslim “ tidak berarti membatasi larangan menyembunyikan cacat itu ketika membeli sesame orang islam saja, tetapi dengan non muslim juga dilarang menyembunyikannya, karena larangan itu sedah merupakan bai’at orang islam untuk tidak menipu sesame orang islam yang lainnya. Karena banyak hadits yang tidak melarang bermuamalah dengan orang yahudi atau non muslim.
Kata “ayb” : “daa” , khibtsah , dan ghaa’ilah, kesemuanya berarti cacat yang terdapat pada barang dagangan. Makna kosa kata itu seperti tersebut dalammatan hadits riwayat al-Bukhari. Tiga kata itu menunjukkan pada arti kerusakan , kecacatan , keharaman yang terdapat pada barang dagangan yang harus ditunjukkan pada pembeli. Atau berarti cacat budak yang berupa penyakit badan dan akhlak budak yang jelek, seperti berzina dcan semisalnya.
2.      Penjelasan Hadits
a.       Penjelasan global
Secara global hadits riwayat ibnu majah diatas menjelaskan haramnya menyembunyikan cacatnya barang dagangan dan keharusan menjelaskanya pada pembeli. Bahkan haram hukumnya menjual barang dagangan yang mengandung cacat tanpa menjelaskan pada pembeli. Karena cacat barang dagangan merupakan satu sebab terjadinya khiyar dalam jual beli,yang disebut dengan khiyar ‘ayb.
b.      Hukum kandungan Hadits
Dalam hadits ini terdapat ketentuan hokum jual beli barang yang mengandung adanya cacat. Jika akad jual beli telah telah terjadi dan pembeli telah mengetahui adanya cacat barang, maka jual beli tetap terlaksana tanpa adanya khiyar bagi pembeli, karena pada dasarnya ia telah rela. Namun jika mengetahui adanya cacat setelah terjadinya akad, akan tetap sah tetapi tidak bisa terlaksana dan ia mempunyai hak khiyar (memilih) antara mengembalikan barang dan meminta kembali uang yang telah dibayarkan atau tidak mengembalikannya dan hanya meminta kerugian uang senilai cacat yang ada pada barang itu. Menurut al-Syafi’I, jika seseorang membeli barang lalu menawarkanya untuk dijual setelah ia mengetahui adanya cacat, maka batal khiyarnya. Al-zuhayli menyebutkan, bahwa pembeli tetap mempunyai hak milik secara sah terhadap barang yang mengandung cacat itu, karena rukun jual beli harus bebas dari persyaratan apapun. Jika ternyata terdapat syarat tidak terdapat cacat barang, maka akan berpengaruh pada pelaksanaan akad bukan pada hokum asalnya.
Al-Zuhayli menyebutkan banyak Hadits yang menjadi dasar adanya khiyar ‘ayb, namun yang paling utama adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir. Dari beberapa hadits itu, ia menyatakan seperti telah dinyatakan sayid sabiq diatas, bahwa jumhur fuqahaa’ yang juga diikuti Abu Yusuf menetapkan dua jalan khiyar, yaitu antara tidak mengembalikan barang atau mengembalikannya dengan meminta ganti rugi yang semestinnya. Sementara Abu Hanifah berpendapat cukup mengganti cacat barangnya saja.
Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa larangan menyembunyikan cacat barang dagangan itu meskipun bersifat haram tetap tidak berpengaruh pada hokum dasar jual beli dan hanya berpengaruh pada sah tidaknya kepemilikan terhadap barang. Lebih dari itu, jika ternyata barang dagangan mengandung cacat, upaya menghindarkan kerugian pada pihak pembeli adalah model khiyaar ‘ayb.


Penutup
Beberapa bahasan yang berkaitan dengan hadits tentang larangan menyembunyikan cacat barang dagangan riwayat Ibnu Majah di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas itu adalah hasan atau hasan Ghariib. Oleh karenanya, berhujjah dengan hadits itu hukumnya boleh dan rupanya menjadi dasar pembahasan ulama fikih tentang khiyaar ‘ayb, seperti Syyid sabiq dalam fikih as-sunnnahnya dan Wahhab al-Zuhayli dalam Al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuh dan selainnya.  

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host