Disusun Oleh :
Alwi Musa
Muzayyin : 9313 009 07
BAB I
PENDAHULUAN
Etos kerja
dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang
bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat
arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak
dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal
tak lepas dari kaitan iman seseorang.
Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat
kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan
hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.
Artikel ini sendiri akan melihat pertama, kerja
sebagai manifestasi program mewujudkan tujuan hidup di muka bumi yakni mencari
Ridha Allah dengan mewujudkan diri sebagai khalifah di muka bumi. Kedua, karakteristik
pekerjaan di masa datang yang diperlukan umat Islam. Ketiga, apa saja
prinsip kerja seorang muslim guna untuk kemaslahatan?. Keempat, bagaimana
seorang muslim melakukan kualitas etik kerja?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Manifestasi Mencari Ridho Allah
Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena
semua pedoman dan panduan sudah terkodifikasi. Kini tinggal bagaimana
menterjemahkan dan mengapresiasikannya dalam kegiatan harian, mingguan dan
bulanan. Jika kita
pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu mencari Ridha Allah SWT maka apapun
yang dikerjakannya, apakah di rumah, di kantor, di ruang kelas, di
perpustakaan, di ruang penelitian ataupun dalam kegiatan kemasyarakatan, takkan
lepas dari kerangka tersebut.[1]
Artinya, setiap pekerjaan yang kita lakukan,
dilaksanakan dengan sadar dalam kerangka pencapaian Ridha Allah. Cara melihat seperti ini akan
memberi dampak, misalnya, dalam kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika
seseorang sudah meyakini bahwa Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa
yang dilakukannya di dunia tak dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari
kesempurnaan dalam mendekati kepada Al Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh
kapasitas dan kemampuan inderawi yang berada pada dirinya dalam rangka
mengaktualisasikan tujuan kehidupannya. Ini
bisa berarti bahwa dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh karena bagi dirinya
bekerja tak lain adalah ibadah, pengabdian kepada Yang Maha Suci. Lebih seksama
lagi, ia akan bekerja – dalam bahasa populernya – secara profesional.
Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa
dikaitkan dengan padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al
Qur’an, diperintahkan untuk berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan
sendiri merupakan salah satu pilar disamping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana,
ihsan berarti kita beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau
kita memang tidak bisa melihat-Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan
setiap perbuatan dan desir kalbu kita. Ihsan
adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin atau secara optimal. Hal
itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang menuturkan sabda Rasulullah SAW :
Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Karena itu jika
kamu membunuh, maka berihsanlah dalam membunuh itu dan jika kamu menyembelih,
maka berihsanlan dalam menyembelih itu dan hendaknya seseorang menajamkan
pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu.
Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks hadis itu
dapat disimpulkan bahwa ihsan berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan
melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin. “Penajaman
pisau untuk menyembelih” itu merupakan isyarat efisiensi dan daya guna yang
setinggi-tingginya. Allah
sendiri mewajibkan ihsan atas segala sesuatu seperti tercermin dalam Al Qur’an.
Yang membuat baik, sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya. (32:7).
Selanjutnya Allah juga
menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian agar manusia pun
melakukan ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat
ihsanlah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (28:77).
Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an jelaslah
bahwa setiap Muslim harus menjadi seorang pekerja yang profesional. Dengan
demikian ia melaksanakan salah satu perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga
mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal dan fisiknya yang diberikan
sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik ini atau tidak
“menajamkannya” bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat dan karunia Ilahi Rabbi.
B.
Karakteristik pekerjaan mendatang
Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk
pekerjaan mendatang tak hanya mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Qur’an
dalam berbagai ayat sudah mengajak manusia untuk berpikir, membandingkan dan
menggunakan akal dalam menghayati kehidupan dan mengarungi samudera kehidupan.
Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, tahun 1960-an sudah
memperingatkan akan datangnya “Knowledge Society”.
Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk kegiatan
ekonomi dan pekerjaan dilakukan berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia memberi
contoh mengetik. Dulua dengan memencet tuts orang bisa membuat kalimat, tetapi
sekarang dengan adanya komputer sebelum memencet tuts harus dimiliki
serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat lunaknya.
Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy,
Michael Hammer atau Gary Hamel ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin
Tovler sudah meramalkan jauh-jauh hari akan datangnya jenis pekerjaan otak ini.
Dalam ungkapan Handy, aset sebuah organisasi tidak lagi terletak pada properti
atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada sumber daya manusia. Dan inti dari
sumber daya manusia itupun adalah otaknya.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah
mengisyaratkan akan lahirnya masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat
pertama, Iqra. Hanya tinggal manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan
kehidupan umat Islam, bukan sebagai jargon yang yang dilafalkan.Membumikan
istilah Iqra itulah merupakan tantangan umat Islam sehingga tidak ketinggalan
dalam budaya masyarakat pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam
itu harus mampu menyumbangkan bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar
dengan peradaban lainnya. Dengan demikian etos kerja harus merupakan bagian
dari tradisi umat Islam, bukan tradisi masyarakat lain.
C. Prinsip Kerja Seorang Muslim (Etos Kerja dalam
Islam)
1.
Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada
ni’mat Allah SWT. (QS. style="font-family: \"Trebuchet
MS\";"Saba ’ [34] : 13)[2]
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ
مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ {سبأ/13}
2. Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil: hasanah fi ad-dunyaa dan hasanah fi al-akhirah – QS. Al-Baqarah
[002] : 201)
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ {البقرة/201}
3. Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki: al-qawiyy dan al-amiin. QS. Al-Qashash [28] : 26
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الْأَمِينُ {القصص/26}
Al-qawiyy merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga
berarti, memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual)
Sementara al-amiin, merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan
alias jujur, dapat memegang amanah.
4.
Kerja keras. Ciri pekerja keras
adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita dapat
meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal
kata “gagal” (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda)
5.
Kerja dengan cerdas. Cirinya:
memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap
sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.
Jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka
etos kerja seorang Muslim bersumber dari visinya: meraih hasanah fid dunya dan
hasanah fi al-akhirah.
Jika etos kerja difahami sebagai etika kerja;
sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka dalam bekerja, seorang
Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan
D.
Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja
berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh
jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan
memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya
kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang
dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada
waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai
ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus
diperhatikan.[3]
Berikut
ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayat
1. Ash-Shalah
(Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan
pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan
mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu
maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang)
dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)
2. Al-Itqan
(Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect
merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas
pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah
dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar
ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill
yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah
atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah
dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya
besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan
tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian
lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas,
daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah:
263).
3.
Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan
memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti
‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama
dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai
komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia
kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih
baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan
peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan,
pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika
prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam
sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang
muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap
berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat
:34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki
manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa
dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4.
Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam
banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja
pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan
agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali
Imran: 142, al-Maidah:
35,
al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
5.
Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan
persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam
beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul
khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah:
108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum
wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya
adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat
kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135).
Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang
gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala
kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam
konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah
adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini
menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
6.
Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan
oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu
sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara
mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang
tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk
waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat
kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan
menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah
(ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan
dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau
melaksanakannya atau tidak.
BAB III
PENUTUP
(KESIMPULAN)
Seruan akan etos kerja dalam Islam sebenarnya sudah
banyak diungkapkan brebagai ayat Al Quran atau diuraikan hadis. Kini saatnya
menyadari makna al ihsan itu sehingga dari kesadaran yang berdasarkan
pengetahuan itu akan lahir sebuah budaya yang melihat pekerjaan sebagai
manifestasi pengabdian kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Asep
Setiawan. "Etos Kerja Islam", (on line), tt, (http://www.google.html.search=etos+kerja+islam.com,
diakses tanggal 2 Juni 2009
tn.
"Prinsip Kerja Islam", (on line), tt, (http://www.google.html.search=prinsip+kerja+isalam.com,
diakses tanggal 2 Juni 2009.
tn.
"Etik Kualitas Kerja Islam", (on line), tt, (http://www.google.html.search=etik+kualitas+kerja+islam.com,
diakses tanggal 2 Juni 2009.
.
[1] Asep
setiawan, "Etos Kerja Islam", on line, , http://www.google.html.search=etos+kerja+islam.com,
tt, diakses tanggal 2 Juni 2009.
[2] tn,
"Prinsip Kerja Islam", on line,
http://www.google.html.search=prinsip+kerja+islam.com,
23 Agustus, diakses tanggal 2 Juni 2009.
[3] tn,
"Etik Kualitas Kerja Islam", on line, , http://www.google.html.search=etik+kualitas+kerja+islam.com,
tt, diakses tanggal 2 Juni 2009.
1 comments:
Pembahasan Selengkapnya dan perbandingan Makalah Etos Kerja dalam Etika Bisnis Islam
Post a Comment