Mar 30th,
2010 by nurkholis77
PERBEDAAN
MENDASAR EKONOMI ISLAM
DAN EKONOMI KONVENSIONAL
By H. Nur Kholis, S.Ag,
M.Sh.Ec
A. Pengantar
Sistem ekonomi menunjuk pada satu kesatuan mekanisme dan lembaga
pengambilan keputusan yang mengimplementasikan keputusan tersebut terhadap
produksi, konsumsi dan distribusi pendapatan.[1] Karena itu, sistem ekonomi merupakan sesuatu yang
penting bagi perekonomian suatu negara. Sistem ekonomi terbentuk karena
berbagai faktor yang kompleks, misalnya ideologi dan sistem kepercayaan,
pandangan hidup, lingkungan geografi, politik, sosial budaya, dan lain-lain.
Pada saat ini terdapat berbagai macam sistem ekonomi negara-negara di
dunia. Meskipun demikian secara garis besar, sistem ekonomi dapat dikelompokkan
pada dua kutub, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sistem-sistem yang
lain seperti welfare state, state capitalism, market socialisme, democratic
sosialism pada dasarnya bekerja pada bingkai kapitalisme dan sosialisme.
Akan tetapi, sejak runtuhnya Uni Soviet, sistem sosialisme dianggap telah
tumbang bersama runtuhnya Uni Soviet tersebut. Dalam konteks tulisan ini, maksud
ekonomi konvensional adalah sistem ekonomi kapitalisme yang hingga kini masih
menjadi sistem ekonomi kuat di dunia.
B. Pokok-pokok ekonomi konvensional
1. Sejarah
Sistem ekonomi konvensional yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis diawali dengan
terbitnya buku The Wealth of Nation karangan Adam Smith pada tahun
1776. Pemikiran Adam Smith memberikan inspirasi dan pengaruh besar terhadap
pemikiran para ekonom sesudahnya dan juga pengambil kebijakan negara.
Lahirnya sistem ekonomi
kapitalis, sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkembangan
pemikiran dan perekonomian benua Eropa pada masa sebelumnya. Pada suatu masa,
di Benua Eropa pernah ada suatu zaman dimana tidak ada pengakuan terhadap hak
milik manusia, melainkan yang ada hanyalah milik Tuhan yang harus
dipersembahkan kepada pemimpin agama sebagai wakil mutlak dari Tuhan. Pada
zaman tersebut yang kemudian terkenal dengan sistem universalisme.
Sistem ini ditegakkan atas dasar keyakinan kaum agama “semua datang dari Tuhan,
milik Tuhan dan harus dipulangkan kepada Tuhan”.
Kemudian lahir pula golongan
baru, yang mendekatkan dirinya pada kaum agama, yaitu kaum feodal. Mereka ini
yang berkuasa di daerahnya masing-masing, lalu menguasai tanah-tanah dan
memaksa rakyat menjadi hamba sahaya yang harus menggarap tanah itu. Sistem
feodal hidup subur di bawah faham universalisme. Faham ini lebih terkenal
dengan feodalisme. Jika kaum feodal memaksa rakyat bekerja mati-matian, maka
kaum agama dengan nama Tuhan menghilangkan hak dari segala miliknya. Artinya
kaum feodal yang bekerjasama dengan kaum agama, telah mempermainkan seluruh hak
milik manusia untuk kepentingan mereka sendiri.
Gambaran yang dapat diperoleh
dari zaman kaum agama dan feodal ialah manusia hidup seperti hewan, tidak
mempunyai fikiran sendiri, tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri dan
semuanya hanyalah kaum agama yang memilikinya. Inilah suatu kesalahan besar
yang pernah diperbuat oleh kaum agama di benua Eropa. Seluruh masyarakat Eropa berontak dan mengadakan
perlawanan menentang kaum agama dan feodal. Pecahlah revolusi Perancis yang
sudah terkenal itu.
Revolusi Perancis (1789 – 1793) dipandang sebagai puncak kegelisahan dari
rakyat yang tertindas dan dirampas haknya. Dengan dendam dan kemarahan yang
luar biasa mereka menghancurkan universalisme dan feodalisme yang mengikat
mereka. Tetapi, akibatnya lebih buruk dari itu. Bukan saja mereka memusuhi kaum
agama dan feodal, tetapi juga menjatuhkan nama suci dari Tuhan yang selalu
dibuat kedok oleh kedua golongan di atas.
Di samping itu, berkembangnya sistem ekonomi kapitalis juga dapat dirunut
dari sejak munculnya faham fisiokrat (abad 17) yang mengatakan bahwa pertanian
adalah dasar dari produksi negara, sebab itu, seluruh perhatian harus
ditumbuhkan kepada memperbesar hasil pertanian. Kemudian lahir pula paham
merkantilisme (awal abad 18) yang mengatakan bahwa perdagangan adalah lebih
penting dari pertanian, karena itu pemerintah harus memberikan perhatiannya
kepada mencari perdagangan dengan negara-negara lainnya.
Pada pertengahan abad ke-18, lahirlah paham baru yang
dinamakan liberalisme dari Adam Smith (1723 – 1790) di Inggris. Menurut dia,
bukan soal pertanian atau perdagangan yang harus dipentingkan, tetapi titik
beratnya diletakkan pada pekerjaan dan kepentingan diri. Jika seseorang
dibebaskan untuk berusaha, dia harus dibebaskan pula untuk mengatur kepentingan
dirinya. Sebab itu ajaran laiser
aller, laisser passer (merdeka berbuat dan merdeka bertindak) menjadi
pedoman bagi persaingan mereka. Selanjutnya manusia memasuki kancah
individualisme yang ditandai dengan nafsu untuk menumpuk harta
sebanyak-banyaknya yang ditimbulkan oleh persaingan yang bebas tadi. Dari paham
liberalisme, timbullah kaum borjuis. Kaum borjuis ini akhirnya menimbulkan
sistem ekonomi, sistem ekonomi kapitalis.
Berkembangnya paham kapitalis menimbulkan reaksi yang
ditandai dengan munculnya paham komunisme. Paham ini lahir dari seorang Jerman,
bernama Karl Marx pada tahun 1848 yang sangat kecewa terhadap sistem ekonomi
kapitalis yang dianggap telah menyengsarakan rakyat banyak. Silih berganti
nasib yang dilalui paham Marx itu. Tetapi akhirnya sewaktu Lenin mendirikan
pertama kali negara komunis di Rusia pada tahun 1917, maka marxisme telah
menjejakkan kakinya dengan kuat sebagai dasar bagi negara baru tersebut. Walapun ajaran komunisme ini pernah
menguasai hampir separo dari penduduk dunia, akan tetapi paham ini dianggap
telah runtuh bersamaan dengan runtuhnya Rusia.
2. Landasan Filosofi dan Welstanchaung
Landasan filosofi sekaligus welstanchaung sistem ekonomi kapitalis adalah
materialisme dan sekularisme. Pengertian manusia sebagai homo economicus
atau economic man adalah manusia yang materialis hedonis, sehingga ia
selalu dianggap memiliki serakah atau rakus terhadap materi. Dalam perspektif
materialisme hedonisme murni, segala kegiatan manusia dilatarbelakangi dan
diorientasikan kepada segala sesuatu yang bersifat material. Manusia dianggap
merasa bahagia jika segala kebutuhan materialnya terpenuhi secara melimpah.
Pengertian kesejahteraan yang materialistik seperti ini seringkali menafikan
atau paling tidak meminimalkan keterkaitannya dengan unsur-unsur spiritual
ruhaniah.[2]
Dalam sistem ekonomi kapitalis, materi adalah sangat penting bahkan
dianggap sebagai penggerak utama perekonomian. Dari sinilah sebenarnya, istilah
kapitalisme berasal, yaitu paham yang menjadikan kapital (modal/material)
sebagai isme.
Ilmu ekonomi
konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah
rasional. Rasionality assumption dalam ekonomi menurut Roger LeRoy
Miller adalah individuals do not intentionally make decisions that would
leave them worse off.[3] Ini berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai
tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan
atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan
(want) yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak
secara sengaja membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan
mereka. Bahkan menurutnya, suatu aktivitas atau sikap yang terkadang
nampak tidak rasional akan tetapi seringkali ia memiliki landasan rasionaliti
yang kuat, misalnya orang yang berpacaran menghabiskan waktu dan uang, dan lain
sebagainya.
Rasionaliti merupakan kunci utama dalam pemikiran ekonomi modern. Ia
menjadi asas aksioma bahwa manusia adalah makhluk rasional.[4] Konsep rasionaliti muncul karena adanya
keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin
memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu set constrain. Yang
dimaksud constrain dalam ekonomi konvensional adalah terbatasnya
sumber-sumber dan pendapatan yang dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi
keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas. Dalam ekonomi Islam yang
dimaksud dengan constrain adalah terbatasnya kemampuan manusia baik
dari segi fisik maupun pengetahuan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu
sumber yang tidak terbatas yang telah disediakan oleh Allah SWT.[5] Berdasarkan pernyataan di atas maka manusia perlu
membuat suatu pilihan yang rasional sehingga pilihan tersebut dapat memberikan
kepuasan atau keuntungan yang maksimal pada manusia.
Menurut ilmu ekonomi konvensional, sesuai dengan pahamnya
tentang rational economics man, tindakan individu dianggap rasional
jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest)[6] yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh
aktivitas. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional dianggap ekuivalen (equivalent)
dengan memaksimalkan utiliti. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika
dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa
mengambilkira hari akhirat.
Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan
diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena
tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses
kompetisi dalam mekanisme pasar.[7]
Pada sisi lain, landasan filosofi sistem ekonomi
kapitalis adalah sekularisme, yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat spiritual
dan material (atau agama dan dunia) secara dikotomis. Segala hal yang berkaitan
dengan dunia adalah urusan manusia itu sendiri sedangkan agama hanyalah
mengurusi hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Implikasi dari ini
adalah menempatkan manusia sebagai sebagai pusat dari segala hal kehidupan (antrophosentris)
yaitu manusilah yang berhak menentukan kehidupannya sendiri.
3. Pokok-pokok pikiran
Dalam dunia nyata, kapitalisme tidak memiliki bentuk yang tunggal. Ia
memiliki ragam yang tidak selalu sama di antara negara-negara yang
menerapkannya, dan ia seringkali berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal ini
paling tidak disebabkan oleh dua hal, (1) ada banyak ragam pendapat dari para
pemikir, (2) definisi kapitalisme selalu berubah-ubah sesuai dengan situasi dan
kondisi dan modifikasi ini telah berlangsung berabad-abad.[8] Dengan demikian, pengertian kapitalisme
sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam pemikiran Adam Smith mungkin tidak lagi
dijumpai secara murni. Karakteristik umum kapitalisme
antara lain:
a. Kapitalisme menganggap ekspansi
kekayaan yang dipercepat dan produksi yang maksimal serta pemenuhan keinginan
menurut preferensi individual sebagai sesuatu yang esensial bagi kesejahteraan
manusia.
b. Kapitalisme menganggap bahwa kebebasan
individu yang tak terhambat dalam mengaktualisasikan kepentingan diri sendiri
dan kepemilikan atau pengelolaan kekayaan pribadi sebagai suatu hal yang sangat
penting bagi inisiatif individu
c. Kapitalisme berasumsi bahwa
inisiatif individu ditambah dengan pembuatan keputusan yang terdesentralisasi
dalam suatu pasar yang kompetitif sebagai syarat utama untuk mewujudkan
efisiensi optimum dalam alokasi sumberdaya ekonomi.
d. Kapitalisme tidak menyukai pentingnya
peranan pemerintah atau penilaian kolektif (oleh masyarakat), baik dalam
efisiensi alokatif maupun pemerataan distributif.
e. Kapitalisme mengklaim bahwa
melayani kepentingan diri sendiri oleh setiap individu secara otomatis akan
melayani kepentingan sosial kolektif.
a. Rational economic man
Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan
individu adalah rasional. Berdasarkan paham ini,
tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri
sendiri (self interest)[10] yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh
aktivitas. Dalam implementasinya, rasionaliti ini dianggap dapt diterapkan
hanya jika individu diberikan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya,
sehingga dengan sendirinya di dalamnya terkandung individualisme dan liberalisme.
Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan
diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena
tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses
kompetisi dalam mekanisme pasar.[11] Oleh karena itu, kapitalisme sangat
menjunjung tinggi pasar yang bebas dan menganggap tidak perlu ada campur tangan
pemerintah.[12]
b.
Positivism
Kapitalisme berusaha mewujudkan suatu ilmu ekonomi yang bersifat objektif,
bebas dari petimbangan moralitas dan nilai, dan karenanya berlaku universal.
Ilmu ekonomi telah dideklarasikan sebagai kenetralan yang maksimal di antara
hasil akhir dan independensi setiap kedudukan etika atau pertimbangan normatif.
Untuk mewujudkan obyektivitas ini, maka positivism telah menjadi bagian
integral dari paradigma ilmu ekonomi. Positivism menjadi sebuah keyakinan bahwa
setiap pernyataan ekonomi yang timbul harus mempunyai pembenaran dari fakta
empiris. Paham ini secara otomatis mengabaikan peran agama dalam ekonomi, sebab
dalam banyak hal, agama mengajarkan sesuatu yang bersifat normatif.
c.
Hukum Say
Terdapat suatu keyakinan bahwa selalu terdapat keseimbangan (equilibrium)
yang bersifat alamiah, sebagaimana hukum keseimbangan alam dalam tradisi fisika
Newtonian. Jean Babtis Say menyatakan bahwa supply creates its own
demand, penawaran menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi pada
asumsi bahwa tidak akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi.
Kegiatan produksi dengan sendirinya akan menciptakan permintaannya sendiri,
maka tidak akan terjadi kelebihan produksi dan pengangguran. Implikasi
selanjutnya, tidak perlu ada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi.
Intervensi pemerintah dianggap justru akan mengganggu keseimbangan alamiah.
Asumsi inilah yang menjadi piranti keyakinan akan kehebatan pasar dalam
menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Inilah salah satu paradigma ilmu ekonomi
konvensional.[13]
C.
Pokok-pokok Ekonomi Islam
1.
Sejarah
Sesungguhnya telah sepuluh abad
sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang ekonomi, telah
diturunkan oleh Allah SWT di daerah Arab sebuah analisis tentang ekonomi yang
unggul, karena analisis ekonomi tersebut tidak hanya mencerminkan keadaan
bangsa Arab pada waktu itu –sehingga hanya bermanfaat untuk bangsa Arab saat
itu–, tetapi juga untuk seluruh dunia. Struktur ekonomi yang ada dalam firman
Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah
dilaksanakan dengan baik oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut
adalah suatu susunan baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi
nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam.
Berbagai pemikiran dari para
sarjana ataupun filosof zaman dahulu mengenai ekonomi tersebut juga sudah ada.
Diantaranya adalah pemikiran Abu Yusuf (731 - 798 M), Yahya Ibnu Adam
(meninggal 818 M), Al Farabi (870 – 950 M), Ibnu Sina (980 – 1037 M), El-Hariri
(1054 – 1122 M), Imam Al Ghozali (1058 – 1111 M), Tusi (1201 – 1274 M), Ibnu
Taimiyah (1262 – 1328 M), Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M), dan lain-lain. Sumbangan
Abu Yusuf terhadap keuangan umum adalah tekanannya terhadap peranan negara,
pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang bahkan masih berlaku sampai
sekarang ini.
Gagasan Ibnu Taimiyah tentang
harga ekuivalen, pengertiannya terhadap ketidaksempurnaan pasar dan
pengendalian harga, tekanan terhadap peranan negara untuk menjamin dipenuhinya
kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat dan gagasannya terhadap hak milik, memberikan
sejumlah petunjuk penting bagi perkembangan ekonomi dunia sekarang ini. Ibnu
Khaldun telah memberikan definisi ekonomi yang lebih luas dengan menyatakan
bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang positif maupun normatif.
Maksudnya mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan bukan kesejahteraan individu saja. Ibnu Khaldun juga menyatakan
adanya hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekonomi, politik, sosial,
etika, dan pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah gagasan ekonomi yang
mendasar seperti pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja
dalam teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal,
lintas perdagangan, sistem harga dan sebagainya.
Secara keseluruhan para
cendekiawan tersebut pada umumnya dan Ibnu Khaldun pada khususnya dapat
dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan klasik (misalnya Adam Smith,
Ricardo, Malthus) dan neo klasik (misalnya Keynes).
Tidak bisa dipungkiri, bahwa
sebutan ekonomi Islam melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata
‘Islam’ memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat eksklusif, sehingga
menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi
lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran
kapitalis dan sosialis, sehingga ciri khas spesifik yang dimiliki oleh Ekonomi
Islam itu sendiri hilang.
Sebenarnya Ekonomi Islam adalah
satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan
fitrahnya ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan
ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan ciri khasnya, ekonomi Islam dapat
menunjukkan jati dirinya – dengan segala kelebihannya — pada setiap sistem yang
dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra
menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine
economics. Cerminan watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek
pelaku ekonominya — sebab pelakunya pasti manusia — tetapi pada aspek aturan
atau sistem yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada
keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah
kepunyaan Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan
(QS 3: 109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah
sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam batas koridor aturan main..”Dialah yang
memberi kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (QS 42: 12;
13: 26). Atas hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan
rezekinya selama ia tidak menolak untuk mendapatkannya (11: 6). Namun Allah tak
pernah menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam — meminjam istilah dari
Ismail Al Faruqi — mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai
acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan
manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh
lepas dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan
secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.
Ekonomi Islam pernah tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi Islam
bisa dikatakan masih belum lama. Oleh karena itu, sering muncul pertanyaan,
apakah ekonomi Islam adalah baru sama sekali? Jika melihat pada sejarah dan
makna yang terkandung dalam ekonomi Islam, ia bukan sistem yang baru. Argumen
untuk hal ini antara lain:
1. Islam sebagai agama samawi yang paling mutakhir
adalah agama yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah
dalam surat Al-Maidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga telah menjamin
kelengkapan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang beriman dalam
menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini ditegaskan
Allah SWT dalam firmannya QS Al-An’am (6):38,
ما فرطنا في
الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون
2. ٍSejarah mencatat
bahwa umat Islam pernah mencapai zaman keemasan, yang tidak dapat disangkal
siapapun. Dalam masa itu, sangat banyak kontribusi sarjana muslim yang tetap
sangat diakui oleh semua pihak dalam berbagai bidang ilmu sampai saat ini,
seperti matematika, astronomi, kimia, fisika, kedokteran, filsafat dan lain
sebagainya. Sejarah juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal sehat sebuah
kemajuan umat dengan begitu banyak kontribusi dalam berbagai lapangan hidup dan
bidang keilmuan tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di lapangan ekonomi.
3.
ٍSejarah juga mencatat banyak tokoh
ekonom muslim yang hidup dan berjaya di zamannya masing-masing, seperti Tusi,
Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah, Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun
dan lain-lain.[14]
Bahkan yang disebut terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia[15]
sebagai berikut: “Ibn Khaldun discovered a great number of fundamental economic
notions a few centuries before their official births. He discovered the virtues
and the necessity of a division of labor before (Adam) Smith and the principle
of labor before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus
and insisted on the role of the state in the economy before Keynes. The
economist who rediscovered mechanisms that he had already found are too many to
be named.” “. . . although Ibn Khaldun is the forerunner of many economist, he
is an accident of history and has no consequence on the evolution of economic
thought.”
Ketiga argumen dan indikator di
atas dapat dipakai sebagai pendukung yang amat meyakinkan bahwa sistem ekonomi
Islam bukanlah hal baru sama sekali. Namun patut diakui bahwa sistem yang
pernah berjaya ini pernah tenggelam dalam masa yang cukup lama, dan sempat
dilupakan oleh sementara pihak, karena kuatnya dua sistem yang pernah berebut
simpati dunia yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme.
Sistem ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi
Islam, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam,
yaitu:
1. Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama,
yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki
pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba
untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu
haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional.
Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu membahu mendirikan
lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dan bukan pada
bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah keyakinan yang begitu teguh
haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif. Masa ini dimulai kira-kira apada
pertengahan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade
1950-an dan awal dekade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan bank Islam
lokal ayang beroperasi bukan pada bunga. Sementara itu di Mesir juga didirikan
lembaga keuangan yang beroperasi bukan pada bunga pada awal dasa warsa 1960-an.
Lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomir Local Saving yang berlokasi di
delta sungai Nil, Mesir.
Tahapan ini memang masih bersifat
prematur dan coba-coba sehingga dampaknya masih sangat terbatas. Meskipun
demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar bagi perkembangan selanjutnya.
2. Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an.
Pada tahapan ini para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di
perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba
mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan
analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif
perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar
internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan
mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun non-muslim. Konferensi
internasional pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah
pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang
Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977.
Setelah itu digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal dalam Islam
di Makkah pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian diikuti
lagi oleh konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi kerja sama ekonomi
yang diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian diikuti
Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada tahun
1983.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad, kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad, kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.
Pada tahapan kedua ini muncul nama-nama
ekonom muslim terkenal di seluruh dunia Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid
Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M.
A. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr.
Fahim Khan, Dr. Munawar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan
lain-lain. Mereka adalah ekonom muslim yang dididik di Barat tetapi memahami
sekali bahwa Islam sebagai way of life yang integral dan komprehensif
memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan mampu
membawa umat Islam kepada kedudukan yang berwibawa di mata dunia.
3. Tahapan ketiga ditandai dengan
upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan
non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini
merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para ekonom,
pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian
kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan
bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang
lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama
kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah,
Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasa sama antara negara-negara Islam
yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tidak lama kemudian
disusul oleh Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali bank-bank Islam
bermunculan di mayoritas negara-negara muslim termasuk di Indonesia.
4.
Tahapan keempat
ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated
untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga
keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
2. Pengertian dan Prinsip Dasar
Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang
berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut
M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah
“sosial science which studies
the economics problems of people imbued with the values of Islam”.[16]
Menurut Khursid Ahmad, ekonomi Islam
adalah a systematic effort to try to understand the economic problem and
man’s behavior in relation to that problem from an Islamic perspective. Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah
Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the
economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the
teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”.[17]
Dari
berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah
suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan
akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang
Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).[18] Sedangkan prinsip-prinsip
dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra[19]
adalah sebagai berikut:
1. Prinsip
Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa
yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT,
bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang
memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia
yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2. Prinsip
khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan
perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif
sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan
universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.
3.
Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu
misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan
kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3)
distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.
3.
Landasan Filosofi dan Welstanchaung
Banyak sekali keterangan dari
Al-Quran yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara eksplisit maupun
implisit. Bagaimana jual beli yang baik dan sah menurut Islam, pinjam meminjam
dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam perekonomian.
Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan, dimana perbuatan
riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya diperjelas dengan
hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Dari namanya sudah dapat
dipastikan bahwa secara ideologi sistem ekonomi Islam kental dengan nuansa
keislaman, dengan kata yang lebih jelas adalah aqidah islamiyah. Sistem ekonomi
Islam memberikan tuntunan pada manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala
kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas dengan jalan yang baik dan alat
pemuas yang tentunya halal, secara zatnya maupun secara perolehannya.
Tujuan utama Syari‘at Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan
lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat[20]
menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما
وضعت لمصالح الخلق باطلاق
Artinya: “Telah diketahui bahwa
syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan
makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan:
اينما كانت المصلحة فثم حكم
الله
Dua ungkapan tersebut
menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait antara Syariat Islam
dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari
Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam.
Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan
terhormat (al-hayah al-tayyibah).[22]
Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja
berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi
konvensional yang sekuler dan materialistik.[23]
Dengan demikian tujuan sistem ekonomi Islam adalah berkait dengan tujuan yang
tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia saja (materialis) namun juga
kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak
tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku
sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.
Secara
terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini
mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya
kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya
kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara
optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta,
kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin
kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.[24]
4.
Pokok-pokok Pikiran
a. Metodologi Ekonomi
Islam
Para pakar ekonomi Islam (seperti
Masudul Alam Choudoury, M Fahim Khan, Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan
lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi Islam secara berbeda, tetapi
dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara pada ajaran Islam.
Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut[25]:
1.
Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu, yaitu
al-Quran dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua sumber tersebut mestilah
mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh para ulama muktabar, bukan
secara membabi buta dan ngawur.[26]
2.
Metodologi ekonomi Islam
lebih mengutamakan penggunaan metode induktif.
3.
Ilmu Usul tetap mengikat bagi
metodologi ilmu ekonomi Islam. Walaupun begitu pemikiran kritis dan evaluatif
terhadap ilmu usul sangat diperlukan karena pada dasarnya ilmu usul adalah
produk pemikrian manusia.
4.
Penggunaan metode ilmiah
konvensional atau metodologi lainnya dapat dibenarkan sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
5.
Ekonomi Islam dibangun di
atas nilai dan etika luhur yang berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai
keadilan, sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain.
6.
Kajian ekonomi Islam bersifat
normatif dan positif.
7.
Tujuan utama ekonomi Islam
adalah mencapai falah di dunia dan akhirat.
8.
Pada dasarnya metodologi yang
bersumber dari metode ilmiah memiliki peluang untuk menghasilkan kesimpulan
yang sama dengan yang bersumber dari ilmu usul. Ilmu usul untuk ayat qauliyah
dan metode ilmiah untuk ayat kauniyah
b.
Ekonomi
Islam Membentuk Islamic Man
Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengasumsikan manusia sebagai rational
economic man, ekonomi Islam membentuk manusia menjadi islamic man.
Faham rational economic
man dalam ekonomi konvensional menuai berbagai kritik. Di antara kritik-kritik
terhadap rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah sebagai berikut:
1.
Terlalu demanding,
karena menganggap setiap agen ekonomi pasti memiliki informasi lengkap. Ini
tentu anggapan yang tidak realistik. Di samping itu terlalu terbatas, karena
memahami self interest secara sangat sempit.
2.
Tidak menggambarkan tingkah
laku manusia yang sesungguhnya yaitu apa yang diasumsikan oleh ekonomi
konvensional tidak mewakili perilaku manusia yang sebenarnya dan mengabaikan
sama sekali emosi dan perasan. Clive Hamilton mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi
berkait dan bersepakat dengan kehidupan manusia, sedangkan manusia adalah
makhluk yang berperasaan selain berakal, oleh karena itu ekonomi modern yang
mengabaikan perasaan (moral/etika) dan spirituality merupakan
kesalahan yang sangat telak. Memahami sesuatu dengan hanya berdasarkan akal
semata merupakan pemahaman yang tidak lengkap.[27]
3.
Pilihan perlu konsisten.
Individu diandaikan rasional jika memilih pilihannya yang senantiasa konsisten
dan mengabaikan perbedaan cita rasa individu. Di samping itu, dalam setiap
pilihannya, setiap individu tidak hanya mempertimbangkan apakah pilihannya itu
memenuhi utilitinya, akan tetapi juga mempertimbangkan mestikah memilih pilihan
itu. Misalnya, pertanyaannya bukan hanya, “Dapatkah benda ini dibeli?” Tetapi
juga “Haruskah minuman keras ini dibeli?”. Oleh karena itu Viktor J. Vanberg[28] menyatakan bahwa karena tidak mungkin
mencapai konsisten yang terus menerus dalam pilihan rasional, beliau menyatakan
perlu ada sebuah teori yang disebut dengan theory of behavioural adaptation.
4.
Terlalu materialistik. Teori
ilmu ekonomi konvensional menganggap manusia senantiasa ingin mencapai
keuntungan material yang lebih tinggi sedangkan sebenarnya ada batasan dalam
kehendak manusia. Dalam kenyataannya keinginan manusia tidak hanya dibatasi
oleh budget constrain/level of income, tingkat harga, atau
tingkat modal yang dipunya, tetapi juga oleh hukum, peraturan perundangan,
tradisi, nilai-nilai/ajaran agama, nilai moral, dan tanggung jawab sosial.[29]
Secara konseptual terdapat perberbedaan mendasar antara ekonomi
konvensional dan ekonomi Islam dalam memandang manusia. Ekonomi konvensional
mengasumsikan manusia sebagai rational economic man, sedangkan ekonomi
Islam hendak membentuk manusia yang berkarakterkan Islamic man (‘Ibadurrahman),
(QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten
dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang
seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules
untuk mengantarkan kesuksesan hidup.
Islamic man dalam
mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata bertujuan memaksimumkan kepuasan,
tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, israf atau
tidak, tabzir atau tidak, memudaratkan masyarakat atau tidak dan lain-lain.
Ketakwaannya kepada Allah dan kepercayaannya kepada hari kiamat membuatnya
senantiasa taat kepada rules Allah dan Rasul-Nya.
Islamic man tidak
materialistik, ia senantiasa memperhatikan anjuran syariat untuk berbuat
kebajikan untuk masyarakat, oleh karena itu ia baik hati, suka menolong, dan
peduli kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan kesenangannya untuk
menyenangkan orang lain. (QS 2: 215; QS 92: 18-19). Motifnya dalam berbuat
kebajikan kepada orang lain, baik dalam bentuk berderma, bersedekah, menyantuni
anak yatim, maupun mengeluarkan zakat harta, dan sebagainya, tidak dilandasi
motif ekonomi sebagaimana dalam doctrine of social responsibility,
tetapi semata-mata berharap keridhaan Allah SWT.
Dalam ekonomi Islam, tindakan rasional termasuklah kepuasan atau keuntungan
ekonomi dan rohani baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan dalam ekonomi
konvensional cakupan tujuannya terbatas hanya pada kepuasan atau keuntungan
ekonomi saja. Oleh karena itu, dimensi waktu dalam ekonomi Islam adalah
lebih luas dan menjadi perhatian tersendiri pada tingkat agen-agen ekonomi di
dalam Islam. Dalam ekonomi Islam, di dalam menjalankan perekonomian tidak hanya
berasaskan pada logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai
moral dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah SWT.
Manusia perlu bertindak rasional karena ia mempunyai beberapa kelebihan
dibanding ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dianggap bertindak rasional
apabila .individu tersebut mengarahkan perilakunya untuk mencapai tahapan
maksimum sesuai dengan norma-norma Islam.[30] Individu rasional adalah individu yang
berusaha memaksimumkan al-falah dibanding memaksimumkan kepentingan
diri sendiri.
1.
Konsep kesuksesan
Islam membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya
melalui tindakan-tindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya
kesuksesan materi akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan
mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur
dengan moral agama Islam, bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin
tinggi moralitas seseorang, semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai.
Kebajikan, kebenaran dan ketakwaan kepada Allah SWT merupakan kunci dalam
moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan perilaku yang
baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta menjauhkan diri dari kejahatan.
Ketakwaan kepada Allah dicapai dengan menyandarkan seluruh kehidupan hanya
karena (niyat), dan hanya untuk (tujuan) Allah, dan dengan cara
yang telah ditentukan oleh Allah.[32]
2.
Jangka waktu perilaku konsumen
Dalam pandangan Islam kehidupan dunia
hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal di akhirat. Maka dalam mencapai
kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua tempoh waktu tersebut, demi mencapai
kesuksesan yang hakiki. Oleh karena itu sebagian dari keuntungan atau kepuasan
di dunia sanggup dikorbankan untuk kepuasan di hari akhirat. Manakala dalam
pandangan konvensional mereka tidak memperhitungkan hal tersebut karena mereka
menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya, sehingga tidak perlu
menyisihkan sebagian hartanya dari keuntungan atau kepuasan untuk masa yang
tidak jelas dan tidak logis pada hari akhirat.
3.
Konsep kekayaan
Kekayaan dalam konsep Islam adalah
amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu untuk mencapai kesuksesan
di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan konvensional kekayaan adalah
hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka di dunia.
4.
Konsep barang
Konsep barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai
moral. Dalam al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu: al-tayyibat
(barangan yang baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq
(pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal
dan haram. Menurut ekonomi Islam, barang bisa dibagi pada tiga kategori yaitu:
barang keperluan primer (daruriyyat) dan barang sekunder (hajiyyah)
dan barang tersier (tahsiniyyat). Barang haram tidak diakui sebagai
barang dalam konsep Islam. Dalam menggunakan barang senantiasa memperhatikan maqasid
syariah (tujuan syariah). Oleh karena itu konsep barang yang tiga macam
tersebut tidak berada dalam satu level akan tetapi sifatnya bertingkat dari daruriyyat,
hajiyyat dan tahsiniyyat. [33]
5.
Etika konsumen
Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai
kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan
berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf (pembaziran)
dan tabzir (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi
dan lainnya.
Dengan demikian economic rationality from Islamic view bermakna:
(1) konsisten dalam pilihan ekonomi (2) Content pilihan tidak
mengandungi haram, israf, tabdzir, mudarat kepada masyarakat (jadi senantiasa
taat kepada rules Allah) (3) Memperhatikan faktor eksternal seperti
kebaikan hati (altruism) yang sesungguhnya, interaksi sosial yang
mesra. Menurut Siddiqi, perilaku rasional dalam ekonomi Islam tidak selalu
mengindikasikan pemaksimuman.(Rational behaviour in Islamic economics
doesn’t necessarily imply maximization).
c. Keseimbangan dalam Ekonomi Islam
Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi
konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua tindakan
ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jika tidak
demikian justeru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi Islam yang
tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan
keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara konsumen dan
produsen dapat diukur melalui asumsi-asumsi secara keluk. Memang untuk mengukur
pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan uang, akan
tetapi hanya merupakan ukuran secara anggaran unitnya tersendiri.[34]
Rasionaliti keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional
ditunjukkan pada perilaku seseorang untuk memenuhi kehendaknya dan kehendak
masyarakat sebagaimana ia memenuhi kehendak dirinya sendiri. Kenyataan ini
adalah tidak benar karena perilaku seseorang individu adalah berbeda dengan
perilaku individu lain dan tidaklah mungkin bisa memenuhi keperluan dan
keinginan sendiri apabila keperluan individu itu tidak dipenuhi. Timothy
Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens (makhluk
bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional
memaksimumkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan
reduksi yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral/etika.[35]
Menurut Umer Chapra, sebenarnya kalau tujuan-tujuan normatif masyarakat
telah ditentukan, tidak bisa ada kebebasan tak terbatas untuk mendefinisikan
rasionaliti sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dengan demikian, perilaku
rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku yang kondusif
bagi realiasasi tujuan-tujuan normatif tersebut.[36]
Sebenarnya dapat saja memenuhi kepentingan diri sendiri dalam berbagai
cara, baik ekonomi maupun nonekonomi, yang didasarkan kepada perhitungan uang
atau selain uang. Namun, untuk menyelaraskan dengan orientasi materinya, ilmu
ekonomi mengesampingkan semua aspek kepentingan diri nonekonomi itu, sementara
itu ia hanya menyamakan rasionaliti dengan aspek ekonomi saja. Bahkan
pengertian ekonomi di sini, disederhanakan lagi hanya dikaitkan dengan hitungan
uang.
Ilmu ekonomi telah menciptakan konsep imajiner tentang “manusia ekonomi” di
mana tanggungj awab sosial satu-satunya adalah meningkatkan keuntungannya. Dengan
demikian, ilmu ekonomi hanya memperhatikan perilaku rasional manusia ekonomi
yang dimotivasi hanya oleh dorongan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri
dengan cara memaksimumkan kekayaan dan konsumsinya lewat cara apapun. Semua
keinginan lain yang membawa manusia bersama-sama seperti kerjasama, saling
menyayangi, persaudaraan dan altruisme, di mana orang berjuang untuk
kebahagiaan orang lain, sekalipun kadangkala hal itu mesti mengorbankan
kepentingan dirinya sendiri, dikesampingkan sama sekali. Dengan demikian,
jebakan ilmu ekonomi sekularis pada dasarnya adalah bagaimana memenuhi
kepentingan diri sendiri lewat maksimumisasi kekayaan dan konsumsi sebagai alat
utama untuk melakukan filterasasi, motivasi, dan restrukrisasi.[37]
Berbeda dengan tujuan utama konsumsi oleh konsumen dalam ekonomi
konvensional yang semata-mata memaksimumkan utilitinya, dalam Ekonomi Islam
yang berasaskan syariat Islam, menolak aktivitas manusia yang selalu
memenuhi segala kehendaknya untuk memaksimumkan utiliti, karena pada dasarnya
manusia memiliki kecenderungan terhadap hal yang baik dan buruk sekaligus.
Kehendak manusia didorong oleh suatu kekuatan dalam diri manusia (inner
power) yang bersifat pribadi, dan karenanya seringkali berbeda antara satu
orang dengan lainnya (sangat subjektif). Kehendak tidak selalu sesuai dengan
rasionaliti, karena sifatnya yang tak terbatas. Kekuatan dari dalam diri
manusia itu disebut jiwa atau hawa nafsu (nafs) yang menjadi penggerak
aktiviti manusia.[38] Karena kualitas hawa nafsu manusia
berbeda-beda, maka sangat wajar apabila kehendak satu orang dengan lainnya
berbeda-beda pula.[39]
Secara sistematis perangkat penyeimbang
perekonomian dalam Islam berupa:
a. Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak
di investasikan, sehingga mendorong pemilik harta untuk menginves hartanya,
disaat yang sama zakat tidak diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang
diinvestasikan, Islam tidak mengenal batasan minimal untuk laba, hal ini
menyebabkan para pemilik harta berusaha menginvestasikan hartanya walaupun ada
kemungkinan adanya kerugian hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan,
maka kemungkinan kondisi resesi dalam Islam dapat dihindari.
b. Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit
and loss sharing) menggantikan pranata bunga membuka peluang yang sama
antara pemodal dan pengusaha, keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat
dihilangkan dalam sistem bagi hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara
sektor moneter dan sektor riil.
c. Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas
moneter dengan sektor belanja negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin
dilakukan kecuali ada sebab-sebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya
inflasi.
d. Keadilan dalam distribusi pendapatan dan harta.
Fakir miskin dan pihak yang tidak mampu ditingkatkan pola konsumsinya dengan
mekanisme zakat, daya beli kaum dhu’afa meningkat sehingga berdampak pada
meningkatnya permintaan riil ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan
kerja.
e. Intervensi negara dalam roda perekonomian.
Negara memiliki wewenang untuk intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal
tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada sektor privat untuk menjalankannya
seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat.
Ada dua fungsi negara dalam roda perekonomian: (1) Melakukan pengawasan terhadap
jalannya roda perekonomian dari adanya penyelewengan atau distorsi seperti ;
monopoli, upah minimum, harga pasar dan lain-lain. (2) Peran negara dalam
distribusi kekayaan dan pendapatan serta kebijakan fiskal yang seimbang.
d. Konsep Need Membawa Maslahah
Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan kehendaknya (want)
sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk kehidupan
dunia dan akhirat. Sedangkan keperluan (need) muncul dari suatu
pemikiran atau identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang
diperlukan untuk mendapatkan manfaat bagi kehidupan. Keperluan diarahkan oleh
rasionaliti normatif dan positif yaitu rasionaliti ajaran Islam, sehingga
bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya. Jadi, seorang muslim
mengkonsumsi suatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi keperluannya sehingga
memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal ini
merupakan asas dan tujuan dari syariat Islam itu sendiri, yaitu maslahah
al-ibad (kesejahteraan hakiki untuk manusia), sekaligus sebagai cara untuk
mendapatkan falah yang maksimum.
Rasionaliti dalam ekonomi Islam, senantiasa memperhatikan maslahah
untuk diri, keluarga dan masyarakat, utiliti bukanlah suatu prioritas, walau
tidak dibuang. Implikasi pengaplikasian konsep need ini dalam mewujudkan
maslahah adalah sebagai berikut:
1.
Menghindarkan diri dari sikap
israf (berlebih-lebihan melampaui batas).
Seorang konsumen muslim akan selalu
mempertimbangkan maslahah bagi diri dan masyarakatnya dalam mengkonsumsi
suatu barang atau jasa dan menghindari sikap israf.[40]
Ia tidak akan menuruti want-nya untuk mendapatkan utiliti yang
maksimum, apabila didapati want-nya itu mengandungi israf. Misalnya,
seorang muslim tidak akan mengkonsumsi makanan yang mahal-mahal walau income-nya
memungkinkan untuk membelinya, sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan
karena tidak punya makanan. Ia akan memilih untuk menginfakkan sebagian income-nya
kepada tetangganya agar dapat makan. Dengan begitu ia berarti mendahulukan
maslahah daripada memaksimalkan utiliti untuk diri pribadinya.
2.
Mengutamakan akhirat daripada dunia.
Pada asasnya
seorang muslim akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu di antara mengkonsumsi
barang ekonomi yang bersifat duniawi saja dan yang bersifat ibadah (ukhrawi).
Pengunaan barang atau jasa untuk keperluan ibadah bernilai lebih tinggi dari
konsumsi untuk duniawi. Konsumsi untuk ibadah lebih tinggi nilainya karena
orientasinya adalah al-falah yang akan mendapatkan pahala dari Allah
SWT, sehingga lebih bertujuan untuk kehidupan akhirat kelak. Oleh
karena itulah, konsumsi untuk ibadah pada hakikatnya adalah konsumsi untuk masa
depan (future consumption), sedangkan konsumsi duniawi adalah hanya
untuk konsumsi masa sekarang (present consumption). Semakin besar
konsumsi untuk ibadah maka semakin tinggi pula al-falah yang akan
dicapai, vice versa.[41]
3.
Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan (daruriyyah, hajiyyah,
dan tahsiniyyah)
Keperluan
manusia dalam konsumsi memiliki tingkat kepentingan yang tidak selalu sama.
Terdapat prioritas-prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan
tingkat kemanfaatan dan kemendesakan dalam pemenuhannya. Para
ulama telah membagi prioritas ini menjadi tiga, yaitu al-hajat
al-dharuriyyah, al-hajat al-hajiyyah, dan al-hajat
al-tahsiniyyah. Seorang muslim perlu mengalokasikan budget-nya
secara urut sesuai dengan tingkat prioritasnya secara konsisten.
Keperluan pada tingkat dharuriyyah mesti dipenuhi terlebih dahulu,
baru kemudian hajiyyah dan akhir sekali tahsiniyyah.[42]
Prioritas ini semestinya diaplikasikan pada semua jenis keperluan, yaitu agama
(al-din), kehidupan, harta, ilmu pengetahuan (akal) dan kelangsungan
keturunan.
Syariah Islam memiliki seperangkat etika
dan norma yang mesti dipedomani dalam semua aktivitas kehidupan. Beberapa etika
misalnya kesederhanaan, keadilan, kebersihan, halalan toyyiba,
keseimbangan, dan lain-lain. Ringkasnya, seorang muslim dalam beraktivitas,
khususnya dalam mengkonsumsi barang atau jasa mestilah berpedoman pada etika
dan norma yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Ini artinya, ia lebih
mengutamakan maslahah, dari mendapatkan utiliti untuk memenuhi want-nya
yang relatif tidak terbatas.
Menurut Anas Zarqa’,[44]
perilaku muslim yang rasional dalam mengaplikaiskan konsep need akan mendorong
individu untuk berada pada suatu tingkat yang berada di antara pembaziran dan
kecukupan. Rasional dalam mengkonsumsi menurut modelnya adalah:
1.
Konsumen yang rasional tidak akan berpuas hati sebelum sampai ke tahap
barang kecukupan yang mampu diusahakan, karena akan dihukum bersalah dan
dianggap menimbulkan penganiayaan terhadap diri dan keluarga.
2.
Tidak melebihi garis pembaziran, karena dilarang Islam
3.
Konsumen tidak menggunakan barang terlarang, karena berkibat buruk di
akhirat.
4.
Bersedia share sebagian dari konsumsinya dengan orang lain atas
sikap mematuhi prinsip Islam seperti zakat, sadaqah, infaq.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah
perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Di antara
perbedaan mendasar itu adalah:
1. Rasionaliti
dalam ekonomi konvensional adalah rational
economics man yaitu tindakan
individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self
interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas.
Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur
waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat.
Sedangkan dalam ekonomi Islam jenis manusia yang hendak dibentuk adalah Islamic
man (‘Ibadurrahman), (QS 25:63). Islamic man dianggap
perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan
untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin,
Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan
hidup. Ekonomi Islam menawarkan konsep rasionaliti secara lebih menyeluruh
tentang tingkah laku agen-agen ekonomi yang berlandaskan etika ke arah mencapai
al-falah, bukan kesuksesan di dunia malah yang lebih penting lagi
ialah kesuksesan di akhirat.
2. Tujuan
utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat,
sedangkan ekonomi konvensional semata-mata kesejahteraan duniawi.
3. Sumber
utama ekonomi Islam adabah al-Quran dan al-Sunnah atau ajaran Islam. Segala
sesuatu yang bertentangan dengan dua sumber tersebut harus dikalahkan oleh
aturan kedua sumber tersebut. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang
berdasarkan pada hal-hal yang bersifat positivistik.
4. Islam
lebih menekankan pada konsep need daripada want dalam menuju
maslahah, karena need lebih bisa diukur daripada want.
Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan want dan need
sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk kehidupan
dunia dan akhirat.
5. Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen
dalam ekonomi konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan.
Semua tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Jika tidak demikian justeru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi
Islam yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga
mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara
konsumen dan produsen dapat diukur melalui asumsi-asumsi secara keluk. Memang
untuk mengukur pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan
uang, akan tetapi hanya merupakan ukuran secara anggaran unitnya tersendiri. Wallahua’lam
bi Ash-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
AbulHasan M. Sadeq, 1992, “Islamic Economic
Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings in
Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd.
Ahmad,
Khursid, 1992, dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics,
(Jeddah: IRTI – IDB.
Al-Syatibi,
t.t., al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.
Chapra, M.
Umer, 1995, Islam and Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic
Foundation.
Chapra, Umer,
2001, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam/The Future of
Economics: An Islamic Perspective. Ikhwan Abidin Basri (terj.) Jakarta: Gema Insani
Press
Choudory,
Masudul Alam, 1989, The Paradigm of Humanomics. Bangi: UKM
Gorringe,
Timothy, 1999, Fair Shares: Ethics and The Global Economy. Slovenia: Thames
Hamilton, Clive,
1994, The Mystic Economist. Australia: Hamilton
Hamouri, Qasem,
1991, “Rationality, Time and Accounting for The Future in Islamic Thaought”,
dalam Faridi (ed), Essays in Islamic Economic Analysis. New Delhi: Genuine
Publication & Media PVT. Ltd.
Heap, Shaun
Hargreaves, 1992, “Rationality”, dalam Shaun Hargreaves Heap et. al (1992),
The Theory of Choice: A Critical Guide. Oxford UK: Basil Blackwell Ltd.
Joni Tamkin
Bin Borhan, 2002, “Economic Function of The State: An Islamic Perspective”
dalam Jurnal Usuluddin, No. 16, Kuala
Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.
___________________
2002, “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal
Usuluddin, No. 15, Kuala
Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.
Kahf, Monzer,
1989, “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar
(eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling
Jaya: Pelanduk Publications.
_____________1992,
“The Theory of Consumption” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in
Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn
Bhd.
__________, “A
Contribution to the theory of Consumer Behaviour in Islamic Society” dalam
Sayyid Tahir et al. (ed), Readings
in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia
___________
1991, “Zakat: Unresolved Issues in Contemporery Fiqh”, dalam AbulHasan M. Sadeq
et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling
Jaya: International Islamic University Press.
Khan, M. Fahim,
1992, “Theory of Consumer Behaviour in Islamic Perspective”, dalam Sayyid Tahir
et al. (ed), Readings
in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia
____________
1994, An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan.
Khan, Muhammad
Akram, 1989, “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed
Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling
Jaya: Pelanduk Publications.
M.B. Hendrie
Anto, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta:
EKONISIA
Mannan, M.
Abdul, 1986, Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder
and Stoughton Ltd.
____________1993, Ekonomi Islam: Teori dan
Praktek (terj.). Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf
____________1982,
“Scarcity, Choice and Opportunity Cost: Their Dimension in Islamic Economics” Saudi Arabia:
International Centre for Research in Islamic Economics
March, James G.
1986, “Bounded Rationality, Ambiguity, and the Engineering of Choice”, dalam
Jon Elster (ed.) Rational Choice. Oxford UK: Basil Blackwell Ltd.
Miller, Roger
LeRoy, 1997, Economics Today, The Micro View, edisi 9. New York: Addison Wesley
Mohammad Daud
Ali, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Nomani, Farhad
dan Ali Rahnema, 1994, Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd.
Qaradawi,
Yusuf al-, 1998, al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami.
Rahman,
Afzalur, 1979, Economic Doctrines of Islam, Vol. 4, London: The Muslim Schools Trust.
Samuelson, Paul
dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomics. New York: McGraw-Hill, edisi 17
Siddiqi,
Muhammad Nejatullah, 1991, “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution
and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development
and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University
Press.
______________
1992, “Islamic Consumer Behaviour” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in
Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn
Bhd
Syed Mohd.
Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. 2005, Pengantar Perniagaan
Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd.
Syed Omar Syed
Agil, 1992, “Rationality in Economic Theory: A Critical Appraisal”, dalam
Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings
in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn
Bhd
Tajuldin et.al,
2004, Rasionalisme dari Perspektif Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam:
Implikasi ke Atas Keseimbangan Konsumen dan Keseimbangan Pengeluar. Kertas
kerja untuk seminar
Vanberg, Viktor
J. 1994, Rules and Choice in Economics. London: Routledge, h. 37
Zarqa’, Anas,
1989, “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali
dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic
Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications
[1] Paul R Gregory dan Robert C Stuart, 1981, Comparative
Economic System, Boston:
Houghton Miffin Company, hal. 16.
[2] M. Umer Chapra, 2001, Masa
Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan
Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani
Press, hal. 3.
[3] Roger LeRoy Miller, 1997, Economics Toda: The Micro
View, edisi 9, New York:
Addison Wesley, hal. 6
[4] Qasem Hamouri, 1991, “Rationality, Time and
Accounting for The Future in Islamic Thaought”, dalam Faridi (ed), Essays
in Islamic Economic Analysi, New
Delhi: Genuine Publication & Media PVT. Ltd., hal.
70
[5] M.A. Mannan, 1982, “Scarcity, Choice and Opportunity
Cost: Their Dimension in Islamic Economics” Saudi Arabia: International Centre
for Research in Islamic Economics, hal. 107-109
[6] Ini tergambar dalam ungkapan Adam Smith (1776) dalam
bukunya an Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation, yang
menyatakan “it is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or
the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own
interest”. Sebagaimana dikutip oleh Miller, 1997, hal. 5-6
[7] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomic,
New York:
McGraw-Hill, edisi 17, hal. 30-31 dan 216
[10] Ini tergambar dalam ungkapan Adam Smith (1776) dalam
bukunya an Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation, yang
menyatakan “it is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or
the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own
interest”. Sebagaimana dikutip oleh Miller, 1997, hal. 5-6
[11] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomic,
New York:
McGraw-Hill, edisi 17, hal. 30-31 dan 216
[12] Dalam bukunya yang berjudul Economics, Paul
dan Ronald Wonnacott menulis enam kelemahan mekanisme pasar. Pertama,
sekalipun pasar memberikan kebebasan individu lebih tinggi kepada para pemain
di dalamnya, ia hanya memberikan kepada si lemah kebebasan untuk merasakan
lapar dan tersingkir. Kenyataan menunjukkan, dalam mekanisme pasar yang bebas
dan berjalan baik, banyak orang kaya dapat memberikan makanan yang lebih
bergizi untuk anjingnya daripada si miskin memberikan makanan kepada diri dan
keluarganya. Kedua, dalam suatu sistem perekonomian dengan
sistem pasar yang tidak diatur, akan terjadi keadaan yang sangat tidak stabil
dengan inflasi tinggi, diikuti oleh resesi yang tajam. Bila ini terjadi,
segenap lapisan masyarakat akan menderita. Ketiga, dalam sistem
laissez faire, harga-harga di pasaran tidak selalu mencerminkan kekuatan pasar
yang tidak memihak. Harga-harga yang mencerminkan mekanisme murni permintaan
dan penawaran, hanya terjadi pada pasar bersaing sempurna. Namun pasar ini
hanya ada dalam teori. Dalam faktanya, para produsen senantiasa memiliki
kekuasaan untuk mempermainkan harga dan pasar cenderung berbentuk monopolis,
oligopolis dan persaingan tidak sempurna. Keempat, pasar tidak
menggubris efek eksternalitas seperti polusi udara dan air dan penurunan
kualitas kehidupan fisik. Kelima, dalam wilayah-wilayah tertentu,
kadang-kadang terjadi kegagalan pasar. Jika ini ada, maka pemerintahlah yang
harus mengambil alih komando. Keenam, dalam sebuah perekonomian dengan
mekanisme pasar yang baik, dunia usaha mampu memenuhi keinginan konsumen dengan
sangat baik. Namun harus disadari konsumen bersedia membeli produk tidak selalu
didorong oleh keinginan riil pribadinya yang independen, tetapi sering lebih
dipengaruhi gencarnya iklan di berbagai media. Preferensi dan cita rasa
konsumen telah didikte oleh imajinasi yang ditimbulkan oleh promosi.
[14] M. Abdul Mannan, 1986, Islamic Economics, Theory
and Practice. Cambride: Hodder and Stoughton,
The Islamic Academy; M. Umar Chapra, 2001, What is Islamic Economics,
Jeddah: IRTI – IDB, hal. 44.
[15] David Jean C. Boulakia, 1971, “Ibn Khaldun: A
Fourteenth Century Economist”, Journal of Political Economy, Vol. 79,
No. 5 (September/October), The University of Chicago, hal. 1117-1118.
[16] M. Abdul Mannan, 1986, Islamic Economics; Theory
and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd., hal. 18.
[17] Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1991, “Islamic Economic
Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq
et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling
Jaya: International Islamic University Press, hal. 21. Bandingkan dengan
definisi yang dikemukakan Akram Khan, “Islamic
economics aims at the study of human falah [well-being] achieved by organizing
the resources of the earth on the basis of cooperation and participation”.
Lihat Muhammad Akram Khan, 1994, An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan,
hal. 33. Dan juga definisi Khurshid
Ahmad, ekonomi Islam adalah “a sistematic
effort to try to understand the economic problems and man’s behaviors in
relation to that problem from an Islamic perspective”. Khursid
Ahmad, 1992, dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah:
IRTI – IDB, hal. 19.
[18] Lihat M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit.,
hal. 10-11; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al., 2005, Pengantar
Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd., hal. 50;
Mohammad Daud Ali, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia,
hal. 18.
[22] Al-Quran menyebut kata falah dalam 40
tempat. Falah mencakup
konsep kebahagiaan dalam dua dimensi yaitu dunia dan akhirat. Kebahagiaan
dimensi duniawi, falah mencakup tiga aspek, yaitu: (1) kelangsungan hidup,
(2) kebebasan dari kemiskinan, (3) kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam
kebahagiaan dimensi akhirat, falah mencakup tiga aspek juga,
yaitu: (1) kelangsungan hidup yang abadi di akhirat, (2) kesejahteraan abadi,
(3) berpengetahuan yang bebas dari segala kebodohan. Falah hanya
dapat dicapai dengan suatu tatatan kehidupan yang baik dan terhormat (hayah
al-tayyibah).
Lihat M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit., hal. 7.
[23] Muhammad Akram Khan, 1989, “Methodology of Islamic
Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The
Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk
Publications, hal. 59; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al.,
2005, op.cit., hal. 53; M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit., hal.
7.
[24] Anas Zarqa’, 1989, “Islamic Economics: An Approach to
Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The
Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk
Publications, hal. 29-38.
[25] Joni Tamkin Bin Borhan, 2002, “Metodologi Ekonomi
Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No.
15, Kuala Lumpur:
Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, hal. 77-83; Farhad Nomani dan Ali
Rahnema, 1994, Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd., hal. 2-19; Muhammad
Akram Khan, 1989, op.cit., hal. 53-60; Monzer Kahf, 1989, “Islamic
Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings
in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya:
Pelanduk Publications, hal. 43-48.
[27] Clive Hamilton, 1994, op.cit., hal. 6-7.
Lihat pula Masudul Alam Choudory, 1989, The Paradigm of Humanomics, Bangi:
UKM
[30] Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1992, “Islamic Consumer
Behaviour” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in
Microeconomics An Islamic Perspective, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn
Bhd, hal. 55-56
[31] Monzer Kahf, 1992, “The Theory of Consumption” dalam
Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings
in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia
Sdn Bhd, hal. 62-67
[33] M. Fahim Khan, 1992, “Theory of Consumer Behaviour in
Islamic Perspective”, dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in
Microeconomics An Islamic Perspective, Petaling Jaya: Longman Malaysia, hal.
74
[34] Bandingkan dengan penjelasan Clive tentang transrationality,
Clive Hamilton, 1994, The Mystic Economist, Australia: Hamilton, hal. 158-161
[41] M.B Hendri Anto, 2003, op.cit., hal.
129-131. Lihat pula Monzer Kahf, “A Contribution to the theory of Consumer
Behaviour in Islamic Society” dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings
in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia, hal.
96-98
[42] M.A Mannan, 1993, Ekonomi Islam: Teori dan
Praktek (terj.), Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, hal. 48
0 comments:
Post a Comment