A. Pengertian
Menurut
bahasa riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1. Bertambah,
karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang di
hutangkan.
2. Brkembang
atau berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang
atau yang lainnya yang di pinjam kan kepada orang lain.
3. Berlebihan
atau menggelembung.
Menurtut
istilah, yang di maksud dengan riba menurut:
1.
Al – Mali ialah:
“Akad
yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak di ketahui perimbangannya
menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan mengahiri tukaran ke dua belah
pihak atau salah satu keduanya”
2.
Ulama hanafiyah mengemukakan :
“
Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta”
3.
Menurut Abdurohman Al-jaiziri
“Akad
yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak di ketahui sama atau tidak
menurut aturan syara’ atau terambat salah stunya.[1]
B. Sebab-Sebab Haramnya Riba
Sebab-sebab
perbuatan riba yaitu :
Karena
Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkan nya firman Allah dalam surat
(Al- Baqoroh: 275)
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Dalam
surat Al-Imron Ayat 130 Allah berfirman yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Dalam
surat (An- Nisa: 161) yaitu:
“Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih”.
Dalam
surat ( Al- Baqoroh : 278)
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.
Dalil
dari As-Sunnah:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan
dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka
itu semuanya sama.” (HR. Muslim nomor 2995)
Contoh
transaksi riba:
1. Karena
riba menghendaki harta oranglain dengan tidak ada imbangannya. Misal uang 10.000
di dukar dengan uang receh menjadi 9.950 maka yang 50 ribu di sebut riba
2. Dengan
melakukan riba orang akan malas dalam berusaha yang syah menurut syara.
Misalkan kita punya uang 1.000.000 cukup di simpan di bank dan memperoleh bunga
sebesar 2% tiap bulan. Maka orang tersebut dapat uang tanpa bekerja keras tiap
bulan akan menghasilkan 20.000. maka yang ini di sebut riba dalam bank.
C. Tahap-Tahap Pengharaman Riba
1.
Q.s Ar-ruum ayat 39
“Dan
sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
2.
Q.s An-nisaa ayat 160-161
“Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan
riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
3.
Q.s Ali-imraan ayat 130
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
4.
Q.s Al-baqarah ayat 278-279
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
D. Macam-Macam Riba
Menurut
para ulama fiqih, riba dapat dibagi menjadi 4 (empat) macam, masing-masing :
1.
Riba Fadl
Riba
Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama
timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
Riba fadl disebut juga riba buyu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi criteria kualitasnya, sama kualitasnya, dan sama penyerahannya. Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan dzalim bagi masing-masing pihak.
Riba fadl disebut juga riba buyu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi criteria kualitasnya, sama kualitasnya, dan sama penyerahannya. Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan dzalim bagi masing-masing pihak.
Contoh
: tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan
sebagainya.
2.
Riba Nasi-ah
Riba
Nasi’ah yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupn tidak sejenis yang
pembayarannya disyaraktkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh yang
meminjam.
Riba nasi-ah atau nasa'i juga disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Riba nasi-ah ditemui pada bunga kredit, bunga deposito, bunga tabungan dan bunga giro.
Riba nasi-ah atau nasa'i juga disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Riba nasi-ah ditemui pada bunga kredit, bunga deposito, bunga tabungan dan bunga giro.
Contoh
: Aminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh penjualnya disyaratkan
membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan apalagi
terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan
seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun.
- Riba
Jahiliyah
Riba
Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi produk pinjaman, karena peminjam
tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba
Jahiliyah ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.
- Riba
Qardh
Riba
Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan
bagi orang yang meminjami/mempiutangi.
Contoh
: Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan
mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000
maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
- Riba
Yad
Riba
Yad yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya : orang yang
membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari
sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak
boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.[2]
E. Hal-Hal Yang Menimbulkan Riba
Jika
seseorang menjual benda yang mungkin mendapatkan riba menurut jenisnya seperti
seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu emas dan perak
dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan
gabah dan yang lainnya, maka di syaratkan :[11]
1. Sama
nilainya ( tamsul )
2. Sama
ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya,
3. Sama-
sama tunai ( taqabut ) di masjlis akad.
Berikut
yang termasuk riba pertukaran :[12].
Seseorang
menukar langsung uang kertas Rp. 10.000 dengan uang recehan Rp 9.950 uang
Rp 50 tidak ada imbangan nya arau tidak tamsul, maka uang Rp 50 adalah riba.
Seseorang
meminjamkan uang sebanyak Rp 100.000 dengan syarat dikembalikan ditambah 10 %
dari pokok pinjaman maka 10% dari pokok pinjaman adalah riba sebab tidak ada timbangannya
F. Dampak Riba Terhadap Kehancuran Ekonomi Masyarakat
Firman Allah :
“Apa yang kamu
berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu
tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)
Menurut
pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu
ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik
ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada
intelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi.
Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan
seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha
kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir
semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga.
Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.[3]
Pandangan
umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa
yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia
bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).
Ayat ini
menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak
akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan
Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia
kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan
meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan
sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang, karena riba secara
empiris telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian, khususnya bila
ditinjau dari perspektif makro
Harus
dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam
konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro
jauh lebih besar. Kesalahan umat Islam selama ini adalah membahas riba dalam
konteks ekonomi mikro semata.
Membicarakan
riba dalam konteks teori ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap
ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann
(institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas
riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya
yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X
selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur
sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif
ekonomi mikro.
Padahal
dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba
yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen
ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme. Dalam
sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem
perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme
kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua
struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional. Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan
telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan
dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi
tersebut sangat membahayakan perekonomian.
Pertama,
Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana
sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi
telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat
mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi
puncak utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah
negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel
yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para
spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana
tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini,
dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini
dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Kedua, di
bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia
makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin
miskin. Data IMF menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi sejak tahun
1965 sampai hari ini.
Ketiga. Suku
bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya
pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika
investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan
meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.
Keempat.
Teori ekonomi makro juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan
menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang
terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam,
sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan
Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan
asumsi cateris paribus.
Kelima,
Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt
trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka
kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Kenam,
dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga
berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk
membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan
BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang
besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita
surplus setiap tahun dalam jumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter
Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh
rakyat Indonesia sangat mengerikan.
Dengan
fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak
menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi
perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka
lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi : ”Telah nyata kerusakan di
darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada
mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke
jalan Allah”
Konteks
ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang
dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis
saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Selanjutnya,
dalam membahas dampak riba ini, kita perlu mengutip pendapat Prof. A. M. Sadeq
(1989) dalam artikelnya "Factor Pricing and Income Distribution from An
Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic
Economics. Dia menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi,
setidaknya, disebabkan oleh empat alasan;
Pertama,
sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama
bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu
apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para
peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan
mungkin tidak akan muncul. Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal
bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan
dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang
sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini
sesuatu yang sangat tidak adil?
Kedua, sistim
ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan
antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam
yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya
diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang
relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat
menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para
konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para
pemberi modal (Para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari
masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga,
sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya
tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat
untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di
bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya
tingkat bunga.
Keempat,
bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang
menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa
perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula.
Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi
akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi
ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi
umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi
ribawi seperti disebutkan di atas.
Tak bisa
dibantah bahwa sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi
masyarakat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvensional
yang menganut sistim ribawi. Tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih
keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam
memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para
peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi
tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang
diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat
akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.
Demikian
pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para
peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya.
Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu
selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau
tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau
tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat
disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebabkan
semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang
peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak
bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat
mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.
Sistem
ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang (currency)
sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat
bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi
akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan
uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan
dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat
bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat
inflasi 8 %, maka tingkat bunga riel adalah 4% (12% - 8%). Ini berarti walaupun
tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi)
tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk
membeli Rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih
rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di negara-negara lain.
Inilah
penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya
permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh
jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah
permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan
sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang
beredar di pasar, sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah
akan menurun, dan sebaliknya.
Sebenarnya,
inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessman asing,
para businessman dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata
uang asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga
bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi
dengan larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi
ketersediaan dana yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas
semakin memperparah penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana
asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya,
akan menyebabkan krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.
Memang,
harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya
saing komoditas eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif
murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli
dengan mata uang asing.
Tetapi,
penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab
kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri
dari bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan
harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing
jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut
akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas itu harus dijual dengan
harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan
memberi kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar internasional.
Permasalahan
di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi
dalam sistim ekonomi negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan
dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel, sebab ekonomi Islam tidak
mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi
tanpa bunga tidak mengalami volatilitas yang membahayakan.
Di
Indonesia, sistem ekonomi ribawi telah menimbulkan dampak yang sangat buruk
bagi perekonomian Indonesia. Dana APBN kita setiap tahun dikuras untuk
kepentingan membayar bunga dalam jumlah yang besar, baik untuk bunga pinjaman
luar negeri, terlebih untuk membayar bunga obligasi rekap kepada bank-bank
sistem ribawi.
Besarnya
kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi kepada bank-bank rekap sangat luar
biasa. Pada tahun 2001 saja, bunga obligasi yang harus dibayar APBN sebesar Rp 61,2
Triliyun. Dan ini berlanjut terus setiap tahun sampai sekarang, walaupun
cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban membayar bunga itu, tidak
mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit
Rp 54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 difisit
Rp 35 triliun. Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu , karena dana APBN
masih dikuras bunga bank sebesar Rp 68 Trilyun. Bahkan sampai sekarang APBN
kita tetap defisit, karena hampir sepertiga dana APBN diperuntukkan bagi
pembayaran bunga. Maka, agar negara kita selemat dari ancaman dan dampak riba
yang terus menggerogoti APBN, seharusnya bangsa Indonesia sadar untuk kembali
kepada penerapan sistem ekonomi syariah.
[1]Abdullah, "Fiqh Muammalah", on line,
http://kadiirawanwiner.blogspot.com/2011/05/riba-fiqih-muamalat.html,
29 Maret 2009, diakses tanggal 2 Oktober 2012.
[2]Null,
"Fiqh Dan Muammalah", on line, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-dan-dampaknya-1.html, 17 Juni 2008, diakses tanggal 2 Oktober 2012.
[3]Muhammad Nur Ichwan, "Dampak Riba Terhadap Kehancuran Ekonomi",
on line, http://economyislam.blogspot.com/2009/05/dampak-riba-terhadap-kehancuran-ekonomi.html
, 12
Mei 2009, diakses tanggal 2 Oktober 2012.
0 comments:
Post a Comment