A.
PENGERTIAN
FIQH MUAMALAH
Istilah
fiqh muamalah terdiri dari dua kata, yaitu kata fiqh dan muamalah. Kata fiqh
secara etimologi (bahasa) berarti paham,
seperti pernyataan “Saya paham akan
kejadian itu”. Sedangkan secara terminologi
(istilah) yaitu pengetahuan tentang hukum syariah
islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan
berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil terperinci.[1]
Atau dapat dikatakan, fiqh adalah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam
syariat atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia baik yang
bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.[2]
Yang menjadi dasar dan pendorong bagi umat Islam untuk mempelajari ilmu fiqh
adalah, pertama, untuk mencari kebiasaan paham dan pengertian dari agama
Islam, kedua, untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan
dengan kehidupan manusia, ketiga, kaum muslimin harus bertafaqquh
artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama baik dalam bidang aqaid
dan akhlak maupun dalam bidang ibadat dan muamalat.[3]
Sedangkan
kata muamalah secara harfiah berarti
pergaulan atau hubungan antar manusia. Dalam pengertian muamalah secara umum
ini, muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah. Muamalah
merupakan perbuatan manusia dalam menjalin hubungan atau pergaulan antar sesama
manusia (habluminannas) sedangkan
ibadah adalah habluminallah.
Dalam arti
luas, fiqh muamalah adalah fiqh yang mengatur hubungan antar individu dalam
sebuah masyarakat. Pengertian yang lebih rinci yang diungkapkan Musthofa Ahmad
al-Zarqa, yang dimaksudkan fiqh muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan
dengan perbuatan manusia dan hubungan sesama manusia dalam urusan kebendaan,
hak-hak kebendaan, serta penyelesaian perselisihan di antara mereka.[4]
B.
OBJEK
KAJIAN FIQH MUAMALAH
Dalam
hal ini, objek kajian atau ruang lingkup fiqh muamalah secara garis besar
meliputi pembahasan tentang harta (al-mal),
hak-hak kebendaan (al-huquq), dan
hukum perikatan (al-aqad).[5]
a) Hukum
Benda,terdiri dari:
Pertama, konsep harta (al-mal),meliputi pembahasan tentang
pengertian harta, unsur-unsur dan pembagian jenis-jenis harta.
Kedua, konsep hak (al-huquq), meliputi pembahasan tentang
pengertian hak, sumber hak, perlindungan dan pembatasan hak, dan pembagian
jenis-jenis hak.
Ketiga, konsep tentang hak milik (al-milkiyah),
meliputi pembahasan tentang pengertian hak milik, sumber-sumber pemilikan, dan
pembagian macam-macam hak milik.
b) Konsep
Umum Akad, mambahas tentang pengertian akad dan tasharruf, unsur-unsur akad dan syariat masing-masing unsur, dan
macam-macam akad.
c) Aneka
Macam Akad Khusus membahas tentang berbagai macam transaksi muamalah seperti
berikut:
a. jual
beli (al-bai’ at tijarah)
b. gadai (rahn)
c. jaminan
dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
d. pemindahan
hutang (hiwalah)
e. perseroan
atau perkongsian(asy-syirkah)
f.
perseoran harta dan tenaga (al-mudharabah)
g. sewa
menyewa (al-ijarah)
h. utang
piutang (al-qard)
i.
pinjam-meminjam (al ariyah)
j.
penitipan (al-wadi’ah)
k. dan
lain sebagainya, yang masing-masing akan disampaikan dalam bab tersendiri.
C.
SUMBER HUKUM
FIQH MUAMALAH
Sebagaimana
telah diungkapkan di atas bahwa fiqh adalah pengetahuan tentang hukum syariah islamiyah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari
dalil-dalil terperinci, maka sumber dari fiqh muamalah tentunya berasal dari
sumber hukum syariah islamiyah itu
sendiri. Diantaranya adalah:
a. Al
Qur’an dan Sunnah
Al
Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui
malaikat Jibril, dibacakan secara mutawatir yang merupakan kumpulan wahyu Allah
untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat di dunia. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan istinbath hukum
fiqh muamalah haruslah sesuai dengan ajaran yang ada di dalam Al-Qur’an, karena
memang sumber hukum utama dan pertama bagi umat muslim adalah Al-Qur’annul
Karim.
Sunnah
merupakan sumber istinbath hukum
kedua setelah Al-Qur’an. Maka wajib hukumnya penggalian sumber hukum yang
mendasari fiqh muamalah harus juga tidak boleh menyimpang dari sunnah
Rasulullah SAW.
Inti
terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan
manusia. Karena itu para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan
muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan,
Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya. Dalam konteks ini,
Allah berfirman dalam Qs. Hud: 84
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ
شُعَيْبًا قَال يَا قَوْمِ َ اعْبُدُوا اللَّه مَا لَكُمْ َ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
وَلا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي
أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيط
“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami
utus) saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan
bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan,
sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya
aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat).” ٍ
Sesungguhnya Al Qur’an dan sunnah
tidak mengatur perilaku ekonomi kecuali hal-hal yang bersifat prinsip, misalnya
tentang riba ataupun pelarangan melakukan perbuatan curang dalam berniaga. Seperti
dalam Qs. Ar Rum: 39,
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًالِيَرْبُو فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا
يَرْبُو عِنْدََ اللَّه وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ
فَأُولَئِكَ هُم الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”
Dan hadis riwayat Muslim, yang
artinya “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima
riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang
saksinya, kemudian Beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama”. (HR.Muslim).
b. Qiyas
Dasar hukum ketiga adalah qiyas. Qiyas
dipergunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, jika tidak ada ketetapannya
dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Menurut istilah, qiyas adalah mengeluarkan
(mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum
mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada/telah ditetapkan oleh
al-Qur’an dan as-sunnah, disebabkan sama ‘illat
antara keduanya. Menurut jumhur ulama’, qiyas adalah hukum syara’ yang
dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan firman Allah
dalam Qs. Al-Hasyr: 2,
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي
الأبْصَارِ
”Maka menjadi
pandangan bagi orang-orang yang berpikir”. Kalimat yang menunjukkan
qiyas dalam ayat ini adalah “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan
antara hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
c. Ijma’
Di
samping dasar-dasar hukum syara’ yang menjadi sumber hukum dalam menetapkan
hukum suatu masalah, ijma’ (kesepakatan para ulama’) juga sering dipergunakan
sebagai dasar hukum keempat.
d. Ijtihad
Ijtihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan pemikiran,
menghabiskan kesanggupan. Artinya mencurahan kesanggupan yang ada dalam
membahas (menyelidiki) suatu masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang
sulit bertitik tolak kepada Al Qur’an
dan as-Sunnah
D.
PRINSIP-PRINSIP
DALAM FIQH MUAMALAH
Di
antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
1.
Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).
Ulama fiqh
sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah),
kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa
mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan
nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya
adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan
nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak
terdapat syariat dari-Nya. [6]
2.
Konsentrasi Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan
Fiqh
muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan
dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali
dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak
bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu
Taimiyah berkata: “Syariah diturunkan
untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan
mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa
pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat,
dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan
yang lebih kecil” .
Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama
syariah Islam itu sendiri. Para ulama
merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan
kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah
ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat
tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam
ekonomi Islam. Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan)
dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh
mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan,
kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. (jalb al-naf’y
wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpulkan, maslahah adalah upaya
mewujudkan dan memelihara lima
kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki
ruang lingkup yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah
umumnya bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas.
Ekonomi Islam yang menjadi salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah
murni (ibadah mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi),
sehingga sedikit sekali ruang untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang
ibadah sangat sempit. Lain halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup
terbuka bagi inovasi dan kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi
Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan
patokan penting. Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang oleh
Shadr dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al tasyri`y (area yang
kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang menyinggung masalah yang
terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis, membuka peluang yang besar
untuk mengembangkan ijtihad dengan prinsip maslahah.
3.
Keadilan Bagi Kedua Belah Pihak
Adil
adalah perintah Allah Swt. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan,” (QS. An-Nahl:90). Meskipun berbuat adil bagian dari
perintah Allah, tetapi banyak di antara manusia yang mengabaikan berbuat adil,
mereka berkecenderungan berbuat kecurangan, kezaliman, kelaliman demi
keuntungan pribadi, kelompok, dan golongan tertentu, bahkan demi etnis
tertentu. Padahal Allah mengancam bagi para pembelot dari kebenaran dan
keadilan dengan ancaman neraka,”Adapun orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran
maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahanam,”(QS. Al-Jin:15).
Begitupun dalam bermuamalah,
konsep keadilan bagi kedua belah pihak
adalah menjadi prioritas utama dalam kegiatan muamalah dalam Islam.
Misalnya adil dalam
transaksi perdagangan.”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil,”(QS.
Al-An-am: 152). Terkadang kita meremehkan tentang keadilan dalam menakar dan
menimbang, padahal Allah menyuruh kita untuk berlaku adil terhadap hal
tersebut. Banyak masyarakat kita terutama yang berdagang dan sering menggunakan
alat bantu berupa timbangan, mereka sering tergoda untuk mengambil keuntungan
dengan mengurangi timbangan dan takaran. Bahkan demi keuntungan yang sedikit
kita rela mengorbankan konsumen dengan mengurangi kualitas dan takaran, padahal
perbuatan itu dilarang oleh agama kita.
E.
TUJUAN
MEMPELAJARI FIQH MUAMALAH
Pertama,
sebagai ketaatan kepada syariah Allah Swt. Menurut Husein Shahhatah, dalam
bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami dan
mengamalkan muamalah (ekonomi Islam) sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah.
Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada
sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari.[7]
Kedua,
mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya
tidak lagi persial, karena Islam bukan saja ibadah dan munakahat, tetapi juga
aspek-aspek lainnya, terutama ekonomi. Bila umat Islam masih bergelut dan
mengamalkan sistem ekonomi ribawi dalam berbagai kegiatan ekonomi, berarti
keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya.
Ketiga, menerapkan
dan mengamalkan ekonomi syariah baik dalam mencari nafkah, berdagang atau
melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian
syari’ah, atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi.
Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah
terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang
mengamalkan ekonomi syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan
ajaran Islam dan meninggalkan ribawi.
Keempat, praktek
ekonominya berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan
syari’ah Allah Swt.
Kelima, mengamalkan
ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti
mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri, berarti ’izzul Islam wal
muslimin.
Keenam, mengamalkan
ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah lembaga
keuangan syariah seperti bank syariah dan asuransi Syari’ah, berarti mendukung
upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana yang
terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu
sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin.
Ketujuh,
mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi
munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk
usaha-usaha atau proyek-proyek halal.
Kedelapan :
mengamalkan ajaran ekonomi syariah akan dapat meningkatkan kesejahteraan umat
dan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustianto,
An Introduction to Fiqh Muamalah,
dalam http://Www.Agustiantocentre.Com/?P=788akses tgl 27
Okt 2011 pukul 11:30
Bakry,Nazar,
Fiqh dan Ushul Fiqh,Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2003
Mas’adi,
Ghufron A, Fiqh Muamalah Kontekstual,
Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada,2002
Nabela,Prinsip Dasar Fiqh Muamalah, dalam http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/prinsip-dasar-fiqh-muamalah/
akses tgl 27 Oktober 2011 pkl 11:22
Syafe’i,Rachmat,
Fiqh Muamalah, Bandung:CV Pustaka Setia, 2001
[1] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung:CV Pustaka Setia, 2001, Hal: 13-14
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2003.Hal:7
[3] Nazar Bakry. Hal: 5
[4] Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,2002,Hal:2
[5] Ghufron A Mas’adi. Hal:3-5
[6]Nabela,Prinsip Dasar Fiqh Muamalah, dalam http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/prinsip-dasar-fiqh-muamalah/ akses tgl 27 Oktober 2011 pkl 11:22
[7] Agustianto, An Introduction to Fiqh Muamalah, dalam http://Www.Agustiantocentre.Com/?P=788akses tgl 27 Okt 2011 pukul
11:30
0 comments:
Post a Comment