A.
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi
syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari jasa para pemikir ekonomi
syariah. Mereka memberikan sumbangsih yang tidak sedikit tidak hanya dari
pemikiran cemerlang mereka tentang ekonomi syariah tetapi juga atas dedikasi mereka
dalam perkembangan dan pembangungan ekonomi syariah di Indonesia. Di antara
para ahli ekonomi tersebut antara lain Dawam Rahadjo, A.M. Saefudin, Karnaen
Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Muhammad Syafi’i Antonio, Zainal Arifin, Mulya
Siregar, Riawan Amin, dan juga Adiwarman Karim. Namun dalam tulisan ini,
penulis lebih memfokuskan pembahasan tentang pemikiran salah satu pakar ekonomi
Indonesia yaitu Adiwarman Karim. Karena tidak dipungkiri, beliau juga memiliki
andil besar dalam perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dengan berbagai
pemikiran beliau di antaranya lewat karya tulis beliau yang mampu memperkaya
khazanah keilmuan khususnya di bidang ekonomi Islam dan juga lewat kontribusi
beliau dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Bahkan Bapak Adiwarman
Azwar Karim juga dijuluki "BEGAWAN EKONOMI ISLAM".[1]
B.
BIOGRAFI
Nama lengkap
dan gelarnya adalah Ir.H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., lahir
di Jakarta pada 29 Juni 1963. Adiwarman atau Adi (nama panggilan) merupakan
cerminan sosok pemuda yang mempunyai "hobi" belajar. Pendidikan
tingkat S1 ia tempuh di dua perguruan tinggi yang berbeda, IPB dan UI. Gelar
Insinyur dia peroleh pada tahun 1986 dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada
tahun tahun 1988 Adiwarman berhasil menyelesaikan studinya di European
University, Belgia dan memperoleh gelar M.B.A. setelah itu ia menyelesaikan
studinya di UI yang sempat terbengkalai dan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi
pada tahun 1989. Tiga tahun berikutnya, 1992, Adiwarman juga meraih gelar
S2-nya yang kedua di Boston University, Amerika Serikat dengan gelar
M.A.E.P. Selain itu ia juga pernah terlibat sebagai Visiting Research
Associate pada Oxford Centre for Islamic Studies.
Modal
akademis dan konsistensinya pada bidang ekonomi menghantarkannya untuk meniti
berbagai karir prestisius. Pada tahun 1992 Adiwarman masuk menjadi salah satu
pegawai di Bank Mu’amalat Indonesia, setelah sebelumnya sempat bekerja di
Bappenas. Karir Adi di BMI terbilang cemerlang, karir awalnya sebagai staf
Litbang. Enam tahun kemudian ia dipercaya untuk memimpin BMI cabang Jawa Barat.
Jabatan terakhirnya di pionir bank syariah tersebut adalah Wakil Presiden
Direktur. Jabatan tersebut dipegang sampai dengan tahun 2000, ketika ia
memutuskan untuk keluar dari BMI. Menurutnya, memutuskan keluar dari BMI bukan
perkara gampang. Sebab, bekerja di bank syari’ah sudah menjadi keinginannya
sejak masih menjadi mahasiswa. Karena itu ia baru berani memutuskan untuk
keluar dari BMI setelah melakukan shalat istikharah selama 6 bulan.
Keluarnya Adiwarman dari BMI disebabkan ia memiliki agenda yang lebih besar
yang ingin dicapai, yaitu memperjuangkan dibukanya divisi syari’ah di bank-bank
konvensional. Hasil dari upaya Adiwarman tersebut dapat dilihat sekarang ini,
dengan dibukanya divisi-divisi, unit dan gerai syari’ah di beberapa bank
konvensional, meskipun itu bukan satu-satunya faktor penyebabnya.
Setelah
melepas jabatannya di BMI, pada tahun 2001 dengan modal Rp. 40 juta Adiwarman
kemudian mendirikan perusahaan konsultan yang diberi nama Karim Business
Consulting. Semula, banyak pihak termasuk yang bergabung di perusahaannya
awalnya memandang pesimis prospek perusahaan yang dipimpinnya. Hal ini bisa
dimaklumi, sebab ketika itu bank syari’ah di Indonesia
hanyalah BMI. Tetapi, seiring perkembangan ekonomi Islam dan perbankan syari’ah
di Indonesia, saat ini perusahaan yang dipimpinnya telah menjadi rujukan pertama
dari berbagai masalah ekonomi dalam perbankan Islam atau Syari’ah.
Kontribusi
Adiwarman dalam pengembangan perbankan dan ekonomi syari’ah di Indonesia bukan
saja sebagai praktisi, tetapi juga sebagai intelektual dan akademisi. Ia
menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi ternama seperti UI, IPB, Unair,
IAIN Syarif Hidayatullah dan sejumlah perguruan tinggi swasta untuk mengajar
perbankan dan ekonomi syariah. Di beberapa perguruan tinggi tersebut ia juga
mendirikan Shari’ah Economics Forum (SEF), suatu model jaringan ekonomi
Islam yang bergerak di bidang keilmuan. Lembaga tersebut menyelenggarakan
pendidikan non kulikuler yang diselenggarakan selama dua semester dan
dipersiapkan sebagai sarana "islamisasi" ekonomi melalui jalur
kampus.
Pada 1999, Adiwarman bersama kurang lebih empat puluh
lima tokoh dan
cendikiawan Muslim Indonesia bersepakat mendirikan lembaga IIIT-I (The
International Institute of Islamic Thought-Indonesia). IIIT, sebagai induk
organisasinya yang berkedudukan di Amerika Serikat adalah lembaga kajian pemikiran
Islam yang berupaya mengeksplorasi Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai respon
Islam atas perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Upaya itu semula digagas oleh
beberapa cendikiawan Muslim di Amerika Serikat pada tahun 1981. Di Indonesia,
upaya serupa telah dilakukan lewat pengembangan dan eksplorasi ilmu ekonomi
Islam. Meruahnya respon atas upaya ini terbukti salah satunya dengan semakin
banyaknya institusi-institusi perbankan yang mengadopsi sistem syari’ah.
Sama seperti induk organisasinya, IIIT-Indonesia berkembang
sebagai sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di wilayah pemikiran dan
kebudayaan. IIIT-Indonesia bersifat independen, tidak berafiliasi dengan
gerakan lokal mana pun. Misi yang diembannya adalah mengembangkan pemikiran
Islam berikut metodologinya dalam kerangka meningkatkan kontribusi umat Islam
dalam membangun peradaban bersama yang lebih baik. Bersama dengan IIIT-I inilah
Adiwarman menebarkan gagasanya tentang ekonomi Islam.
Kepakaran Adiwarman di bidang ekonomi Islam semakin diakui
dengan ditunjuknya ia sebagai anggota Dewan Syari’ah Nasional dan terlibat
dalam mempersiapkan lahirnya Undang-Undang Perbankan Syari’ah.
Saat ini
Adiwarman sudah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Abdul Barri Karim
(12 tahun), Azizah Mutia Karim (11 tahun), dan Abdul Hafidz Karim (6 tahun)
dari pernikahannya dengan Rustika Thamrin (35 tahun), seorang Sarjana Psikologi
UI, pada usia 25 tahun.[2]
C. KARYA-KARYA
Beberapa tulisan
Adiwarman yang telah diterbitkan antara lain; Ekonomi Islam, Suatu Kajian
Kontemporer yang merupakan kumpulan artikelnya di Majalah Panji
Masyarakat, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, sebuah kumpulan tulisan
pakar ekonomi yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Ekonomi Mikro
Islami dan Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro. Ketiga
tulisan yang disebut terakhir merupakan bahan kuliah wajib di berbagai
perguruan tinggi tempatnya mengajar. Terakhir ia menulis satu buku yang
berusaha memberikan pandangan secara komprehensif tentang perbankan Islam
dengan memberikan analisis dari perspektif fikih dan ekonomi (keuangan). Buku tersebut diberi title Bank Islam, Analisis
Fiqih dan Keuangan.[3]
Serta
lebih dari 50 artikel tentang ekonomi Islam yang disajikan dalam berbagai forum
nasional dan internasional, seperti Konferensi Ekonomi Islam Internasional
Ketiga, Keempat dan Kelima yang disponsori oleh Islamic Development Assosiation
yang ke-76. Saat ini dia dipercaya menjadi anggota Dewan Syariah Nasional MUI
dan Dewan Pengawas Syariah pada beberapa Lembaga Keuangan Syariah, seperti
Asuransi Great Eastern Syariah, Bank Danamon Syariah dan HSBC Syariah, serta
Dewan Syariah pada BPRS Harta Insani Karimah.[4]
D. PEMIKIRAN ADIWARMAN
KARIM TENTANG EKONOMI ISLAM
1. Fundamentalis-Intelektual-Profesional
Bersama
beberapa tokoh ekonomi Islam Indonesia lainnya, seperti A.M. Saefudin, Karnaen
Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Muhammad Syafi’i Antonio, Zainal
Arifin, Mulya Siregar, Riawan Amin dan sebagainya, oleh Dawam Rahadjo,
Adiwarman dimasukkan dalam kelompok pemikir fundamentalis dalam bidang ekonomi
Islam.[5]
Kelompok
Islam fundamentalisme, dengan beragam sebutan yang disandangnya, memiliki
kesamaan ciri khas, yaitu cita-cita tegakkanya syari’at Islam. Meskipun
demikian, dalam hal metode atau cara perjuangannya, mereka tidak satu kata dan
terbelah menjadi dua aliran besar. Sebagian memilih menempuh cara-cara
revolusioner (karenanya mereka disebut kelompok fundamental radikal), sebagian
yang lain mencoba berkompromi dengan penguasa dan mengedepankan jalur
demokrasi-parlementer. Ada juga yang membedakan pola gerakan fundamentalisme
Islam menjadi; 1) "Islam politik" yang menempuh jalan mencapai
kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan syari’at; dan 2) "Islam
cultural" yang memilih jalur budaya dan kemasyarakatan. Yang pertama
bertujuan menegakkan syari’at Islam sekaligus negara Islam, sementara yang
kedua bertujuan menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam, atau masyarakat
madani.
Misi
penegakkan syari’at yang diusung oleh Islam fundamentalis mendapat reaksi dari
kelompok liberal yang mengkampanyekan sekularisme.
Perbedaan
pendapat antara kedua kelompok tersebut juga terjadi dalam menyikapi isu-isu aktual seputar ekonomi dan perbankan syari’ah atau Islam di Indonesia. Di bidang ini, kelompok fundamentalis
berusaha memperjuangkan
berlakunya syari’at Islam dalam sistem ekonomi Islam, khususnya perbankan
Islam, sama halnya dengan keinginan kawan-kawan mereka yang memperjuangkan
syari’at Islam di bidang politik dan hukum. Bedanya, jika perjuangan melalui
jalur politik dilakukan dengan cara-cara radikal, sementara perjuangan
menegakkan ekonomi Islam cenderung memilih cara-cara gradual dan demokratis.
Di Indonesia, fundamentalis yang memperjuangkan
tegaknya ekonomi Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok lagi, yaitu
kelompok professional dan kelompok intelektual. Kelompok
fundamentalis professional berorientasi pada praktek. Mereka merasa tidak perlu
menunggu perkembangan teori Islam menjadi mapan, serta mencukupkan diri dengan
"piranti" teori yang sudah ada, yaitu fiqh mu’amalah setelah
dikonseptulaisasi. Golongan professional inilah yang berada di balik pendirian
BMI dan bank-bank Islam lainnya.
Berbeda dengan fundamentalis professional,
fundamentalis intelektual justru berorientasi pada teori. Mereka berupaya
menyediakan bangunan teori-teori ekonomi yang kokoh terlebih dahulu sebagai
dasar pijakan bagi terlaksananya ekonomi Islam secara baik dan benar serta
dapat diterima secara luas oleh masyarakat (ilmiah).
Berdasarkan pemetaan di atas, agak sulit menentukan di
mana posisi Adiwarman. Pada satu sisi ia terlibat secara aktif dalam gerakan pemberdayaan ekonomi Islam melalui
institusi-institusi praktis (semisal perbankan, menjadi konsultan dan sebagainya), tetapi pada sisi
lain ia juga concern terhadap upaya meletakkan dasar-dasar teoritis bagi
pengembangan ilmu ekonomi Islam di Indonesia. Nampak kesan bahwa Adiwarman
berusaha menyelaraskan antara perjuangan ekonomi Islam secara praktis dan
teoritis. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa Adiwarman menempatkan dirinya
pada posisi fundamentalis-intelektual-rasional.
2. Pendekatan dan Metode
Membaca
tulisan-tulisan Adiwarman, setidaknya terdapat beberapa pendekatan dan metode
yang ia gunakan dalam membangun keilmuan ekonomi Islam. Pendekatan yang ia
gunakan dapat dipetakan menjadi pendekatan sejarah, pendekatan fiqh dan ekonomi.[6]
Pendekatan
sejarah sangat kental dalam berbagai tulisan Adiwarman. Dalam setiap tulisannya
(terutama buku), Adiwarman selalu berupaya menjelaskan fenomena ekonomi
kontemporer dengan merujuk pada sejarah Islam klasik, terutama pada masa
Rasulullah. Selain itu ia juga mengelaborasi pemikiran-pemikiran sarjana besar
muslim klasik dan mencoba merefleksikannya dalam konteks kekinian, tentu saja
menurut perspektif ekonomi.
Selain
pendekatan sejarah, Adiwarman juga menggunakan pendekatan fiqh. Dalam pandangannya,
fiqh tidak hanya berbicara pada aspek ‘ubudiyah semata. Fiqh berbicara
aspek sosial masyarakat yang lebih luas, terutama ketika dibingkai dalam wadah fiqhul
waqi'iy (fiqh realitas). Dalam format yang demikian, fiqh lebih merupakan suatu respon atas
problematika kontemporer sebagai suatu upaya menemukan jawaban dan solusi yang
tepat bagi suatu masyarakat tertentu dalam konteks tertentu pula. Karena itu
Adiwarman selalu berpegang pada adagium "li kulli maqam, maqal. Wa
likulli maqal, maqam". (Setiap kondisi butuh ungkapan yang tepat. Dan
setiap ungkapan, butuh waktu yang tepat pula).
Pendekatan
fiqh yang digunakan Adiwarman tidak berdiri sendiri. Untuk dapat merespon
fenomena ekonomik, prinsip-prinsip fiqh yang diformulasikan ulama masa lalu
ditarik pada perspektif ekonomi. Sederhananya Adiwarman menggunakan
istilah-istilah dan prinsip-prinsip fiqh dalam membahas masalah-masalah
ekonomi. Sebagai contoh ia menjelaskan fenomena distorsi permintaan dan
penawaran (false demand dan false supply) berdasarkan prinsip al-bai’
an-najsy, ia juga menganalisis monopolic behaviour berdasarkan teori
tadlis dalam fiqh dan masih banyak lagi.
Meskipun
begitu, Adiwarman menghindari melakukan islamisasi ekonomi dengan cara
mengambil ekonomi Barat lalu dicari ayat al-Quran dan haditsnya. Menurutnya hal
itu tidak dapat dibenarkan, karena itu memaksakan al-Qur'an dan hadits cocok
dengan pikiran manusia. Ekonomi Islam bukan ekonomi konvensional lalu ditempeli
al-Quran dan hadits. Itulah sebabnya metode yang ditempuh oleh Adiwaman adalah
dengan melakukan "interpretasi bebas" terhadap teks-teks al-Qur’an,
as-sunnah dan fiqh dalam perspektif ekonomi.
3. Pokok-Pokok Pikiran
a. Redefinisi dan Rancang
Bangun Ilmu Ekonomi Islam
Berbicara
tentang ekonomi Islam, selama ini definisi yang sering ditemukan adalah “ekonomi yang
berasaskan al-Qur’an dan as-Sunnah“. Seringkali definisi seperti
itu tidak disertai dengan penjelasan yang tuntas, sehingga terkesan bahwa
ekonomi islam adalah ekonomi apa saja yang dibungkus dengan argumen-argumen
dari ayat-ayat atau hadis-hadis tertentu. Bagi banyak kalangan, penjelasan yang “sekedar itu“ tidak mampu
memberikan jawaban yang memuaskan. Sebab bisa jadi ekonomi konvensional dapat
dikatakan islam(i) sepanjang dapat dilegitimasi oleh ayat tertentu. Dan itulah
yang oleh Adiwarman disebut dengan pemaksaan ayat.
Menurut Adiwarman
Karim, ekonomi Islam diibaratkan satu bangunan yang terdiri atas
landasan,tiang,dan atap.[7] Sadar akan hal itu,
Adiwarman menawarkan pengertian ekonomi Islam sebagai ekonomi yang dibangun di
atas nilai-nilai universal Islam. Nilai-nilai yang ia maksud adalah tauhid (keesaan), ‘adl (keadilan),
khilafah (pemerintahan), nubuwwah (kenabian) dan ma’ad (return).
Secara singkat korelasi prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tauhid,
bermakna ke-Maha Tunggal-an Allah sebagai pencipta, pemilik semua yang
ada di bumi dan di langit, pemberi rezeki yang Maha Adil yang berkuasa atas
segalanya. Pengingkaran atas nilai tauhid dapat membawa manusia menjadi
megalomania, merasa dirinya hebat, semua bisa diatur dengan uang. Maka konsep keesaan
Tuhan memberikan arah bagi pelaku ekonomi bahwa segala sesuatu adalah milik
Allah, manusia hanyalah pemegang amanah. Karena itu ada sistem pertanggung
jawaban bagi setiap tindakan ekonomi. Pada akhirnya, dalam skala makro prinsip
pertanggungjawaban tersebut mendorong terwujudnya keadilan (`adl) ekonomi dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, untuk
dapat merealisasikan keadilan tersebut diperlukan adanya intervensi khilafah
(pemerintah) sebagai regulator. Contoh terbaik terlaksananya sistem
regulasi yang dijalankan pemerintah dalam masalah ekonomi ini
dapat merujuk pada struktur sosial ekonomi pada masa Nabi (nubuwwah),
terutama era Madinah.[8] Prinsip nubuwwah di sini mengandung arti bahwa konsep ekonomi Islam adalah
konsep untuk manusia, bukan untuk malaikat, serta mampu dijalankan oleh
manusia, bukan oleh malaikat. Nubuwwah
adalah jawaban akan kebutuhan ini sebagaimana yang di contohkan Rasulullah
tentang bagaimana melakukan kegiatan ekonomi yang membawa kesuksesan dunia
akhirat. Tujuan akhir dari semua aktifitas ekonomi yang tersusun secara rapi
melalui sistem tersebut tidak lain adalah maksimisasi hasil (ma’ad,return)
yang tidak hanya menggunakan ukuran materiil, tetapi juga aspek agama. Karena untuk menciptakan
ekonomi yang kuat, tentu harus ada motivasi yang kuat bagi para pelakunya. Itu
sebabnya, ekonomi Islam adalah ekonomi yang mencari laba. Namun dalam ekonomi
Islam, untung tidak semata untung di dunia tetapi juga untung di akhirat.[9]
Setelah membicarakan tentang landasan ekonomi Islam, maka kini masalah tiangnya yang meliputi: Multiple Ownership,
freedom to act, serta social justice. Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama
(syirkah), dan kepemilikan Negara.
Hal ini sangat berbeda dengan konsep kapitalis klasik yang hanya mengakui
kepemilikan pribadi dan konsep sosialis yang hanya mengakui kepemilikan bersama
oleh negara. Multiple
ownership (kepemilikan
multijenis) merupakan derivasi dari prinsip tauhid,
dimana manusia sebagai pemegang amanah di muka bumi diberi hak dan tanggung
jawab yang sama dalam mengelola sumber daya yang tersedia. Tetapi kebebasan manusia untuk mengeksploitasi sumber
daya dibatasi oleh suatu tujuan bersama, yaitu terciptanya keadilan sosial (social
justice) dan kesejahteraan (return, ma’ad) yang merata. Sementara
proposisi kebebasan berusaha (freedom to act) memberikan motivasi kepada
pelaku ekonomi dalam berusaha, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun
pemerintah sebagai pemegang regulasi, sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi.
Selain prinsip-prinsip di atas, terciptanya sistem ekonomi
Islam juga memerlukan suatu tatanan norma atau hukum yang menjadi payung (atap) dan jaminan bagi
keberlangsungannya. Dalam istilah Adiwarman, sistem norma atau hukum ini
disebut sebagai akhlak ekonomi Islam.
b. Integrasi
Intelektual dan “Harakah“ : Kampus-Pemerintah-Praktisi
Dalam
pandangan Adiwarman, ekonomi Islam tidak akan bisa bangkit di Indonesia dengan
hanya menekankan pada salah satu aspek pengembangan, teoritis atau praktis.
Kedua aspek tersebut harus berjalan bersamaan, serentak. Gerakan yang demikian disebut oleh
Adiwarman sebagai harakah al iqtisodiyahi al islamiyah al-indonesiyah
(Gerakan Ekonomi Islam Indonesia). Menurutnya, keberhasilan perkembangan
ekonomi Islam di Indonesia dalam tahap yang sekarang ini tidak lepas dari model
harakah tersebut. Dengan pendekatan harakah, dimaksudkan sebagai
gerakan serentak masing-masing sel; praktisi, akademisi, serta pemerintah.
Menurut
Adiwarman, harakah iqtisadiyah sebagai suatu model pengembangan ekonomi
Islam di Indonesia dapat dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, mengupayakan
wacana ekonomi Islam masuk ke dalam kampus melalui kurikulum, atau
bentuk-bentuk yang lain (buku, kelompok studi, seminar dan sebagainya). Tahap pertama ini
nampaknya sudah menemukan hasilnya, terbukti dengan dibukanya beberapa jurusan,
fakultas bahkan perguruan tinggi yang khusus memepelajari ekonomi Islam.
Kedua, pengembangan
sistem. Tahap ini bisa dilakukan melalui pembentukan undang-undang, atau
peraturan daerah. Hal ini diperlukan sekali, sebab tanpa payung hukum yang
jelas dan tegas, ekonomi Islam di Indonesia yang merupakan konsep
baru dan tidak didukung oleh permodalan yang kuat akan sulit berkembang bahkan
bisa mati suri. Tahap kedua
ini juga telah berhasil dengan disahkannya berbagai peraturan yang mendukung
beroperasinya perbankan, pegadaian dan perekonomian Islam di Indonesia.
Ketiga,
pengembangan ekonomi ummat. Tahap ketiga inilah yang sangat berat
dan tidak bisa diwujudkan hanya melalui jalur-jalur akademik maupun legislasi.
Untuk mencapai tahap ketiga ini diperlukan kepedulian dan kemauan kuat dari
para praktisi agar tetap berkomitmen mempraktekkan ekonomi Islam dalam setiap
kegiatan ekonomi mereka. Dalam hal ini, praktek ekonomi yang dimaksud tidak
hanya berkisar pada masalah riba saja, tetapi bagaimana ekonomi Islam
diwujudkan secara professional dan profitable. Karena itu, menurut
Adiwarman slogan “lebih baik untung sedikit tapi barokah“ itu tidak ada
dalam Islam. Islam itu harus “untung besar dan barokah“.[10]
4. Argumen atas Islam dan Perbankan Syariah
Islam adalah suatu pandangan
atau cara hidup yang mengatur semua sisi kehidupan manusia yang terlepas dari
ajaran Islam, termasuk aspek ekonomi. Dalam ushul
fiqh, ada kaidah yang menyatakan bahwa “maa laa yalimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, yaitu sesuatu
yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari
nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib. Dan karena pada zaman
modern ini kegiatan ekonomi tidak sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka
lembaga perbankan ini pun wajib diadakan. Dengan demikian maka kaitan Islam
dengan perbankan menjadi jelas.[11]
Kita mengetahui bahwa karena
permasalahan ekonomi (bank) ini termasuk dalam bab muamalah, maka Rasulullah
pun tentu tidak memberikan aturan yang rinci mengenai bab ini. Rasul mengatakan
“antum a’lamu bi umuri al-dunyakum“ (kalian
lebih mengetahui urusan dunia kalian). Namun apabila kita menelusuri praktik
perbankan yang dilakukan umat muslim, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun
kosakata fiqh Islam tidak mengenal kata ’bank’, tetapi sesungguhnya bukti-bukti
sejarah menyatakan bahwa fungsi-fungsi perbankan telah dipraktekkan oleh umat
muslim bahkan sejak zaman Rasulullah. Dapat dikatakan bahwa konsep bank bukan
konsep yang asing bagi umat muslim, sehingga ijtihad untuk merumuskan konsep
bank moderen yang sesuai syariah tidak perlu dimuali dari nol.[12]
Al Qur’an dan sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip filosofi dasar dan menegaskan
larangan-larangan yang harus dijauhi. Maka yang harus dilakukan hanyalah
mengidentifikasi hal-hal yang dilarang oleh Islam. Selain itu, semuanya
diperbolehkan dan kita dapat melakukan inovasi dan kreatifitas sebanyak
mungkin.
Menurut Adiwarman Karim,
pertumbuhan aset perbankan syariah di Indonesia ke depan akan sangat
mengesankan. Tumbuh kembangnya aset bank syariah ini dikarenakan semakin
baiknya kepastian dari sisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat
tentang keberadaan bank syariah. Namun perkembangan perbankan syariah ini juga
harus didukukng oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari segi kualitatif
maupun kuantitatif. Tetapi realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak SDM
yang selama ini terlibat dalam institusi syariah tidak memiliki pengalaman
akademis maupun praktis dalam Islamic
banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi produktifitas
dan profesionalisme perbankan syariah itu sendiri. Inilah yang memang harus
mendapat perhatian dari kita semua, yaitu mencetak SDM yang mampu mengamalkan
ekonomi syariah di semua lini karena sistem yang baik tidak mungkin dapat
berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh SDM yang baik pula.
E. PENUTUP
Pemikiran dan kontribusi yang dipersembahkan Adiwarman
Karim terhadap perkembangan
ekonomi Islam di Indonesia memang sangat luar biasa. Dengan berbagai bekal
keilmuan dan pengalaman yang dimilikinya, mampu menjadikan beliau sebagai salah
satu orang yang berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi Islam khususnya di Indonesia.
Hal itu seharusnya bisa menjadi contoh dan bahan introspeksi bagi kita sebagai
calon praktisi ataupun akademisi di bidang ekonomi Islam yang nantinya
diharapkan mampu melanjutkan perjuangan yang telah dicontohkan para pakar
ekonomi Islam terdahulu seperti halnya Ir.H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A.,
M.A.E.P.
DAFTAR
PUSTAKA
Dimyati, A.”Studi atas
Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim” dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5 akses tgl
22-11-2011
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani
Press,2001
-----------, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan,
Edisi 2, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,2004
-----------, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan,
Edisi 3, Jakarta:
Rajawali Press,2009
Surachim, Adin,“Ekonomi-Syariah Karya Bp. Syafi'i Antonio
& Bp. Adiwarman A.Karim dalam http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg06833.html
akses tgl 22-11-2011
Zuhri, M.Syaifuddin,“Pemikiran Adiwarman A. Karim tentang
Mekanisme Pasar Islami“,dalam http://etd.eprints.ums.ac.id/7743/2/I000040054.pdf
akses tgl 22-11-2011
[1]Adin Surachim,“Ekonomi-Syariah Karya Bp. Syafi'i Antonio & Bp. Adiwarman A.
Karim
dalam http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg06833.html
akses tgl 22-11-2011 pukul 11:18
[2] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman
Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5
akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[3] Ibid
[4] M Syaifuddin
Zuhri,“Pemikiran Adiwarman A. Karim tentang Mekanisme Pasar Islami“,dalam http://etd.eprints.ums.ac.id/7743/2/I000040054.pdf
akses tgl 22-11-2011 pukul 10:57
[5] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman
Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5
akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[6] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman
Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5
akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[7] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani
Press,2001. hal : 176-177
[8] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman
Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5
akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[9] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani
Press,2001. hal : 176-177
[10] A. Dimyati,”Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman
Azwar Karim” diambil dalam http://didim76.multiply.com/journal/item/5
akses tgl 22-11-2011 pukul 10:53
[11] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan,
Edisi 2, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,2004, hal: 14-15
[12] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan,
Edisi 3, Jakarta:
Rajawali Press,2009. hal: 26-27
0 comments:
Post a Comment