Oleh Alwi Musa Muzayyin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Zakat ternyata tidak hanya dibebankan
untuk individu saja, tetapi dalam masalah kontemporer zakat juga bisa
dibebankan pada perusahaan demi ditegakkan keadilan dan kemaslahatan, terus
bagaimana cara menginvestasikan zakat secara produktif.
B.
Rumusan masalah
1. Bagaimanakah
pengertian dan ruang lingkup perusahaan?
2. Bagaimanakah nisab
dan prosentase zakat perusahaan?
3. Bagaimanakah
investasi dana produktif zakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup
Yang dimaksud dengan perusahaan disini adalah
sebuah usaha yang yang diorganisir sebagai sebuah kesatuan resmi yang
terpisah dengan kepemilikan dibuktikan dengan kepemilikan saham. Para ulama kontemporer menganalogikan zakat perusahaan
kepada kategori komoditas perdagangan, bila dilihat dari aspek legal dan
ekonomi (entitas) aktivitas sebuah perusahaan, pada umumnya berporos kepada
kegiatan perdagangan. Dengan demikian setiap perusahaan dibidang barang (hasil
industri/pabrikasi) maupun jasa dapat menjadi wajib zakat.
B. Nisab dan Presentase
Sebagaimana yang
disampaikan di atas, nisab dan presentase zakat perusahaan dianalogikan dengan
asset wajib zakat kategori komoditas perdagangan, yaitu senilai nisab emas dan
perak yaitu 85 gram emas sedangkan prosentase volumenya adalah 2,5% dari asset
wajib zakat yang dimiliki perusahaan selam masa haul.
Dari penjelasan di atas,
maka pola perhitungan zakat perusahaan didasarkan pada pola keuangan
(neraca) perusahaan, dengan cara sederhananya adalah dengan mengurangkan
kewajiban lancar atas aktiva lancar. Hanya saja, sehubungan dengan banyaknya
perbedaan dalam format pehitungan serta elemen yang menjadi laporan keuangan,
maka tentu cara berhitung tariff zakat akan banyak perbedaan antara satu ulama
dan ulama lainnya, atau satu akuntan dengan lainnya. Selain itu, karena yang
perlu diperhatikan dalam perhitungan zakat perusahaan adalah pentingnya
melakukan berbagai koreksi atas nilai aktiva lancar dan kewajiban jangka pendek
yang kemudian disesuaikan dengan ketentuan syari'ah, seperti korekasi
atas pendapatan bunga, dan pendapatan haram serta subhat lainnya.[1]
Tahapan cara menghitung
zakat perusahaan sebagaimana umumnya adalah dengan:
1.
Menentukan aset wajib zakat
Sofyan
Safri Harahap (2001), memeparkan ada dua metode cara berhitung zakat perusahaan
menurut AAOIFI, yaitu:
a)
Metode aktiva bersih
Menjumlahkan aset wajib
zakat: Kas, piutang (total piutang dikurangi utang ragu-ragu), aktiva yang
diperdagangkan (persediaan/surat berharga), pembiayaan (mudharabah, musyarakah,
dan lain-lain)
Mengurangi aset wajib
zakat dengan: utang lancar, modal investasi tak terbatas, penyertaan minoritas,
penyertaan pemerintah, penyertaan lembaga sosial, endowment, dan lembaga
non profit.
b)
Metode net invested funds
Menjumlahkan aset wajib
zakat: modal disetor (tambahan modal), cadangan, cadangan yang tidak dikurangi
aktiva, laba ditahan, laba bersih, dan utang jangka panjang.
Mengurangi aset wajib
zakat dengan: aktiva tetap, investasi yang tidak diperdagangkan dan kerugian.
2.
Menilai aset wajib zakat
a)
Metode Aktiva bersih
Metode Aktiva Bersih
|
Dasar Penelitian
|
|
a
|
Aktiva:
Kas dan setara kas
Piutang bersih
Pembiayaan
-
musyarakah
-
mudharabah
Aktiva yang diperdagangkan
-
persediaan
-
-
real estate
|
Nilai kas atau setara kas
Nilai kas atau setara kas
Nilai kas atau setara kas
Nilai kas atau setara kas
Nilai kas atau setara kas
Nilai kas atau setara kas
Nilai kas atau setara kas
|
b
|
Utang:
Utang lancar
Utang lain-lain
Modal investasi tak terbatas
Penyertaan dari Pemerintah, endowment,
lembaga sosial, organisasi non profit
Penyertaan minoritas
|
Nilai buku
Nilai buku
Nilai buku
Nilai buku
Nilai buku
Nilai buku
|
b)
Metode net invested funds
Metode Invested Funds
|
Dasar Penilaian
|
|
Aktiva yang diperdagangkan:
-
Gedung yang disewakan
-
Lain-lain
Aktiva tetap bersih
Cadangan yang tidak dikurangi dari aktiva
Utang lancar dan
Modal pemilik:
-
Tambahan modal
-
Cadangan
-
Laba ditahan
-
Laba bersih
|
Nilai Buku
Nilai Buku
Nilai Buku
Nilai Buku
Nilai Buku
Nilai Buku
Nilai Buku
Nilai Buku
Nilai Buku
|
3.
Menghitung aset wajib zakat
a)
Metode Aktiva bersih
[(Kas dan setara kas + Piutang bersih +
Pembiayaan + Aktiva yang diperdagangkan) – (utang lancar + Modal investasi tak
terbatas + Penyertaan minoritas + Penyertaan dari pemerintah + endowment
+ lembaga sosial + Organisasi non profit)] x 2,5% =
b)
Metode Net Invested Funds
[(Tambahan modal +
Cadangan + Cadangan yang bukan dikurangkan dari aktiva + Laba ditahan + Laba
bersih + Utang jangka panjang) – (Aktiva tetap + Investasi yang tidak
diperdagangkan + Kerugian)] x 2,5% =
C. Investasi Produktif
Dana Zakat
Kata produktif secara
bahasa berasal dari bahasa inggris "productive" yang berarti
banyak menghasilkan; memberikan banyak menghasilkan barang-barang berharga; yang
mempunyai hasil baik.[2]
Kata investasi dalam kamus karya ilmiah berarti penanaman modal (uang);
perbekalan; permodalan.[3]
Tetapi dalam kasus ini yang disifati adalah zakat, sehingga menjadi investasi
zakat yang produktif.
Dalam pembahasan yang
berkaitan dengan menginvestasikan dana zakat, persoalan yang kemudian akan
muncul adalah siapa yang akan menginvestasikannya? Salah satu konsep
fundamental dari system zakat menyatakan bahwa tarif zakat yang dibayarkan oleh
muzakki adalah hak milik para mustahiknya. Dalam kajian fikih klasik, pembahsan
yang sudah akrab berkisar pada kemungkinan mustahiknya sendiri yang
menginvestasikan dana tersebut atau si muzakinya yang menginvestasikannya.
Untuk kedua alternatif ini , justifikasi para ahli fikih klasik menyebutkan bahwa:
1.
Bila mustahik yang
menginvestasikan dana tersebut
Jumhur
ulama berpendapat bahwa seorang mustahik dapat menginvestasikan dana zakatnya
setelah mustahik menerima dana zakat tersebut. Karena ketika dana zakat itu
mereka terimakan, otomatis akan menjadi hak milik sepenuhnya. Hanya saja, jika
mengingat pengelompokan kategori delapan asnaf, empat kategori pertama (fakir,
miskin, amil, dan mualaf) konsep nash menyebutkan dengan huruf lam yang berarti
kepemilikan, jika demikian, maka keempat kategori ini dibolehkan untuk
menginvestasikan dana zakatnya, namun jika melihat delapan asnaf versi
Indonesia maka kemungkinannya adalah: sulit bagi kelompok fakir miskin untuk
bisa meanginvestasikan dana zakatnya, sebagaiimana peta kemiskinan di Indonesia
menyatakan bahwa kebutuhan mereka yang paling utama adalah pemenuhan sandang,
pangan, dan papan yang harus mereka konsumsi.
2.
Bila muzakki menginvestasikan dana
zakatnya
Dalam
bahasan fiqhhiyah yang menjadi persoalan kemudian adalah kemungkinan seorang
muzakki untuk menunda kewajiban zakatnya, semisal pada saat seorang calon
muzaki melihat bahwa kepemilikan aset wajib zakatnya sudah satu haul, kemudian
ia menghitung tarif dari kewajibannya tersebut, namun kemudian dana tersebut tidak
langsung diberikan kepada mustahik, akan tetapi diinvestasikan terlebih dahulu.
Dalam hal ini, para ahli fikih klasik memperdebatkannya secara pelik, walaupun
jumhur ulama yang diwakilkan mazhab Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanbaliah
mensinyalir bahwa kewajiban zakat adalah kewajiban yang harus disegerakan bila
sudah masuk waktunya dan tidak diperkenankan menunda penyaluran dana tersebut.
Dalam konteks kekinian, sangat mungkin seorang muzaki berada pada pada tingkat
kesejahteraan yang luar biasa, tarif zakat dari asetnya sudah cukup untuk
diinvestasikan pada saham perusahaan misalnya. Apakah kemudian menjadi hal
legal bila kemudian pembelian saham tersebut di atas namakan mustahik, dengan
begitu pada tahun depan si mustahik bisa mencicipi dana dari dividen saham
perusahaan tersebut. Bagi penulis inilah yang disebut dengan konsep
pendayagunaan dana zakat untuk mencanangkan sekuritisasi sosial.
Dana
tentunya secara fikih tidak menyalahi aturan, di mana pada saat pembelian saham
tersebut, si muzaki hanya berlaku sebagai wakil dari mustahik, untuk
menginvestasikan dana zakatnya, walaupun memang si mustahik harus menangguhkan
haknya untuk segera mengkonsumsi dana zakat tersebut. Lain halnya, bila
pembelian saham tersebut di atasnamakan muzaki itu sendiri. Mungkin inilah
maksud para ulama mazhab dengan pernyataan bahwa dana zakat harus dibayar
segera, dan lagi konsep fikih menganut prinsip haul yang mewajibkan seorang
muzaki untuk membayar zakat pada setiap tahunnya
3.
Bila pemerintah atau yang
mewakilinya (amil) menginvestasikan dana zakat
Menurut
Utsman Syuber (2000: 515) permasalahan ini belum banyak dibahas dalam kajian
fikih klasik, namun sejumlah ulama kontemporer sudah menjadikannya bagian dari
pembicaraan alternatif pendistribusian dana zakat. Sejumlah Ulama yang
menyetujui adalah Mushtafa Zarqa, Yusuf Qardhawi, Seikh Abu Al Fatah Abu Ghadah
etc.
Terlepas
dari adanya perbedaan pendapat para ulama, yang menjadi kepentingan penulis
adalah mencari pola pendistribusian yang paling efektif secara ekonomi namun
tetap tidak terlalu jauh dari pendapat para ulama, utsman kemudian memvalidkan
mazhab yang menyatakan bahwa: "Memang pada hukum asalnya dana zakat
yang diterima pemerintah ataupun yang mewakili (BAZ) harus segera
mendistribusikannya kepada para mustahik dan tidak dibenarkan untuk menundanya,
akan tetapi jika ada kepentingan (dharurat maslahahnya) yang menundanya, maka
hal itu dapat dibenarkan jika ada alasan kuat dari kepentingan
menginvestasikannya, seperti untuk menjamin adanya sumber-sumber keuangan yang
relative permanent atau untuk mengurangi pengangguran dari pihak delapan
asnaf".
Jika
kemudian pendapat di atas dijadikan acuan, kepentingan selanjutnya adalah
bagaimana dana zakat yang diinvestasikan tersebut tidak habis, karena adanya
kerugian investasi. Kerugian akan mengakibatkan hilangnya hak kelompok delapan
asnaf. Kepatuatan ini mengharuskan pihak-pihak yang menginvestasikan dana zakat
harus betul-betul mempelajari prospek dan fisibilitas dari setiap bidang usaha
yang menjadi obyek investasi.
Dalam
menanggapi adanya kemungkinan merugi dalam menginvestasi dana zakat, kajian
fikih klasik memperdebatkan sejumlah permasalahan berikut:
a)
Menerima dana zakat tersebut, maka
mustahik menerima dana zakat tersebut, maka mustahik tidak menanggung beban
dari kerugian. Sebagaimana mustahik tidak menikmati keuntungan dari investasi
tersebut. Semisal, seorang muzaki menginvestasikan dana zakat dalam sebuah
usaha sebelum memberikannya kepada mustahik, maka kerugian yang diderita hanya
ditanggung oleh muzaki sendiri, artinya si muzaki belum lepas dari kewajibannya
membayar zakat.
b)
Jika dana zakat diinvestasikan
setelah mustahik menerimanya, maka mustahik menanggung kerugian, semisal
seorang muzaki menginvestasikan dana zakat dengan membeli sejumlah saham
perusahaan dengan mengatsnamakan mustahik, maka dalam hal ini hanya mustahik
yang dibebani jika perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Sebagaimana
hanya si mustahik saja yang bisa menikmati keuntungan yang didapat dari dividen
saham.
c)
Jika dana zakat diinvestasikan
pada saat dana zakat berada ditangan amil atau pemerintah. Masalah inilah yang
masih terlewatkan dari bahasan ulama kklasik, apalagi setelah amil
dilembagakan. Semisal sebuah badan atau lembaga amil zakat, menginvestasikan
dana zakat yang terkumpul pada salah satu industri, kemudian industri tersebut
mengalami penurunan drastis, karena ada pesaing, misalnya. Kerugian industri
yang menjadi proyek investasi tersebut mengakibatkan minus dari bagi hasil
investasi. Jika demikian siapa yang wajib mengganti dana tersebut, muzaki atau
mustahik atau amil itu sendiri dan jika amil dari porsi mana dana tersebut
ditutup, dana zakat pada tahun pengumpulan depan atau porsi yang menjadi hak
amil?
Dari
permasalahan poin ketiga tersebut dan upaya mengakomodasi sejumlah pendapat
mazhab yang melegalkan investasi dana zakat rekomendasi yang penulis ajukan
adalah:
a)
Amil dapat menginvestaikan dana
zakatnya setelah mempunyai perhitungan matang pada usaha/industri yang menjadi
objek investasi.
b)
Amil dapat menginvestasikan dana
zakatnya , setelah para mustahik menerima dana zakat terlebih dahulu, jadi
dalam hal ini, amil hanya berlaku sebagai wakil dari keseluruhan mustahik.
Semisal jika diinvestasikan pada surat
berharga , maka pembelian surat
berharga tersebut dilakukan atas nama mustahik.
BAB III
PENUTUP
(KESIMPULAN)
Dengan adanya zakat
perusahaan semoga dapat meminimalis kemiskinan yang ada, dan menggerakkan
perusahan agar lebih menginvestasikan dana zakatnya dengan lebih baik dan
produktif tentunya.
DAFTAR
PUSTAKA
Asnaini,
Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2008.
Mufraini, Arif. Akuntansi dan Manajemen Zakat. Jakarta : Rencana, 2006.
Partanto, Pius. Kamus Ilmiah Populer. Yogykarta:
Arkola, 1994.
0 comments:
Post a Comment