Oleh: Alwi Musa Muzaiyin
A. Pengertian Wadiah
Pengertian Wadi`ah menurut
bahasa adalah berasal dan akar kata wada’asy syai-a yang berarti
meninggalkan sesuatu atau titip.[1]
Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai
titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Sesuatu yang dititipkan yaitu baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999)
adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan
hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki. Menurut
Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang
mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
B. Dasar Hukum
Wadi`ah
diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam Al-Qur`nul Karim
Suroh An-Nisa` 58 :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283 :
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang).
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu
: Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah
amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya
khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi). Kemudian,
dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan
iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada
bersuci.” (H.R Thabrani)
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang
dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah
dan Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat
dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa
tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah
dan Wadi’ah
D. Batasan dan Jenis Wadi`ah
Transaksi wadi`ah termasuk
akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan
kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk
memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun
produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi`
(penitip). Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah
yaitu :
1. Wadi`ah yad al amanah
Adalah
akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan
penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan
atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan
faktor-faktor diluar batas kemampuannya.
Hadis Rasulullah : “ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
Hadis Rasulullah : “ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
2. Wadi`ah yad adh-dhamanah
Adalah
akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin
pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut. Sesuai dengan hadis
Rasulullah SAW: “Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah
meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya
unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu,
Rasulullah SAW memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada
pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya
Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang
besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena
sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R Muslim).[2]
E. Jenis Barang yang di Wadi`ah-kan
Dalam kehidupan kita masa sekarang
ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal
tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih
banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
1. Harta
benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat
penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana
nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
2. Uang,
jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
3. Dokumen
(Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
4. Barang
berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga
mempunyai nilai uang).
F. Rukun Wadi`ah
Rukun wadi`ah adalah hal-hal
yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah
yaitu :
1.
Barang/Uang yang
di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
2.
Ada Muwaddi`
yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang
menitipkannya/menyerahkan.
3.
Ada Mustawda`
yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa.
4.
Kemudian
diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai
dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah
tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak
berjalan/terjadi/sah.
G. Batasan-batasan
Dalam Menjaga Wadi`ah (Titipan)
Standar batasan-batasan dalam
menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum
akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah
bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak
bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya
dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. Al-wadi`ah
bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga
barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir)
dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun
kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah menjaga
titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa
terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang
diamanatkan, maka wadi` harus bertangggung jawab terhadap segala
kerusakan barang titipan tadi. Kesalahan yang lain membawa barang titipan
bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`,
maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut.
Kesalahan yang lain adalah
menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak
melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima
titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima).
H. Aplikasi Dalam Perbankan
Keynes mengemukakan bahwa orang
membutuhkan uang karena: Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan
menyesuaikannya dengan giro, deposito dan tabungan. Sementara itu pada
bank syariah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga
melalui produk tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya
setiap bank berbeda, ada yang seperti giro ada yang seperti
deposito. Dilihat dari sumber modal yang terbesar selain modal
dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta
Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam titipan
yang sifatnya biasa.
Menurut Antonio kedua simpanan ini
mempunyai karakteristik yakni harta/uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan,
pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa
ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan
dengan giro dan titipan investasi, seperti halnya wadi`ah yang terbagi
atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga
yaitu: General Investment (investasi umum) dan Special
Investment (investasi khusus).[3]
Kedua jenis investasi ini mempunyai
perbedaan yang terletak pada Shahib Al-Malnya dalam praktek
penginvestasiannya. Sesuai dengan pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah
yad al- amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh mengunakan dan
memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi harus benar-benar
menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya
kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan
mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya
penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan. Sehingga skemanya sebagai
berikut:
Jakarta: Pusat
Komunikasi Ekonomi Syari'ah, 2006), 26.
Adapun wadi’ah dalam bentuk yad
adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan
tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut
menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan
kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan
keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima
titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk
memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan
sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Jakarta: Pusat
Komunikasi Ekonomi Syari'ah, 2006), 26. Jakarta:
Pusat Komunikasi Ekonomi Syari'ah, 2006), 26.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan
umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1.
Bersifat
titipan,
2.
Titipan bisa
diambil kapan saja (on call), dan
3.
Tidak ada
imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk
tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah
1.
Bersifat
simpanan,
2.
Simpanan bias
diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3.
Tidak ada
imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.).
0 comments:
Post a Comment