2.1 Pemikiran
Ekonomi Al-Syatibi (W. 790 H/1388 M)
A. Riwayat Hidup
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi
Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan Muslim yang belum
banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku
Arab Lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah
(Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.[1]
Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh
s eluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nshar, Granada uang meriupakan benteng terakhir udmat Islam di Spayol. Masa mudanya bertepa tan dengan masa pemerindtahan Suldtan
Muhammad V Al- Ghani Billa bh
yang merupakan masa ke masan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegdiatan ilmiah
dengan berdirinya Universidtas Granada.
Suasa na ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut
ngant menguntungkan bagi Al-Syatibi
dalam menuntut ilmu s erta
mengembangdkankannya din kemudian hari. Dalam meniti pengembangan
intelektualisnya, tokoh yang bermazhab
Maliki inmi mengendalami berdbagai ilmu,
baik yang berbentuk ‘ulum al—wasa’il (metode0 ma upun ulu,m maqasshid (esensi
dan hakikat). Al – Syatibi memulai
aktivitas ilmiahnya dengan
belajar dan mendalami bahasa arab
da ri Abdillah Muhammad ibn
Fakhkhar Al-Biri, Abu Qasim Muhammad
ibn Ahmad Al-Syatbti, dan Abu
Ja’far Ahmad Al-Syaqwari . selanjutnya , ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syam suddin Al –
Tilimsani, ilmu kalam dan falsasfah dari Abu Ali Mnasur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu
Abdillah Muha mmad ibn Muhammad
bin ahjmad al-miqarri dan abu nabdillah Muhammad ibn Qarsyi Al- Hasyim,
serta berbagai ilmu lainndya, seperti b
ilmui falak , mantiq dan debat.
Disamping bertemu langsung ia juga
melakukan korespondensi untuk meningdkatkan dan mengembangkan pengetahuannya,
seperti mengirim surat
kepada seorang sufi, Abu Abdillah
ibn Ibad Al- Nafsi Al-Rundi.
Meksipun mempelahjari dan
mendalami berbagai ilmu, AlSyatibi
lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arba dan, khusunya , ushul fiqih.
Ketertarikannya terhadap ilmuy ushul fiqih karena, menurutnyay, metodologi dan falsafat fiqih
Islma merudpakan factor yang sangat mennetudkan kekuatan dna kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial. [2]
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al- Syatibi
mengembangdkan potensi keilmuannya dengan mengajardkan kepada para generasi
berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu Abdillah Al-
Bayani. Disamping itu, ia juga mewarisi karya-karyya ilmiah, seperti Syarh Jalil’ala al-Kulashah
fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dala m bidang bahasa Arab dan Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari’ah dan Al-Tishan dalam
bidang ushul fiqih. AlSyatibi w afat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
B. Beberapa Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
1.
Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, ASl Syatibi mengakui halk milik individu. Namun, ia
menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai
hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan
bahwa air bukanlah objek
kepemilikan dan penggunaannya tidak bias
dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam
seperti air sungai dan oase; dan air yang dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli
atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, oa
mendyatakan bahwa ktidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terdhadap
sungai didkarenakan adanya pembangudnan dam.[3]
2.
Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak dharus dilihat dari sudut
pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Fara’ ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara
esensial adalah tanggung jawab kmasyarakat.
Dalam kondisi tidak mampu
melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bias mengalihkannya kepada Baitul Mal serdta
menyumbangkan sebagian kekayaan mereka s endiri untuk tujduan ktersebut. Oleh
karena itu, pemerintah dapat mengenakan
pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[4]
C. Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Dari pemaparan konsep Maqashid
Al-Syari’ah di atas, terlihat jelas bahwa syariah menginginkan setiap individu memperhatidkan kesejhahteraan mereka.
Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan
syariah ini. Dengan kata lain, manusia s enantiasa dituntut untuk
mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang
menyertakan kemaslahatan seperti
didefinis yariah harus harus diikuti sebagai kewajiban agama
untuk memperoleh kebaikan di
dunia dan akhirat. Dendgan demikian bagi umat
manusia disebut s ebagai kebutudhan (needs).[5]
Kebutuhan (fulfillment) dengan sumber
daya alam yang tersedia.
Bila ditelaah dari sudut
pandang ilmui manajemen kontemporer konsep Maqashid Al-Syariah mempunyai
relevansi yang begitu erat dengan
konsep motivasi. Seperti yang telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring
dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang
berperidlaku. Motivasi itu s
endiri didevfinisikan sebagai
seluruh kondisi usaha keras
yang timbul dari dalam diri
manusia yang digambarkan
dengan keinginan, hasrat , dorongan, dan sebagainya.[6] Bila dikaiytkan Islma , motivasi manusia dalma melakudkan aktivitas
ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh ke
maslahatan hidup di dunia dan diakhirat.
Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama
dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong, untuk
beroerilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik
secara psikis dmaupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha,
ketekunan dan tujuan.[7]Menurut
Maslow, apabila seluruh kebutudhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang
bersamaan, dpemenuhdan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal
merupakan hal nmenjadi prioritas. Dengan
kata lain, seorang individu baru akan
beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarndya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan
konsep hierac hy of needs, dia berpendapat bahwa dgaris hierarkis kebutuhan manusia
berdasarkan skala prioritasnya terdiri
dari :[8]
- Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs),
mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti
makan dan minum. Jika belum
terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan
mengenyampingdkan seluruh kebutuhan hidup lainndya.
- Kebutuhan keamanan (Safety Needs), mencakup kebutudhan perlindundgan terhadap dgangguan fisik d an kesehatan serta kritis
ekonomi.
- Kebutuhan sosial (social Needs), mencakup
kebutudhan akan cinta, kasih s ayang, dan persahabatan. Tidak
terpenuhinya kebutuhan ini akan memengaruji kes ehatan jiwa seseorang.
- Kebutudhan akan penghargaan (Esteem Needs),
mencakup kebutudhan terdhadap penghor matan d an pengakuan diri. Pemenuhan
kebutuhan ini akan memen garuhi
rasa percaya diri dan prestise seseorang.
- kebutudhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization
Needs), mencakup kebutudhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan
diri., kebutudhan ini merudpakan tingkat kebutudhan yang paling tinggi.
Dalam dunia manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow
tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut:[9]
1.
Pemenuhan kebutuhan fisiologis
antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil
dan lingkungan kerja yang nyaman.
2.
Pemenuhan kebutuhan keamanan
antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja
dan lingkungan kerja yang aman.
3.
Pemenuhan kebutuhan sosial antara
lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerja sama, stabilitas
kelompok dan kesempatan berinteraksi sosial.
4.
pemenuhan kebutuhan akan
penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap
jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan piblik terhadap
performance yang baik.
5.
Pemenuhan kebutuhan aktualisasi
diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam berkreativitas dan
tantangan pekerjaan.
Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan
oleh Maslow di atas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep Maqashid al-Syariah. Bahkan, konsep yang
telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat
signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan
dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian Maslow. Seperti yang telah
dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu
dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam perspektif Islam, berpikir pada doktrin keagamaan yang menyatakan
bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di
dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan
termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya,
tentu akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan.
2.2 Imam
Al-Maqrizi (766 – 845 H)
A. Biografi
Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Ali bin
Abdul Qadir al-Husaini. Ia lahir di desa Barjuwan, Kairo, pada tahun 766 H
(1364-1365 M). keluarganya berasal dari Maqarizan, sebuah desa yang terletak di
kola Ba’labak. Oleh karena itu, ia cenderung dikenal sebagai al-Maqrizi.
Kondisi ekonomi ayahnya yang lemah menyebabkan pendidikan masa kecil dan
remaja al-Maqrizi berada di bawah tanggungan kakeknya dari pihak ibu, Hanafi
ibn Sa’igh, seorang penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh
berdasarkan pendidikan mahzab ini. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tahun
786 H (1364 M), al-Maqrizi beralih ke mazhab Syafi’i. bahkan, bahkan dalam
perkembangan pemikirannya, ia terlihat cenderung menganut mazhab Zhahiri.[10]
Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmmu. Sejak kecil, ia
gemar melakukan rihlah ilmiah. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti
fiqih, hadis, dan sejarah dari para ulama besar yang hidup pada masanya. Di
antara tokoh terkenal yang sangat mempengaruhi pemikirannya adalah Ibnu
Khaldun, seorang ulama besar dan penggagas ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu
ekonomi.[11] Interaksinya
dengan Ibnu Khaldundimulai ketika Abu al-Iqtishad ini menetap di Kairo dan
memangku jabatan hakim agung (Qadi al-Qudah) mazhab Maliki pada masa
pemerintahan Sultan Barquq (784-801 H).[12]
Al-Maqrizi meninggal dunia di Kairo pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau
bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442 M.[13]
B. Pemikiran Ekonomi Imam
Al-Maqrizi
Terhadap karya-karya al-Maqrizi yang berbentuk buku besar, asy-Syayyal membagi menjadi tiga
kategori. Pertama, buku yang membahas
tentang sejarah dunia, seperti kitab al-Khabar’an
al-Basyr. Kedua, buku yang menjelaskan
sejarah Islam umum, seperti kitab
al- Durar al-Mudhi’ah fi Tarikh al
Daulah al-Islamiyyah. Ketiga, buku yang
menguraikan sejarah Mesir pada masa
Islam, seper ti kitab al-Mawa’izh wa al-I’tibar bi Dzikr al-Khithath wa
al-Atsar, kitab Itti’azh al-Huna fa bi Dzikr al-A’immah al Fathhimiyyin
al-Khulafa, dan kitab al-Sulukj li Ma’rifah Duwal al-Muluk .[14]
Al Madrizi
berada pada fase kedua dalam sejarah
pemikiran ekonomi islam. Yaitu sebuah
fase yang mulai terlihat tanda-tanda
melambatkanya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif dalam dunia Islam.
Latar be lakang kehidupan al-maqrizi
yang bukan seorang sufi atau filosof dan relative didominasi oleh aktiovitas sebagai sejarahwan Muslim
sangat mempengaruhi corak pemikirannya tentang ekonomi. Ia senantiasa melihat
setiap persoalan dengan flash back dan
mencoba memotret apa adanya mengenai fenomena ekonomi suatu Negara memfokuskan
perhatiannya pada beberapa hal yang
mempengaruhi naik turunnya suatu
pemerintahan. Hal ini berarti bahwa pemikiran-pemikiran ekonomi al-Maqrizi cenderung positif, satu
hal yang unik dan menarik pada fase
kedua yang notabene didomina si oleh emnarik
yang normative.
Dalam pada itu, al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang uang dan
inflasi. Menurut Adiwarman, focus
perhatian Rasulullah dan Al Khulafa al-Rasyidun tidakmenimbulkan masalah ini, tampaknya
dilatarbelakangi oleh jsemakin banyaknya penyimpangan nilai – nilai
Islam, terutama dalam kedua aspek tersebut , yang dilakukan oleh para kepala
pemerintahan Bani Umayyah dan generasi ses udahnya.
Pada masa hidupnya, Al-Maqizi
dikenal se bagai seorang pengeritik keras kebijakan-kebijakan moneter yang diberlakukan pemerintahan Bani Mamluk Burji yang dianggap sebagai sumber
malapetaka dan menghancurkan perekonomiank Negara dan masyarakat Mesir. Perilaku
para penguasa Mamluk Burji yang
menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan moral telah mengakibatkan kritis ekonomi
yang sangat parah yang diidominasi
oleh kecenderungan inflasioner
yang semakin diperburuk dengen
merebaknya w abah penyakit menular yang melanda Mesir selama beberapa
waktu. Situasi tersebut
menginspirasikan al-Maqrizi untuk
mempresentasikan berbagai pandangannya terhadap sebab-sebab krisis dalam sebuah
karyanya, Ighatsah al-Ummah bi Kasyf al- Ghummah.[15]
Dengan bekal pengalaman yang
memadaio sebagai seorang muhtasib (pengawas pasar al-Maqrizi membahas
permasalahan inflask dan peranan uang
didalamnya. Sebuah pembahasan yang sangat menakjubkan di masa itu karena mengkorelasikan dua hal yang snagat jarang
dilakukan para pemikir Muslim maupun Barat. Dalam karyanya tersebut, al-Maqrizi ingin membuktikan bahwa inflasi yang terjkadi
pada periode 806-808 H adalah berbeda
dengan inflasi yang terjadi pada periode
–periode sebelunya sepanjang sejarah Mesir.
Pemikiran terhadap uang merupakan fenomena
yang jarang diamati para
cendekiaw an Muslim, baik pada periode
klasik maupun pertengahan. Menurut survey
Islahi, selain al-Maqrizi, diantara sedikit pemikir Muslim yang
memiliki perhatian terhadap uang
pada masa ini adalah al-Ghazali, Ibnu
Taimiyah, Ibnu al-Qayyim al-jauziyah, d an Ibnu Khaldun. Dengan demikian, secara kronologis, dapat dikatakan bahwa
al-Maqrizi merupakan
cendekiawan Muslim abad
pertengahan yang yang etrakhir
mengamati permasalahan tersebut, sekaligus mengkorelasikannya dengan
peristiwa inflasi yang melanda suatu
Negara.
2.3 Biografi Abu A’la Maududi
(1903-1979 M)
Abu A’la dilahirkan pada 3 rajab
1321 H/25 September 1903 di Aurangbad, s
ebuah kota yang terkenal di Hyberad (Decca n), Delhi, India. Beliau dilahirkan
dalam keluarga yang religious. Ayahnya
bernama Abu Hasan, seorang pengacara yang terkenal sebagai orang yang alim dan
rajin beribadah. Mereka adalah keturunan dari sufi besar
terekat Christiyah yang banyak
berperan dalam menyebarkan Islam di India.
Pendidikan Abu A’la diawali di Madrasah Furqioniyah. Sebuah s
ekolah menengah yang mencoba menerapkan system pendidikan nalar modern dan
Islam tardisional. Orang tuan beliau
tidak ingin beliau pergi ke sekolah Inggris, yang akhirnya pendidikannya diakan
di rumah dengan menggunakan bahasa Arab
Persia, Urdu dan Inggris. Dalam konteks inilah dapat dipahami kenapa al-Maududi
menjadi seorang tradisionalis
fundamentalis (dengan latar belakang pendidikan yang anti Barat).
Tulisan beliau
banyak mencakup bidang politik, social ekonomi, kebudayaan dna agama.
Sekitar tahun 1920, Maududi menggabungkan gerakan khilafah yang mana berasosiasi dengan tahrik –e –hij
rat. Melalui ukunya “Al- Jihad fil Islam” , beliau menceritakan kehidupan yang dialaminya di perkumpulan tersebut. Dan pada tahun tersebut
pula beliau bekerja sebagai wartawan. Dalam waktu singkat ia bekerja di Jabalpur
sebagai koresponden, lalu menjadi editor
“Taj” sebuah surat kabar daerah. Pda tahun yang sama ia hijrah ke
Delhi tempat ia bekerja sebagai
editor pembantu. Pada dtanggal o22
September 1979, beliau b meninggal dunia
di Buffalo, New York. Pemakamannya, yang dilakukan beberapa
hari kemudian di Lahore, menarik perhatian
lebihd ari sejuta orang. Dia dikuburkan d I rumahnya h di daerah Lehrah , Lahore.
Adapunm karya – karya beliau
yang telah dihasilkan kebanyakan dalam hal politik, akan tetapi ada beberapa yang mengenai riba. Al M
aukdudi tidak mempunyai latar belakang pendidikan
agama yang mendalam, meskipun bukan seorang ulama. Melihat karir
kehidupannya yang ia lakukan, bisa dilihat kalau beliau banyak berkecimpung
dalam dunia politik. Akan tetapi hal ini tidak menyurutkan beliau dalam
memberikan kontribusi dalam hal ekonomi.
Prinsip-prinsip dasar
1.
Kepemilikan pribadi dan
batasannya.
Dalam hal ini Islam tidak membagi harta kpemilikan kepadaproduksi dan
konsumi atau mengasilkan atau tidak menghasilkan. Tetapi dibedakan
kepadakriteria diperoleh secara halal atau haram.
2.
Keadilan distribusi
Peraturan penting lainnya dalamekonomi Islam ialah membangun suatu system
distribusi yang adil daripada distribusi yang sama terhadap kekayaan.
3.
Hah – hak social
Islam kemudian menghubungkan kembali hak social kepada kekayaan individu
dalam berbagai bentuk. Salah satunya yaitu seseorang yang memiliki harta lebih
memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan kepad kerabatnya yang tidak bisa
memenuhi kebutuhan hidup.
4.
Zakat
Terdapat suatu pungutan wajib yang ditentuan oleh Islam yaitu zakat.
5.
Hukum waris
Untuk mendistribusikan kekayaan yang dimiliki oleh almarhum.
6.
Peranan tenaga kerja, modal dan
pengelolaan
Bila terdapat ketidak adilan dalam transaksi, hukum tidak hanya boleh
berinterfensi akan tetapi juga punya tugas untuk mengarhkan kepada regulasi
keadilan dalam distribusi profit diantara modal, tenaga kerja dan pengelolaan.
7.
Zakat dan kesejahteraan social
Untuk menyediakan kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, rumah,
bantuan medis, pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak bisa mencukupi
kebutuhan hidupnya
8.
Ekonomi bebas riba
Inti yang Islam sampaikan adalahjika engkau meminjakan pinjaman, maka
engkau hanya menerima yang engkau pinjamkan dan tidak lebih. Jika menghendaki
keuntungan, kau harus bergabung dalam kerjasama.
9.
Hubungan antara ekonomi politik
dan aturan social.
System ini tidak dapat dipisahkan dan membentuk satu bentuk kesatuan.
[1]
Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini, Imam Al-Syatibi tidak dilahirkan
di sana .
Menurut catatan sejarah, kota
Syatibah telah jatuh ke tangan Kristen yang mengakibatkan terusirnya seluruh
penduduk Muslim dari kota itu sejak tahun 645 H (1247), sekitar satu a
bad s ebelum kelahiran Imam Al-Dahlan . et al. Suplemen Ensiklopedia Islam,
(Jakarta : PT Ic tiar Baru van Hoeve,
1996), jilid 2, hlm. 187.
[2] Muhhamd
Khalid Masud, Filsafah Hukum Islam : Studi tnetang hidup dan pemikiran al-Syatibi k, (Bandung : Penerbit Pustaka,
1996), Cet ke-1, hlm. 111
[3] Muhammad
Khalid Masud, op.cit.,hlm.136.
[4] Ibid.,
hlm.138-139
[5] M. Fahim
Khan, Shatibi’s of Sharri’ah and Some Implica tions for Consumer Theory, dalam Abul Hasan M. Sadeq
dan Aidit Ghazali (ed), Reading in
Islamic Economic Thought, hlm.193
[6] James H.
Donelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals
of Management,(New York : Irwin McGraw-Hill, 1998), hlm.267
[7] Ibid.,
hlm.268.
[8] Ibid.,
hlm. 270-271
[9] Ibid., hlm. 274.
0 comments:
Post a Comment